Demi Ibu

63 6 0
                                    

Hanya sehari kami bertemu, karena besok aku sudah masuk sekolah. Pertemuan kami itu di awali dengan reaksiku yang memeluknya secara tiba-tiba. Membuat Ibu histeris mungkin karena kaget. Beberapa kali ia teriak tatkala, dia tak nyaman dengan orang baru. Pak Jayus bilang, Ibu memang tertutup dengan orang asing. Sebenarnya keadaan Ibu sudah jauh membaik dari pada tahun awal di sini.

   Aku sempat bertanya pada Bunda Laras, tentang pengobatan ibu ini. Siapa yang membayar biaya pengobatannya selama ini? tapi Bunda Laras mungkin belum siap bercerita banyak padaku.

Hampir satu jam petugas membujuk Ibu agar mau bertemu denganku. Pesan petugas itu kalau bertemu Ibu, sebaiknya kita jangan kelihatan bersedih apalagi menangis karena itu bisa membuat Ibu mengingat makin syock.

"Mbak Aini, ada teman baru nih. Ayo kenalan dulu." kata petugas wanita berjilbab merah itu sambil menatap wajah Ibu yang kini di tutupi dengan kedua telapak tangannya. Ibu mengintip ku dari sela sela tangannya.

"Mbk ini baik lho. Tidak jahat, dia bawa banyak makanan buat Mbak Aini, tuh, buktinya dia tersenyum sama Mbak. Yuk, kenalan."

Aku mencoba tersenyum dengan mata sembah, lalu secara perlahan tangan Ibu terbuka. Aku berani mendekat lagi.

"Hallo mbak Aini, saya Imel. Kabar Mbak Aini baik?" Sesak rasanya dada ini mengungkapkan itu, orang yang seharusnya ku panggil Ibu kini harus ku panggil Mbak. Ku ulurkan tangan padanya tapi dia hanya menatap ku tanpa ekspresi. Kosong.

Kata petugasnya, Ibu tidak sadar dengan usia nya sekarang jadi dia mengira dia tetap berusia 20 tahun. Makanya aku juga harus ikut memanggilnya mbak,agar tidak tersinggung.

Dengan ragu tangan Ibu menyambut tapi hanya sebentar, lalu wajahnya berpaling lagi. Ada rasa bahagia menyeruak saat tangan ini bersentuhan.

"Mbk Imel, ajak ngobrol pelan-pelan ya, saya kasih waktu sebentar. Saat pantau dari sana." pesan petugas itu sebelum pergi.

Aku mengangguk, berterima kasih.

Suasana sekarang hening, dadaku sesak melihat keadaan Ibu. Peristiwa terkutuk 17 tahun yang lalu itu benar- benar sudah merenggut masa depan Ibu. Seharusnya Ibu tidak seperti ini, terkutuk lah orang-orang yang sudah jahat pada Ibu.

"Tadi lagi menjahit apa mbak?" tanyaku. Walaupun hatiku sedang penuh amarah pada penjahat-penjahat itu, tapi saat ini waktu ku harus aku gunakan sebaik mungkin demi ibu. Wanita dengan rambut pendek itu masih meringkuk  gelisah. Ada sebuah kain tergeletak di bawah kursi, kain yang tadi di jahitnya.

"Mau buat baju ya, Mbak? Bagusnya." kataku lagi,. Ku lirik Ibu meresponku, matanya menatapku tak suka.

"Ayo di lanjutkan. Imel pengen lihat hasilnya. Pasti cantik kalau sudah jadi." kataku parau, suaraku serak menahan tangis.

Seketika Ibu memutar tubuhnya merebut potongan kain kecil dari tanganku. Lalu pelan- pelan mulai kembali menjahit. Jahitan nya tak beraturan, tapi sudah cukup membuatku senang. Ibuku, mungkin dulu punya cita-cita sebagai penjahit baju. Karena kata Petugas tadi, Ibu sering menggambar baju-baju walaupun hasilnya tidak bagus

"Kalau sudah jadi bajunya, buat siapa mbak?" Aku memberanikan diri jongkok di bawahnya.

"pasti dia akan cantik sekali memakai baju ini "

Ibu menoleh ke arahku,tatapannya masih sama seperti tadi.

"Ayo cerita ke saya, bajunya nanti buat siapa?"

"Nia." satu kalimat lolos dari bibir Ibu. Nia? Ibu menyebut nama Nia, apa itu Bunda Nia? Mendengar jawaban ibu membuat ku antusias, berharap dia bisa bercerita banyak.

reply 2000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang