Mengurai Kenangan - Gadis Mungil

305 2 0
                                    

Nyala hati tetaplah terjaga, semakin memancar. Sembari mentari beranjak naik atau pergi sesuka hati, biar. Seringkali dihina dan sesekali dipuji, biasa. Tak banyak yang mendekat seperti sinar lain, tak apa. Asal yang dekat makin bercahaya. OI!

Tiga tahun lalu. Seorang gadis mungil kecil. Gadis biasa, sama seperti gadis manapun. Pertemuan kala itu diatur ala kadarnya, sederhana. Di dekat tangga Fakultas Saintek, satu-satunya tangga yang paling dekat dengan Fakultas Psikologi. Pertemuan yang dari sudut pandang manapun tidak ada hal yang nampak istimewa. Pertemuan itu, pertemuan dengan gadis mungil.

Agak siang, kami bertemu. Sebut saja perjanjian PsikoSains. Sehari sebelumnya pertemuan itu direncanakan, pertemuan yang dibumbui kata-kata "Aku ingin memberikan sesuatu." Sesuatu dari gadis mungil. Pertemuan perdana, dimulai dengan perbincangan ringan seputar kabar masing-masing. Beberapa bulan di semester itu kami memang jarang bertemu. Saling melempar kisah sembari dihiasi ingatan gosip ringan masa lalu, pertemuan itu mulai menarik.

Sesuai janji, tak lupa gadis mungil menyerahkan dua buku terbitan UIN Press. "Ini hasil penelitian kita dibukukan, sijine bonus!" Ternyata inilah sesuatu yang dimaksud. Sebuah buku yang memuat hasil penelitian sepasang anak muda setahun lalu. Rencana awal penelitian itu adalah karya yang akan diajukan untuk kompetisi tentang politik dan psikologi. Padahal anak Saintek ini hanya bertindak membantu. Penelitian yang sempat terlupa, karena suatu hal kompetisi itu dibatalkan, kuota pendaftar kurang, tak banyak yang minat meneliti. Kaget juga, penelitian yang sempat terlupa itu kini sudah rapi menjadi sebuah buku, berjejer berani bersama mahasiswa peneliti lain. Dan tentu, semuanya adalah mahasiswa Psikologi, sepertinya yang Saintek cuma satu. Tidak salah lagi, anak itu. Anak paling gila se-jurusan di jamannya.

Bangga, ada nama gadis itu. Dan ada nama yang paling kukenal seumur hidup. Nama yang siapapun mengira adalah nama seorang perempuan. Nama yang ringkas, rapi dan hanya 7 huruf latin. Bahkan jika dihiasi dengan tiga gelar akademispun, nama itu tetap kalah panjang dibanding nama-nama lain. Nama itu tertulis melambai dengan huruf manja. Ketika ku toleh tepat pada roman gadis itu, sepertinya aroma kebanggaan ini masih kalah dengan miliknya. Ada guratan penuh makna yang terlihat jelas menghias kedua bola matanya. Bola mata yang terkadang memberi cara pandang lain untuk melihat dunia pada mata ini, dulu maupun sekarang.

Agak lama, seingatku memang cukup lama. Ada banyak hikmah sebenarnya, tapi semua numpang permisi begitu saja. Tapi semoga malaikat tak lupa mencatat. Hingga obrolan ringan itu sampai pada kata Maiyah. Gadis mungil mengaku rutin mengikutinya. Ia menjelaskan apa itu Maiyah, siapa pula itu Cak Nun dan kegiatannya menulis di . "Meski tak dibayar, namun semuanya terbayar." ujarnya membuat aku mengingat bagaimana kami dipertemukan pertama kali di tahun 2011. Aku mafhum, karena nilai tidak selalu menyoal angka, apalagi uang. Kala itu, kata maiyah lewat begitu saja, siapa pula yang mau mengingat, aku lebih memilih merekam kisah lanjutan dari gadis mungil. Ia ceritakan perihal suka duka jadi jurnalis kampus. Aku mendengarkan, saksama. Pasrah menyimpan semua kenangan itu disudut tersembunyi di salah satu ruang pada bagian terdalam media penyimpanan memori. Ssstt kadang-kadang ada juga cerita tentang asmara. Soal cinta-cintaan, dan gadis mungil bertindak sebagai peran utama bersama romeonya di masa lalu. Sepertinya waktu membuat kepolosan kami beranjak dewasa.


Sama seperti gadis mungil biasanya. Ia selalu nampak bersemangat. Saat ia bertanya perihal kabar 'aku', tentu ku ceritakan pula jalan yang kupilih. Porsi spesial yang sudah kutakar khusus untuknya. Cerita khusus yang hanya untuk beberapa orang saja. Sama seperti ia di masa lalu, apapun jalan yang tengah aku tapaki, selalu tersemat kata-kata penyemangat sebagai responnya. Mungkin naluri psikolog. Perhatian, imbuhan per-an dengan menggunakan hati, peran hati.

Persahabatan, memang tak pernah dibingkai dalam sumpah. Tak pernah ada kalimat ajakan maukah kau menjadi sahabatku. Ikatan natural, mengalir alami. Rasanya pengen terbang ke Eropa, tapi ke Inggris. Lalu naik bus bertingkat menuju Jerman.


Salam untuk gadis paling mungil yang tengah di Jerman.
Semoga lekas betah.
Jangan buru-buru kembali.
Pulanglah ketika sudah menjadi pemenang. Pemenang atas dirimu. Memenangi apa yang selama ini paling kau yakini :)

Nganjuk, June 2nd 2016 - 3:32 PM
Mengurai Kenangan, Menuju Kemenangan

Pesan Kopi Kepada HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang