Jilid 30

476 9 2
                                    

Tangan Ismet menyambar dan coba menyengkeram si nona. 

Bagaikan kilat Ie Sin Cu menikam pedangnya yang berkeredapan menyambar ke arah jalan darah Hian-kie-hiat di dada dan Koan-goan-hiat di bawah ketiak Ismet. Tikaman itu adalah serangan membinasakan menurut Hian-kie-kiam-hoat.

Melihat serangan yang sehebat itu, Ismet agak terkejut. Ia tak menduga, jika pemuda yang masih kekanak-kanakan itu mempunyai kiamhoat yang begitu liehay.

Ia tak berani berlaku ayal, sembari mengegos ia menyentil dengan jerijinya. Dengan berbunyi "tring!", Ceng-beng-kiam itu hampir-hampir terbang dari tangan Ie Sin Cu.

Oleh karena tujuannya adalah untuk memancing musuh, maka gerakan Sin Cu itu, walaupun hebat, tetapi di samping menyerang juga mengandung persiapan untuk mundur. Demikianlah dengan meminjam tenaga musuh, begitu pedangnya terpental balik, ia lantas loncat mundur dan masuk ke dalam barisan batu. Ismet yang tidak menduga jelek, lantas saja mengubar, diikuti saudaranya.

Barisan batu itu dulu dibuat Pheng-hweeshio menurut rencana Pat-tin-touw-cu-kat-bu-houw dan mempunyai delapan pintu, yaitu pintu Hiu (Beruntung), Seng (Hidup), Siang (Luka), Touw (Buntu), Sie (Mati), Keng (Besar), Kheng (Kaget) dan Kay (Buka). Seorang yang tidak mengenal barisan itu, meski mempunyai kepandaian bagaimana tinggi juga, sekali masuk, tak usah mengharap akan bisa keluar lagi.

Dengan perasaan tidak mengerti, Ismet bersama saudaranya berputar-putar di antara batu-batu itu. Sebentar-sebentar, entah dari mana Ie Sin Cu dan Siauw-houw-cu muncul, tapi begitu diserang, mereka menghilang, tak tahu ke mana. Mereka tak usah kuatir akan keselamatan mereka, akan tetapi, dipermainkan secara begitu, mata mereka jadi berkunang-kunang dan semakin lama, mereka masuk semakin dalam.

Ismet terkejut. "Tujuan kita adalah untuk mencari dua siluman tua itu, tapi kenapa kita sendiri berbalik kena dipermainkan oleh dua bocah cilik itu?" katanya kepada saudaranya. Berputar-putar, mereka mencari jalan keluar, tapi tidak bisa berhasil.

"Hei!" teriak Siauw-houw-cu, mengejek. "Kamu mau mengambil aku sebagai murid. Aku sekarang berada di sini, kenapa kau tak berani mendekati?"

Dengan gusar kedua saudara itu mengubar. Si nakal buru-buru lari mendekati Ie Sin Cu dan mengikuti si nona lari beberapa putaran. Ismet dan Akhmad mengejar terus dan akhirnya kena dipancing masuk ke pintu Mati.

Biar tinggi ilmu mereka, kedua saudara itu mulai menjadi bingung juga. Sementara itu, Sin Cu dan si nakal mengejek terus. Akhmad jadi gusar bukan main. Ia memeluk sebuah pilar batu dan sembari membentak keras ia mencabut pilar itu yang beratnya ratusan kati. Tinggi setiap pilar sedikitnya beberapa tombak dan bagi orang biasa, untuk merubuhkan sebuah saja sudah bukan pekerjaan enteng. Sesudah mengeluarkan banyak keringat dan badannya lemas kecapean, Akhmad baru berhasil merubuhkan beberapa pilar saja dan bersama saudaranya, ia masih belum dapat mencari jalanan keluar.

Ismet minta saudaranya berhenti mencabut pilar-pilar itu dan lalu mengasah otak untuk mencari daya lain yang lebih baik. Beberapa saat kemudian, ia minta saudaranya berdiam di bawah untuk berjaga-jaga terhadap serangan senjata rahasia Ie Sin Cu, sedang ia sendiri segera memanjat salah sebuah pilar. Pinggiran pilar itu tajam bagaikan pisau, tapi Ismet yang seakan-akan mempunyai tulang besi dan urat kawat, tidak takut akan ketajaman batu itu.

Dalam sekejap mata, ia sudah tiba di ujung pilar. Baru saja matanya memandang ke empat penjuru, kupingnya mendadak mendengar suara tertawa yang nyaring dan aneh, di puncak gunung.

Ternyata orang yang berada di puncak itu bukan lain daripada Hek dan Pek-mo-ko. Hek-mo-ko kelihatan sedang memeluk sebuah gendewa raksasa, sedang Pek-mo-ko menyekal anak panah. Dengan badan mereka yang tinggi besar, dua saudara hitam putih itu seakan-akan dua malaikat yang sedang berdiri di puncak gunung.

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang