Kau Berharap Apa Dari Hidup?

473 12 0
                                    

Aku menyempatkan merekam kenangan. Di tengah kesibukan rutinitas siang maupun petang, dan kesempatan terbaikku adalah pagi seperti ini. Aku ingin bercerita kawan, bahwa akhir-akhir ini aku selalu terbangun subuh. Seperti ada rasa gelisah yang tiap hari membangunkan otomatis di kisaran waktu pukul 05:00. Dan itu memaksaku harus subuhan, hal yang dahulu bisa dengan mudahnya aku tinggalkan.

Pukul 6 hingga jam 8 biasanya aku lari-lari tidak jelas seorang diri. Secara tak sengaja, smartphone mencatat  ada sekitar 9-10 ribu langkah tiap hari. Kemudian aku beristirahat di depan rumah sakit ibu anak Duren Tiga untuk menikmati sarapan. Sarapan yang lumayan murah untuk ukuran Jakarta, sekitar 8-12 ribu.

Hidup di Jakarta mahal. Biaya kos sebulan 1.3 jutaan, dengan harga yang sama di Malang bisa untuk setahun tapi itu ngontrak. Di pagi seperti ini, aku membiasakan diri lari-lari kecil ke tempat yang ingin dilewati, agar berkeringat. Kali ini aku memilih pasar tradisiobal di jalan Kemang Utara 9. Seperti kebanyakan pasar tradisional lain, penjual pembeli bercengkrama, dagangan digelar rapi tapi masih juga nampak berserakan. Ada beragam dagangan, mulai dari buah, ikan tawar segar, ikan laut halal, sayur mayur, jajanan tradisional, ayam hingga ikan asin. Tadi aku sempat membeli kaos kaki murah warna hitam, dua pasang dengan harga 15 ribu. Di alfamart atau indomaret, kaos kaki yang lebih bermerek bisa mencapai 28 ribu atau 35 ribu lebih.

Dan ketika lapar, langkah kaki membawaku ke tempat ini. Makan ketupat sayur atau nasi campur yang berisi mie, bawang goreng, serta tahu dan tak lupa telur dadar tebal. Sambil menunggu, aku menulis seperti ini, seperti sekarang, karena antriannya lumayan panjang. 5 sampai 7 paragraf ringan. Tulisan yang bahkan mungkin tak lebih dari 500 kata. Untuk membiasakan diri berdongeng. Untuk mengikat kenangan karena aku sadar bahwa seringkali aku menjadi pelupa. Dan kau tentu tahu, masa muda seperti ini tidak sekalipun bisa terulang. Dan membiasakan menulis hal-hal tidak penting seperti ini, bagiku menjadi hal penting.

Sungguh, dalam menulis. Aku sama sekali tidak ingin narsis. Hanya saja, aku membayangkan bahwa 20 tahun lagi, mungkin saja aku tak begitu mengenal diriku yang sekarang. Tulisan semacam ini adalah salah satu kenangan yang cukup mampu memicu ingat.

Dan kalaupun aku sekarang terjebak eksistensi, maka di masa depan aku punya bahan untuk bersyukur, bahan untuk diperbandingkan bahwa aku di masa depan, harusnya lebih baik dari aku yang sekarang masih ngeksis.

Dan kalaupun ada satu orang di luar diriku yang membaca tulisan-tulisan ini, itu pasti tidak banyak. Karena di masa depan, manusia akan lebih suka melihat tayangan dibanding membaca.

Kawan, Kau berharap apa dari hidup? Semua berjalan seperti yang kau mau? Dunia tidak berjalan semacam itu. Atau jangan-jangan segala ketidakteraturan yang sama sekali tidak kau sukai itu adalah bagian dari keutuhan hidup? Yang memang harus berjalan demikian. Dan tugasmu tentu tidak hanya mengkritik. Bukankah ummatan wasathon itu adalah umat yang menyeimbangkan? Di saat kau anggap yang lain belum sadar, bukankah itu adalah kewajibanmu untuk mengajak yang lain mulai menikmati kesadaran? Kenikmatan yang sama sekali tidak dipaksakan. Kenikmatan yang kau contohkan setiap hari, dan saat mereka melihatmu, mereka bisa merasakan nikmat yang sama.

Jakarta, 21 Januari
08:06

Pesan Kopi Kepada HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang