Jilid 9

498 10 0
                                    

Walaupun mengerti ilmu Pie-kie-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), tenaga dalam Hoan Eng belum mencapai puncaknya. Maka itu, begitu pinggangnya terkena totokan, tenaga lengannya segera berkurang. 

Ia mengetahui, bahwa tenaganya tidak cukup untuk menyambut golok musuh yang beratnya kira-kira lima puluh kati. Akan tetapi, lantaran tiada jalan lain, apa boleh buat ia mengangkat Biantoo untuk menyambut. 

"Matilah aku!" ia mengeluh.

Tapi, pada detik Biantoo dan golok besar hampir beradu, tak diduga-duga Wiesu itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan goloknya terpental dari tangannya. Dan secara kebetulan sekali, golok yang terpental itu menghantam Lian-cu-tui dan, berbareng dengan satu suara keras, bandringan itupun jatuh ke bawah genteng.

Satu suara tertawa nyaring yang sangat merdu tiba-tiba terdengar. Hoan Eng mengawasi dan mendapat kenyataan, bahwa bayangan putih yang barusan berkelebat di wuwungan seberang adalah seorang pemuda. 

Di lain saat, pemuda itu mengayun tangannya dan belasan Kim-hoa (Bunga emas) yang berkredep melesat ke tengah-tengah udara yang gelap itu. Para Wiesu tak pernah mengimpi, bahwa dalam dunia terdapat senjata rahasia yang begitu liehay. 

Siapa juga yang kelanggar bunga emas itu, badannya lantas lemas dan roboh di atas genteng. Dalam tempo sekejap, sebagian besar dari belasan Wiesu yang mengurung sudah pada rebah tanpa berkutik. 

Bunga emas itu ternyata tak membedakan kawan atau lawan. Satu antaranya menyambar lengan Hoan Eng dan tangan kanannya lantas saja tak dapat digunakan lagi.

"Lekas panggil Yo-thayjin!" berseru Wiesu yang bersenjata Poan-koan-pit. Baru habis ia berseru begitu, sekuntum bunga menyambar dan ia rubuh sesudah sempoyongan beberapa tindak.

Hoan Eng tak berani berlaku ayal. Sambil memindahkan goloknya ke tangan kiri, ia menarik napas dalam-dalam dan lalu kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Sesudah melewati dua wuwungan, ia menoleh ke belakang.

Di atas genteng kelihatan dua bayangan yang sedang ubar-ubaran dan satu antaranya adalah si pemuda, pemuda penyebar Kim-hoa.

Dalam tempo sekejap, mereka sudah menghilang ke jurusan utara barat.

Hoan Eng berdiam sejenak sambil mengingat-ingat. Tertawa yang nyaring, gerakan yang bagaikan kilat... ah, ia sekarang ingat! Pemuda itu bukan lain dari pada si anak sekolah berkuda putih yang telah mempermainkan Siauw-houw-cu!

Saat itu, ratusan obor sudah dipasang terang-terang, sedang di atas genteng kelihatan berlari-lari puluhan orang, beberapa antaranya sudah memburu ke arahnya. Hoan Eng menghela napas. Dengan lengan mendapat luka dan kepandaian yang masih sangat rendah, ia tahu tak akan dapat berbuat apa-apa.

"Ah, biarlah tugas menolong Kokloo aku serahkan kepada si pemuda penyebar bunga," katanya di dalam hati dan lain kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan Liok-tee-hui-teng (Terbang di atas bumi).

Ia tiba di rumah penginapan pada jam empat pagi. Ia membuka bajunya dan untung, lukanya hanya luka di luar. Baru saja memakai obat luka, tiba-tiba kepalanya puyeng dan matanya berkunang-kunang, lalu rubuh di atas pembaringan.

Tak tahu sudah lewat berapa lama, barulah Hoan Eng sadar dari pingsannya. Ia membuka mata dan melihat api lampu yang kelak-kelik. Di lain saat, ia terkesiap sebab Tiam-siauw-jie (pelayan) dengan mengenakan pakaian berkabung, sedang berdiri di kepala ranjang sambil mengucurkan air mata.

"Eh, aku toh belum mati! Kenapa kau menangis?" ia menanya.

"Ie-thayjin..." sahutnya. "Ie-thayjin sudah pulang ke alam baka!"

"Apa benar?" Hoan Eng berseru, matanya dibuka lebar-lebar.

"Pagi ini beliau berpulang," sahut si pelayan sambil manggutkan kepalanya. "Seluruh penduduk Pakkhia, kecuali kawanan menteri bangsat, berkabung semuanya!"

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang