24. Avalanche

4.9K 452 72
                                    

Ini aku beneran ngejar target banget.

Rencananya pengen cepat tamatin cerita ini terus move ke gendre teenfiction nanti, aku udah siapin di draf, judulnya Beautiful Excuses.

Aku pengen nyoba nulis berbagai gendre di watty ini. Do'ain cepat terlaksana. 😊

Semoga berkenan, selamat membaca!

-*-*-*-

"I'm here to safe you, i'm fly to catch you,
But, you are thrown out and hurt me like hell."

-*-*-*-

Kedua orang tua Alina memandang horor anak gadis mereka satu-satunya. Alina pun merasa semakin terpojok dipandang seperti itu. Ia ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"I-iya, gimana kalau Asaf pernah menikah sebelumnya?" Alina meringis takut salah bicara.

"Jangan bilang kalau anak itu-"

"Maaf Bi, tapi bukan seperti yang Abi pikirin kok. Alin bukan selingkuhan nya Asaf," potong Alina seakan tahu maksud dari Ayahnya.

"Jadi maksud kamu, Asaf duda, begitu?" tanya Ibunya.

"Iya, Mi," cicit Alina.

"Apa dia sudah memiliki keturunan? Ke mana mantan istrinya? Meninggal atau masih hidup?" tanya Ayah Alina bertubi-tubi.

"Asaf belum punya anak kok, Bi. Alin akan sangat bahagia kalau bisa menjawab mantan istrinya itu sudah meninggal, tapi sayangnya engga." Alina tersenyum kecut. Mungkin Alina jahat berkata seperti ini tapi hari-hari nya akan terus dihantui rasa was-was, apalagi Alina sadar jenis wanita seperti apa yang akan menjadi saingannya.

Diam-diam Alina mendengar Ayahnya menghembuskan napas lega, "Abi gak masalah jika pacarmu itu duda. Abi lebih mementingkan pengetahuan agamanya dan Abi pikir Asaf mampu menjadi imam yang tepat bagi kamu. Kita semua tahu jika dia berasal dari keluarga yang baik-baik. Hanya saja kamu tentu tahu mantan istrinya itu mungkin akan membahayakan rumah tangga kalian nanti?"

Alina mengangguk mengakui jika apa yang dikatakan oleh Ayahnya itu merupakan kebenaran. "Alina tahu, Bi."

"Lalu apa rencana kamu? Kamu berniat menikah dengannya setelah kamu mendapatkan gelarmu, begitu?" Ibunya Alina mengeluarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

"Yaa... itu sih tergantung Asaf nya. Masa Alin yang inisiatif terlebih dahulu?" sahut Alina murung.

Ayah Alina menatap Anak gadisnya dengan kening berkerut, "Loh, memangnya dia belum melamar kamu secara pribadi? Terus ke mana dia sekarang?"

"Alin lagi bertengkar dengan Asaf, Bi. Boro-boro dilamar, dia lagi di Medan sekarang. Nah, Alina mau sekalian minta ijin untuk nyusul Asaf ke sana. Boleh ya, Bi?" Alina memelas meminta ijin.

"Kamu minta ijin atau maksa?" sindir Ayahnya. Melihat Alina yang cemberut disindir seperti itu, ia pun melanjutkan perkataannya, "Lagipula kamu tetap akan menyusulnya bukan walaupun dengan atau tanpa ijin dari Abi saat ini? Kamu kan cinta mati sama dia."

"Jadi Alin boleh nih pergi sendiri?" Mata Alina berbinar-binar melihat kesempatan terbuka lebar.

"Ajak Yuda atau Sofyan untuk menemanimu. Abi tetap tidak akan tenang membiarkan kamu berangkat sendiri." Keputusan Ayahnya sudah dibuat dan Alina menyadari bahwa keputusan itu tidak bisa ditawar.

"Yey! Makasih, Bi. Nanti Alin ajak Sofyan deh, soalnya Yuda kan kerja, engga enak kalau minta dia ambil cuti."

"Yasudah kalau begitu. Kapan kamu berangkat?"

Love Locked Out [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang