Pencapaian Masa Lalu

218 2 0
                                    

Rasanya, lama sudah tak merebahkan tubuh di deretan kursi gerbong kereta ini. Kereta berlabel Malioboro Ekspres. Lebih dari 6 bulan lalu, seperti biasa Jogja selalu menyimpan banyak kerinduan.

Entah, kenapa Jogja selalu nampak istimewa. Mungkin karena disana berdiri kokoh Borobudur yang bagiku masih berjudul misteri. Prambanan juga tak kalah menawan. Keduanya masih nampak elegan, senantiasa menggoda para pejalan yg rindu akan senyuman nusantara masa lalu, tak terkecuali aku.

Tlatah Ngayogyakarta, tak lagi banyak yang tau bahwa tanah itu memiliki ikatan erat dengan Majapahit, pun juga Mataram. Bahkan mungkin sudah tak banyak yang mengenal dengan saksama siapa itu Hayam Wuruk atau Gajah Mada. Keduanya memang pernah begitu membumi dengan semangatnya. Tapi para Majapahit kecil itu begitu larut akan pencapaian masa lalu dan tak mengilhami bagaimana jalan juangnya. Miris! Hanya berharap disuapi namun tak paham bagaimana menanak nasi.

Aku, aku memang tak sedikitpun memiliki darah bangsawan. Meski terlahir di tanah Kediri yang katanya bersinar terang. Tapi bagi masyarakat kelas pinggir, gemerlap kota tak pernah nampak begitu terang. Satu-satunya cahaya adalah Gusti yang terkadang begitu kami cintai. Cinta yang terkadang begitu besar itu datang setelah kami disuap dengan sedikit kelebihan rizki. Kami tak banyak tahu bagaimana hidupnya para bangsawan. Atau lebih tepatnya, kami sangat paham bagaimana kehidupan kaum sudra. Karena dengan cara itu pula aku dan banyak kawanku tumbuh dan berkembang.

Ngomong-ngomong soal bangsawan. Negeri ini sepertinya mulai kehilangan makna kesatria. Tak banyak lagi keluhuran budi yang saling dibagi. Melahirkan banyak pengecut yang bersembunyi di balik foto profil palsu sosial media. Lalu saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lain. Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake tak lagi dianggap kece. Sugih tanpa bandha, sakti tanpa aji-ajii tak lagi banyak yang memahami. Padahal, Gajah Mada pun dulu terlahir dari rakyat biasa. Rakyat biasa yang memegang filosofi dan berjiwa kesatria.

Di tanah surga ini, tak banyak yang bisa menikmati surga. Masa kecil kami tumbuh tanpa mengenal apa itu takaran gizi, berapa kalori yang dibutuhkan tubuh untuk aktifitas harian, atau bagaimana mendidik psikologis anak agar berkembang dengan tepat. Orang pinggiran sama sekali tidak mengenal istilah itu.

Yang begitu kami kenal adalah bagaimana orang tua bercerita. Mereka sering menahan lapar hanya dengan air sumur. Dengan harapan anaknya bisa menikmati nasi esok pagi. Sakitpun lebih baik ditahan. Makhluk bernama dokter masih begitu menakutkan bagi mereka. Dan rumah sakit, rasanya semakin membuat mereka tambah sakit.

Namun hidup dipinggiran tak selalu menyedihkan. Tuhan masih begitu adil dengan segala kasih sayangnya. Bahkan kami yang seringkali dihina sesama manusia ini dihadapanNya tak pernah kehilangan muka. Meski dijuluki makhluk rural, masa kecil kami amat menyenangkan. Sosial terasa begitu hangat. Kelereng, lompat tali, dakon, baksodor, patil lele, banggalan, kecik isi sawo, bekel, mainan bergambar dengan tulisan GK (Gunung Kelud) selalu mewarnai kebersamaan. Mainan itu tak mengkotakkan kami berdasarkan harta yang dimiliki. Semua memiliki kedudukan yang sama. Bahagia.

Kereta ini semakin lama begitu dingin. Sama seperti manusia yang mulai mendingin karena smartphone masing-masing. Tak ada lagi percakapan antar anak muda yg bercerita tentang arifnya kehidupan. Semua terhanyut dalam 'kepintaran' ponselnya. Dan menganggap makhluk sekelilingnya tak lagi mengasyikan. Cuek, bahkan hamparan hijau tanah di sekitar tak banyak yang mensyukuri.

Ah, sudahlah. Sepertinya diri terlalu banyak bercerita.

Pesan Kopi Kepada HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang