Jilid 31

326 6 0
                                    

Si nona manggut dan menjawab dengan suara serak: "Dibinasakan kawanan manusia keparat itu!"

Siauw-houw-cu ternganga. Tiba-tiba ia berteriak dengan suara tak wajar: "Dusta! Ayahku jarang ada tandingannya. Mana mungkin ia dibinasakan orang?"Sambil menahan air mata, Ie Sin Cu mengeluarkan golok Biantoo dan sobekan baju Thio Hong Hu yang berlumuran darah untuk diserahkan kepada Siauw-houw-cu."Siauw-houw-cu, benar katamu," katanya dengan suara sedih. 

"Ayahmu adalah seorang jago yang jarang tandingannya. Orang-orang jahat itu semuanya sudah dibinasakannya sendiri, sakit hatinya semua sudah dibalas dengan tangannya sendiri."

Muka bocah itu mendadak menjadi pucat bagaikan kertas. Ia hanya dapat mengeluarkan sepatah kata: "Ayahku...""Biarpun mati, ayahmu mati dengan mata meram," Sin Cu membujuk. "Golok mustika itu ditinggalkan untukmu."

Kedua mata Siauw-houw-cu menjadi merah bagaikan darah, ia mengawasi Sin Cu dengan mata beringas. 

Tiba-tiba ia mengangkat tinjunya dan menumbuk dadanya sendiri serta kemudian menangis menggerung-gerung.Si nona mengeluarkan saputangannya dan menyusuti air mata bocah itu dengan hati penuh kedukaan.

"Siauw-houw-cu," katanya dengan lemah lembut serta perlahan. "Ayahmu bukankah pernah berkata, biarpun darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak akan keluar."

Sekonyong-konyong bocah itu menghunus Biantoo itu dan membacok beberapa kali di udara. "Baiklah! Aku memang tak boleh menangis," katanya, tapi air matanya masih terus mengucur.

"Aku bersumpah akan membinasakan semua orang jahat dalam dunia dengan golok ini!" kata Siauw-houw-cu dengan suara gergetan. "Ciecie, aku mohon kau mengajarkan aku ilmu silat."

"Asal mau dan rajin belajar, di kemudian hari kau pasti akan mempunyai ilmu yang sangat tinggi," kata si nona. "Kedua gurumu dan guruku sendiri sudah tentu akan menurunkan segala kepandaian mereka kepadamu."

Sedang mulutnya membujuk bocah itu, hati si nona sendiri justru seakan-akan diiris-iris. Ia ingat, bahwa sakit hati Thio Hong Hu sudah terbalas himpas, tapi sakit hati ayahnya sendiri, siapa yang akan dapat membalaskannya? Ia menghibur Siauw-houw-cu, tapi air matanya sendiri terus berketel-ketel turun.

"Ah! Mengapa kamu menangis berdua-dua?" demikian terdengar pertanyaan Hek-mo-ko yang tanpa diketahui sudah berada di damping mereka.

"Thio Hong Hu Peh-peh telah meninggal dunia, aku sedang membujuk supaya ia jangan terlalu bersedih," kata Sin Cu.

"Ha? Thio Hong Hu mati? Apakah gara-gara urusan malam itu?" tanya Hek-mo-ko dengan suara terkejut.

Sin Cu lantas saja menuturkan, bagaimana Thio Hong Hu sudah binasa secara laki-laki, sesudah, dengan tangan sendiri, membunuh semua penyerangnya.

"Bagus! Dia hidup sebagai laki-laki, mati juga sebagai laki-laki," kata Hek-mo-ko. "Siauw-houw-cu! Kau harus merasa bangga mempunyai ayah seperti ia." 

Ia berpaling kepada Sin Cu dan berkata pula: "Sebenarnya aku harus membiarkan kau mengajak Siauw-houw-cu pergi mencari gurumu. Tapi, mengingat ilmu silat bocah itu masih sangat cetek, sehingga akan membikin kau berabe saja dalam perjalanan jauh, maka lebih baik aku akan mengajaknya ke India untuk dua tahun lamanya. Sesudah ia mempunyai kepandaian yang agaknya cukup tinggi, baru aku akan mengirimnya kepada gurumu. Bagaimana pendapatmu?"

"Aku setuju," sahut si nona. "Rencana kalian adalah untuk kebaikan Siauw-houw-cu. Hm! Sekarang aku minta kau menceritakan hal guruku."

"Gurumu telah memberitahukan, bahwa ia ingin pergi ke Taylie, di Hunlam," Hek-mo-ko menerangkan, "Thaysucouw-mu yang berdiam di gunung Tiam-cong-san di Taylie, tahun ini akan merayakan hari ulang tahunnya yang kedelapan puluh satu. Maka, kepergian gurumu kali ini mempunyai dua tujuan, yaitu untuk menyingkir dari bencana dan berbareng untuk memberi selamat panjang umur kepada Thaysucouw-mu."

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang