Jilid 21

385 6 0
                                    

"Si baju putih" adalah puteri tunggal mendiang Ie Kiam dan diberi nama Sin Cu. Co-thaykam pernah memberitahukan Pit Kheng Thian, bahwa Ie Kiam tidak mempunyai putera, dan itulah sebabnya, kenapa tadi ia sudah memperlihatkan perasaan sangsi. Dulu, di gedung Ie Kiam, In Lui pernah bertemu dengan Sin Cu yang cantik dan cerdas sekali otaknya, sehingga pendekar wanita itu sangat sayang kepada nona cilik itu. Belakangan, sesudah menikah dengan Thio Tan Hong, In Lui mengambil Sin Cu sebagai muridnya yang lalu diajak tinggal bersama-sama di dekat telaga Thayouw. 

Dalam tempo beberapa tahun saja, di bawah pimpinan suami isteri yang gagah itu, dari seorang gadis lemah, Ie Sin Cu sudah berubah menjadi jago wanita yang ilmu silatnya tinggi. Mereka bukan saja sudah menurunkan kiamhoat Hian Kie Itsu yang luar biasa, tapi In Lui pun sudah mengajar ilmu menimpuk senjata rahasia yang sangat liehay dan dikenal sebagai Hui-hoa-tah-hiat (bunga terbang menghantam jalan darah) kepadanya. Sesudah keluar dari rumah perguruan, berkat senjata rahasianya itu, Sin Cu sudah mendapat julukan sebagai San-hoa-lie-hiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga). 

Sesudah berlatih hampir sepuluh tahun, dapat dikatakan Ie Sin Cu sudah mencapai puncak pelajaran silat yang sangat tinggi. Oleh karena ia sendiri hanya berkelana di kalangan Kangouw selama dua-tiga tahun, lalu menyingkir dan hidup bersembunyi di daerah Thayouw, In Lui menginginkan supaya muridnya itu bukan saja mewarisi ilmu silatnya, tapi juga meneruskan pekerjaannya sebagai seorang pendekar wanita.Dalam beberapa tahun itu, di samping meyakinkan ilmu silat, Ie Sin Cu juga sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat Tan Hong suami isteri.

Ketika itu, Thio Tan Hong dan In Lui berusia kira-kira tiga puluh tahun, sedang Sin Cu baru saja belasan tahun. Dengan adanya perbedaan usia yang begitu besar, perhubungan antara mereka bukan hanya merupakan perhubungan antara guru dan murid, tapi juga seperti antara orang tua dan anak sendiri. Maka itu, demi mendengar gurunya dicaci, Sin Cu tak dapat menguasai diri lagi, biarpun yang mencaci itu adalah tuan penolongnya.

Dalam sekejap mata, ia sudah terpisah belasan lie dari Bu-kee-khung. Hatinya yang mendongkol dengan perlahan sudah menjadi tenang pula. 

Ia memikirkan perbuatannya tadi dan berulang-ulang menanya dirinya sendiri: "Apakah aku benar? Apakah aku keliru?"

Dengan hati pepat, ia menjalankan kudanya. Ia ingat akan Pit Kheng Thian yang kasar dan gagah, dengan keangkeran seorang enghiong. Akan tetapi, dengan segala kegagahannya itu, sama sekali ia tidak merasa takluk. Sebab apa ia tidak merasa takluk, ia sendiri tidak mengerti. Mengenai serangannya tadi, ia pun tidak tahu, apakah itu benar atau salah. Apakah sakit hati ayahnya harus dibalas? Jika harus dibalas, bagaimana membalasnya? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat mengusutkan pikiran si nona.Harus diingat, bahwa waktu itu, Ie Sin Cu baru saja berusia enam belas tahun. 

Dalam usia sebegitu, orang lain mungkin belum tahu, apa artinya penderitaan. Tapi oleh karena ia pernah mengalami beberapa kejadian yang menggoncangkan hati, maka ia sudah lebih dewasa daripada nona-nona lain sepantarannya. Saat itu, tujuan satu-satunya adalah buru-buru pulang ke rumah gurunya, untuk menyesapkan kepalanya di pangkuan sang Subo (ibu guru, In Lui) dan kemudian minta petunjuk Suhu-nya.

Tiba-tiba, tunggangannya yang biasa berlari bagaikan angin, entah kenapa, jadi semakin lambat larinya. Sin Cu menepuk-nepuk punggung hewan itu dan berkata dengan suara halus: "Kudaku, hayolah lari lebih cepat."

Kuda itu berbenger dua kali, mulutnya mengeluarkan busa putih dan berjalan semakin perlahan. Si nona merasa heran, belum pernah ia mengalami peristiwa seperti itu. Kuda putih itu sebenarnya adalah tunggangan Thio Tan Hong yang dinamakan Ciauw-ya-say-cu (si singa yang menerangi malam), seekor kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia. 

Dalam sehari dia bisa berlari seribu lie, sehingga di waktu menungganginya, Sin Cu sering-sering merasa larinya terlalu cepat. Dengan perasaan heran, si nona loncat turun. Ia melihat kuda itu seperti sedang sakit dan mulutnya terus mengeluarkan busa. Ia menjadi bingung karena tidak mengerti penyakit kuda.

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang