Tekad

88 4 0
                                    

IMEL POV

     Acara perdana pemutaran film Ivano dan Fita berjalan cukup lancar. Sengaja ku ajak Tari yang begitu bahagianya sampai datang dua jam sebelum film di putar. Seperti acara- acara premier yang biasanya aku saksikan di televisi, sebelum film di tayangkan diadakan konferensi pers dulu. Hari itu Ivano tampak segar dengan kaos yang bertuliskan judul film seragam dengan Fita dan pemain lainnya. Tari begitu antusias mengambil gambar dari telefon genggam yang sengaja ia beli, dia mengabadikan setiap momen. Maklum, memang pengagum berat Ivano.

"Kalau bukan kamu, aku tidak akan seberuntung ini." katanya tanpa melihatku, senyumnya merekah sempurna di bibirnya.

Di deretan depan tampak keluarga Vano juga datang, kepala sekolah, beberapa dewan guru dan mungkin orang orang terdekat mereka. Kami semua datang demi mensupport mereka.

    "Kamu lihat Nada nggak Iv?"

     "Nada? Tidak" jawabku cepat.  Sedari tadi sama aku tidak melihatnya. Aku sebenarnya juga penasaran apakah Nada datang atau tidak. Di tengah acara berlangsung ku lihat seseorang yang mendekati Ivano dan Fita, dia dikawal seorang pria layaknya bodyguard. Berbincang sebentar lalu duduk di samping Vano.

     "Itu Nada." bisik Tari heboh.

      "Apa aku bilang, mereka pasti        masih ada hubungan."

Benar kata Tari, sekarang dengan gamblang kulihat interaksi mereka. Bukan interaksi biasa. Dan mungkin hal itulah yang membuat Vano menolak ku.

Ivano Pov

   "Hai!" sapa seseorang yang baru datang menyapaku, dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Tak lama kami langsung cium pipi kiri pipi kanan,hal yang lumrah kami lakukan ketika kami ketemu dengan orang yang pernah dekat dengan kita.

  "Akhirnya tayang juga ya Van. Selamat, semoga di terima masyarakat." lanjutnya dengan mata berbinar binar.

   "Makasih sudah datang, Nad."

Nada memilih duduk di samping Fita. Selama film di putar aku malah  tidak fokus. Gugup menunggu reaksi penonton. Ini film perdanaku. Pembuktian aktingku. Di film ini aku berperan sebagai Johan, seorang pelajar SMA yang pintar tapi miskin. Johan mendapat bea siswa dari sekolah. Tapi bea siswanya terancam di cabut gara-gara dia di fitnah oleh sahabatnya sendiri. Johan mendapat bantuan dari Arimbi, seorang cewek kaya raya yang menjadi saksi kecurangan sahabat Johan. Di sini Fita berperan sebagai Arimbi. Kegugupan ini terus berlanjut, Aku menggenggam tangan Fita saat beberapa cuplikan adegan emosional di tayangkan. Aku merasa cemas luar biasa.

Satu jam berlalu, akhirnya film perdanaku selesai di putar. Beberapa penonton yang sebagian besar keluargaku dan keluarga pemain lain tepuk tangan lalu menghampiri kami. Sekedar memberi selamat dan semangat yang tentunya menjadi bonus tersendiri bagi kami.

   "Untuk seorang artis pemula, udah bagus. Terus latihan ya."

   "Pas adegan kamu berteriak itu kamu kurang lepas Van, tapi selebihnya sudah cukup bagus."

    "Kalian luar biasa..."

    "Selamat ya, Filmnya sarat pesan. Tidak hanya soal cinta cintaan."

Kalimat-kalimat itu membuat semangatku membara, setidaknya tidak terlalu banyak kritikan. Memang kalau sinetron aku sudah sering main walaupun hanya sebagai peran pembantu, jadi kualitas aktingku belum terlalu di perhatikan. Beda dengan film, makanya aku bertekad akan terus belajar berakting. Selama ini aku juga sering belajar bersama Fita. Dia memang sepupuku yang baik dan pengertian. Dia bukan gadis yang  neko-neko, walaupun dia calon bintang.

