Jilid 32

330 6 1
                                    

Sesudah bersangsi sebentar, Sin Cu turun dari kudanya yang lalu ditambat pada sebuah tihang. Begitu masuk di ruangan restoran, ia melihat belasan orang yang duduk pada lima-enam meja.

Menurut kebiasaan, jika begitu banyak orang makan minum dalam suatu restoran, ributnya tak kepalang. 

Sungguh heran, ruangan itu sunyi senyap dan semua orang memperlihatkan paras sungguh-sungguh, seolah-olah mereka berada di suatu tempat keramat. Pit Goan Kiong dan kawannya yang brewokan, duduk pada sebuah meja di dekat jendela sebelah barat.

Melihat Sin Cu, ia senyum, sehingga hati si nona jadi berdebar-debar, tapi syukur ia tidak mengeluarkan kata yang gila-gila. Si hweeshio gemuk duduk sendirian pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Cu.

Dengan rasa tertindih, Sin Cu mengambil tempat duduk, yang berdekatan dengan jendela. Ketika pelayan restoran mengampiri, dengan sikap acuh tak acuh, ia mengeluarkan Jit-goat-siang-kie dari sakunya. Pelayan itu manggut-manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara perlahan: "Tuan ingin makan apa?"

Si nona lantas saja minta setengah kati daging kerbau asin dan satu kati arak putih. Pelayan itu mengawasi dan paras mukanya mengunjuk perasaan sangsi.

Sesaat itu, Sin Cu menyapu beberapa meja dengan matanya. Tiba-tiba saja ia menjadi heran karena di atas setiap meja terdapat semangkok sayur ikan masak kuwa yang asapnya masih mengebul-ngebul. Kenapa mereka dengan serentak memesan makanan yang sama?

Mendadak si hweeshio gemuk yang sedang minum arak sendirian, berteriak: "Hei! Mana makanan yang kupesan?"

"Taysu pesan apa?" tanya pelayan restoran.

"Begitu datang, aku lantas memesan," jawabnya dengan suara mendongkol. "Aku minta Angsio kaki babi. Bagaimana sih? Baru dipesan, sudah lantas lupa?"

"Maaflah," kata si pelayan sembari tertawa. "Kawanku yang barusan melayani Taysu, sedang ke dapur. Biarlah kutengok."

Para tamu mengawasi hweeshio itu, tapi mereka tidak berkata suatu apa. Beberapa saat kemudian, salah orang bangun dan terus naik ke loteng, entah ingin menengok kawan, entah dia sendiri menginap di kamar atas. 

Lewat lagi beberapa detik, seorang lain menyusul ke atas. Tanpa sebab, si hweeshio gemuk mendadak tertawa dingin.

Setelah itu, seorang pelayan keluar dengan semangkok ikan masak kuwa yang masih mengebul dan membawa masakan itu ke meja Pit Goan Kiong.Tiba-tiba si paderi berbangkit dan berteriak: "Hei! Aku memesan lebih dulu, kenapa dia yang lebih dulu dilayani!"

"Jangan gusar, Taysu," kata si pelayan sembari tertawa. "Pesanan Taysu akan segera datang."

Paderi itu segera meninggalkan mejanya dan berjalan dengan tindakan lebar. Sin Cu mula-mula menduga bahwa ia ingin memprotes kepada pengurus restoran, tapi tak dinyana, begitu berdekatan, ia menyikut si pelayan yang kontan jatuh terjengkang dan semangkok santapan itu berhamburan di lantai. Pit Goan Kiong dan kawannya yang berbadan kasar, loncat menyingkir, tapi tak urung kecipratan kuah juga.

"Kalde gundul!" bentak kawan Pit Goan Kiong. "Benar-benar kau mau cari-cari?" Sembari mencaci, tinjunya menyambar.

"Tanganku sedang gatal," jawab si paderi. "Tak menghajar kau, mau menghajar siapa lagi?"

Dengan tangan kiri, ia menangkap tinju yang menyambar itu, sedang tangan kanannya, dengan gerakan Tui-khung-bong-goat (Menolak jendela memandang rembulan), menyanggapi sikut lawannya yang lantas didorong dengan keras. Saat itu juga, badan orang yang besar itu "terbang" ke arah meja pengurus restoran.Pengurus restoran itu adalah seorang tua yang berkumis putih. Selagi tubuh orang itu melayang ke arahnya, ia mengangkat shui-phoa (alat menghitung Tionghoa) dan mendorong. 

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang