Apalah aku. Bagimu, aku hanyalah penulis kisah-kisang cengeng tentang cinta. Aku terlampau cinta kepada cinta. Dan sayangnya, aku menuliskannya disaat manusia mulai tak menghargai, sudah tak memahami.
Perihal cinta dipandang sebelah mata dengan menyipit. Definisi cinta tak lagi menampung luasnya hati. Ia dipersempit dan disempitkan, oleh para pecinta anyaran, yang kemudian darinya manusia menyimpulkan dengan semena-mena, peyorasi.
Aku disangka mengidap penyakit romantis kritis tingkat sadis. Aku disalahkan ketika melihat segala hal dengan kaca mata cinta. Aku dituding konyol, jika menyatakan korupsi adalah bagian dari cinta.
Padahal yang aku saksikan, dengan lensa dan otak sendiri, tanpa berkedip, bahwa betapa cintanya para pejabat dengan wanitanya yang cantik, kepada anak-anaknya, kepada keluarganya sendiri, kepada diri sendiri. Sehingga cintanya pada negara kalah telak dengan bayangan manis percintaan dari para kekasih, melupakan tetangga sosialnya, melupakan keluarga yang lain.
Mereka yang menyalahkanku mengatakan bahwa cinta itu suci, "Cinta tak serendah itu!" Tapi sayangnya, tingkah laku mereka, menyatakan dengan jelas bahwa kesucian itu seringkali tak diakui. Dan mereka lupa, amat sangat lupa, bahwa cinta adalah kisah, sementara peran utama tetap dipegang para manusia. Manusia dan kemanusian tetaplah bagian penting dari setiap cerita yang dipanggungkan di dunia ini. Cinta, hadir di antara keduanya. Cinta tidak akan pernah suci, jika manusia tak pernah mengamalkan kesucian dirinya.
Orang bilang, mayoritas orang bilang, "Cinta tak penting, yang penting itu kaya." Sehingga kisah-kisah cengengku tak pernah berharga. Mereka melabeli apapun dengan sistem nilai. Nilai yang terlalu kecil, mereka menyebut sistem nilai itu dengan label uang.
Lalu, suatu ketika mereka berteriak bahwa dunia sudah teramat kapitalistik. Ah, dan sebagai penulis cengeng, tentu mereka mafhum, aku tak sepintar mereka jika menyoal tentang teriakan kapitalisme. Yang aku tahu, kapitalisme berakar dari Eropa, semasa pemodal kaya Inggris mendamba kemewahan dunia. Lalu para intelektual Eropa menjelaskan kata Kolonialisasi, Imperialisasi, Feodalisiasi dan seperangkat alat-alatnya. Yang kemudian melahirkan gerakan sosialis. Mereka menolak penindasan, dengan cara-cara menindas. Kemudian, penolakan itu menjadi jenis penindasan baru.
Dan bagiku, penindasan kapitalis tetaplah bagian dari cinta. Memang hanya sedikit yang aku tahu, perihal kisah cinta pada masa Cinta Dunia I dan II. Kisah cinta masa lampau itu, orang-orang lebih suka menyebutnya Perang Dunia. Padahal tidak seluruh dunia ikut berperang. Ada banyak manusia yang duduk-duduk manis dengan damai, menikmati secangkir kopi ditemani istri yang tidak terlalu cantik dan sama sekali tak fashionable, tapi di hati keduanya, cintaNya kepada Tuhan tak pernah kalah dari perasaan khawatir yang disangkakan orang sebagai Perang Dunia.
Kawan, yang ku tahu hanya sedikit. Dari yang sedikit itu, aku semakin sadar. Rupanya, aku semakin sama seperti mereka. Aku juga terkekang dalam sistem nilai yang sama. Aku juga manusia kapitalis, persis seperti kebanyakan manusia. Bedanya, aku masihlah penulis cengeng kisah-kisah cinta. Bedanya, aku yakin, Tuhan menciptakan seluruh makhlukNya dengan perasaan cinta. Maka, pantaslah Dia pencemburu, jika manusia semakin kehilangan cintanya pada Penciptanya. Tuhan masih terus cemburu dan akan selalu cemburu, jika manusia ciptaanNya teramat mencintai apa yang mereka ciptakan jauh melebihi diriNya.
Aku, adalah penulis cengeng kisah cinta.
16 Agustus 2016.
19:00 WIB, Kembang Turi
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Kopi Kepada Hati
PuisiKebijaksanaan Hidup dari Secangkir Kopi Ada banyak pesan yang ingin disampaikan kopi kepada hati.. Tak hanya sekadar air kepada dahaga. Banyak pesan, seperti pahit manisnya kopi yang menyatu, kemudian manunggal. Menciptakan varian rasa, sesuatu yan...