Beberapa awak media mendekati kami, tapi mataku malah fokus pada seseorang yang sedang menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku mengerti. Seseorang yang sejenak aku lupakan. Kenapa dia di sini? Apa dia tidak sakit hati dengan segala usahaku menjauhinya?

Apa?sakit hati? Kenapa dia harus sakit hati? Toh dia juga tidak menyukaiku.

   "Iv ..." Panggil seseorang di sebelahku mengagetkan lamunanku.

  "sini!"rupanya Fita memanggilnya. Dengan langkah pelan dia menghampiri kami, oh rupanya dia bersama temannya.

  "Makasih sudah datang ya." sambut  Fita.Di mengangguk lalu tersenyum tanpa melihatku. Dasar!

  "Filmnya bagus." Pujinya pelan, Fita tersenyum sumringah. Dan entah kenapa aku juga bahagia,. seoalah pujian itu di tujukan padaku juga.

  "Tanda tangan dong Van," serobot seorang wanita sambil menyerahkan sebuah buku. Dia lagi dia lagi. Sudah berapa kali dia minta tanda tanganku. Dengan terus berusaha tersenyum. Aku melayaninya dan dengan puas wanita itu menerimanya.

  "Aku kira kamu datang dengan pacar kamu Iv?" aku yakin Fita sedang bergurau, tapi kenapa hatiku mencelos, tak suka. Coba aku dengarkan dia jawab apa.

  "Dia ... Dia ... lagi sibuk." Bagus, bahkan dia tersenyum mengatakan nya. Membuat hatiku seakan ada patahan dia sana.

Aku pura pura batuk, permisi pergi tapi langkahku terhenti tatkala sahabatnya berteriak histeris.

  "Kak Cello kan, Iv? Wah sudah kuduga....."

Dan ku pilih pergi secepatnya tak sanggup lagi mendengar kelanjutan cerita mereka.

Author Pov.

Dengan langkah lelah Imel masuk ke gerbang sekolah. Pagi ini di karenakan angkutan mogok dia harus berjalan setengah dari perjalanannya. Untung saja bunda Laras selalu membiasakan dia berangkat lebih awal, kalau tidak dia pasti terlambat.

   "Ivo.." Imel yakin itu wulan yang memanggilnya. Tanpa menoleh Imel menghentikan langkahnya.

   "Tumben jam segini baru sampai?" Wulan menggandeng pundaknya, lalu mereka berjalan ke kelas.

Sampai di kelas Imel melihat Cello sudah duduk di kursinya.

   "Aku kira kamu tidak masuk." sapa Cello, Tari yang dari tadi sudah di kelas melirik menggoda.

  "Angkutannya mogok." jawab Imel jujur

   "Nanti kalau pulang, bareng aku saja ya? Naik motor."

"Tidak ah, Kak."

"Lho, kenapa?"

"Aku nanti mau mampir dulu ke suatu tempat."

"Ya malah bagus dong Iv. Sekalian jalan-jalan." potong Tari. Imel melototi Tari yang sekarang sedang cekikikan.

"Ya sudah, kamu pikirin dulu deh. Nanti istirahat kasih jawaban ya." Cello lalu pergi karena bel berbunyi.

"Kalian ada hubungan apa?" tanya Wulan dan Reno kompak. Tanpa menjawab pertanyaan mereka Imel menunduk lemas memikirkan cara menolak ajakan Cello. Dia belum siap ketahuan. Ataukah jangan-jangan Cello sudah tahu siapa dirinya? Imel belum siap untuk membuka penyamarannya. Dia takut tidak nyaman. Cara terbaik untuk dia saat ini adalah menjauh dari Cello. Ya, tekad Imel sudah bulat. Dia harus konsisten dengan keputusannya, dia tidak boleh goyah.

reply 2000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang