Jilid 16

421 7 0
                                    

Sehabis mengejek, ia membalikkan senjatanya dan dengan kecepatan kilat, lalu menotok alis Cian Thong Hay dengan gagang hudtim. Buru-buru Cian Thong Hay manggut dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung Hong manggut) dan berbareng menghantam dengan shuiphoa-nya. Tapi tak dinyana, totokan itu hanya gertakan untuk memancing serangan si saudagar.

Begitu lekas shuiphoa itu menyambar, Hian Eng mengebut dan dua biji emas kembali terpental keluar dari dalam alat hitung itu. Dengan sekali menjambret, dan biji emas itu sudah berada dalam tangannya.Sampai di situ, Cian Thong Hay sebenarnya ingin segera mengakhiri pertandingan itu, tapi ia terus didesak oleh Hian Eng, sehingga tak dapat meloloskan diri. Dalam tempo sekejap, belasan biji shuiphoa kembali kena direbut.

Sembari mencecer lawannya, Hian Eng terus menghitung: "Satu, dua, tiga, empat, lima..." 

Tidak lama kemudian, empat puluh sembilan biji sudah dikantongi si imam. Sebuah shuiphoa mempunyai tiga belas tihang yang masing-masing terisi tujuh bijinya.

Sesudah dua biji direbut Pit Yan Kiong, dalam shuiphoa itu ketinggalan delapan puluh sembilan biji dan dari jumlah itu sudah hilang pula empat puluh sembilan biji.

Cian Thong Hay merasakan dadanya sesak.

"Baiklah! Sekarang aku mau mengadu jiwa!" ia berteriak.

Sekonyong-konyong sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menggoyangkan senjatanya dan... loh! Empat puluh biji itu terbang berbareng dan menyambar Hian Eng dari berbagai jurusan. Itulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang sangat istimewa, yang dinamakan Boan-thian-hoa-ie-say-kim-khie (Di selebar langit turun hujan bunga, menyebar uang emas). 

Melihat itu, semua penonton jadi merasa kagum.Tapi Hian Eng Toojin bersikap tenang sekali. Ia tertawa besar seraya berkata: "Cian-toaya sungguh royal dan aku pun tidak usah sungkan-sungkan lagi." 

Sebaliknya dari berkelit, ia mengebas kalang-kabut dengan kedua tangan jubahnya yang sangat panjang dan dalam tempo sekejap, seantero biji shuiphoa itu sudah masuk ke dalam tangan jubahnya!Muka Cian Thong Hay menjadi pucat bagaikan mayat. Ia berdiri terpaku di tengah gelanggang sambil menyekal shuiphoa-nya yang sudah kosong.Tampik sorak bergemuruh terdengar di seluruh taman. 

Hian Eng membungkuk sembari bersenyum, tapi sebelum ia sempat membuka suara, di antara sorak-sorai, mendadak terdengar suara orang yang menyeramkan: "Guna apa berlaku begitu kejam? Aku sungguh tak tega melihatnya!" 

Suara itu tidak begitu keras, tapi sangat menusuk kuping dan sudah menindih sorakan ramai itu.Hian Eng Toojin terkejut dan di lain saat, seorang tinggi besar sudah loncat masuk ke dalam gelanggang dengan melompati kepala sekian banyak tamu.

"Cian-lauwtee!" kata orang itu. "Jangan pergi dulu. Aku akan mengambil pulang biji emasmu!"

Orang itu juga berdandan seperti saudagar dan begitu melihat, Hoan Eng terkesiap lantaran orang itu bukan lain daripada Yang Cong Hay. Si baju putih juga kaget dan tangannya merasa gagang pedangnya.

"Yang-toako," kata Bu Cin Tong dengan suara manis. "Kau juga datang? Hian Eng Tootiang adalah kawan kita!"

Pada jaman itu, Yang Cong Hay adalah salah satu dari empat ahli pedang utama di seluruh Tiongkok. Nama besarnya sudah menggetarkan Rimba Persilatan, tapi karena ia hanya berkelana di daerah Sucoan, Hunlam dan Kwiciu, maka di antara orang-orang gagah di wilayah Tionggoan, banyak sekali yang belum pernah bertemu muka dengan ia. 

Begitu she-nya disebutkan Bu Cin Tong, semua orang jadi terperanjat.

"Kawan apa?" kata Yang Cong Hay dengan suara tawar. "Cian-lauwtee adalah seorang saudagar jujur. Tujuanku hanya untuk mengambil pulang modalnya!" 

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang