Jilid 40

182 5 0
                                    

Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin Cu perkenalkan diri. Baru setelah itu, ia seperti ingat suatu apa. Ia lantas saja menanya: "Katanya perompak lagi mengacau di Tayciu, aku kuatir tidak aman di jalanan?""Memang juga aku telah dengar perompak kate (pendek) lagi mengganas di pesisir Tayciu," sahut si mahasiswa, "dan walaupun betul kota Tayciu masih berada di tangan tentara negeri, bahaya bukannya tidak ada. Ayahku lagi sakit, sebagai anak, tidak dapat aku tidak menjenguknya..."Sin Cu terharu, ia jadi ingat ayahnya sendiri. Diam-diam ia menghela napas."Kenapa kau menghela napas, Hengtay?" si mahasiswa menanya."Aku terharu untuk nasibnya penduduk pesisir timur selatan," menjawab Sin Cu. "Di sana kaum perompak mengganas, pemerintah tidak dapat menolongi mereka...""Kau mulia sekali, Hengtay," kata si anak muda, yang memuji kebaikan hati orang. Ia berkata seraya menoleh ke lain arah."Apakah Hengtay gemar menikmati pemandangan alam indah di sini?" kemudian Sin Cu menanya lain hal.Mahasiswa itu mengusap mukanya dengan tangan bajunya, ia berpaling kembali."Maafkan aku," ia menyahut. "Mataku kurang sehat, terkena angin sungai, aku telah mengeluarkan air mata."Sin Cu lihat mata orang merah dan masih ada sisa air matanya. Ia sebenarnya tidak perhatikan itu, sampai ia dibikin bercuriga oleh nada orang yang agaknya berbicara seperti menahan tangisan. Kapan ia mengawasi pula, ia tampak satu muka yang tampan, kecuali alisnya menunjuki tekukan dari kedukaan."Mungkin ia berduka karena ia memikirkan sakitnya ayahnya," pikir Sin Cu.Nona Ie ingin menghibur mahasiswa ini ketika ia batal karena perhatiannya tertarik sebuah perahu, yang mendatangi dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali dan kepalanya berukiran naga-nagaan. Tubuh perahu juga tinggi, karena undakannya, yang merupakan lauwteng di atas mana rupanya ada terdapat banyak penumpangnya. Dari atas itu terdengar suara tetabuan berikut nyanyiannya. Mungkin orang tengah berpesta.Gurunya Sin Cu terpelajar dalam segala hal, si nona sedikitnya dapat mewariskan kepandaian guru itu, maka juga ia bisa mengenali suara tetabuan itu, yang bukannya tetabuan Tionghoa.Kapan perahu besar itu sudah datang terlebih dekat, terlihat nyata di atas lauwteng-nya ada banyak orang, yang semua bertubuh kasar."Ini toh orang-orang Nippon?" Sin Cu kata sambil tertawa. "Dari mana datangnya mereka begini banyak?"Terdengarlah suara nyanyian, yang kasar tetapi berirama sedih. Si nona memasang kupingnya, sia-sia saja, ia tidak mengarti, samar-samar ia mendengarnya.Tiba-tiba saja si mahasiswa nyanyi seorang diri:"Bunga itu walaupun harum tetapi ia terbang terbawa angin tanpa perlindungan... Inilah nyanyian Nippon bunga sakura..."Thio Hek sudah lantas berhenti menggayu."Tidak salah, inilah perahu upeti bangsa kate (pendek)!" katanya.Sin Cu terperanjat saking heran."Kenapa perahu mereka dapat berlayar dengan merdeka di sungai Tiangkang?" katanya."Siangkong tidak tahu," sahut Thio Hek. "Bangsa kate (pendek) itu sangat licin, di satu pihak mereka membajak, di lain pihak dengan berpura-pura mengantar upeti mereka berusaha dengan menyelundup.""Begitu?"Si tukang perahu menghela napas. "Malah pembesar pabean kita telah memperlakukan mereka sebagai tetamu yang dihormati!"Di jaman kerajaan Beng itu, sewaktu tahun Cengtong atau Kaisar Eng Cong, untuk Nippon adalah "jaman perang saudara" dan di pelbagai tempat di mana ada raja muda yang berkuasa dengan angkatan perangnya, raja-raja muda itu berebut mengirim upeti ke Tionggoan, dengan mengangkutnya dengan perahu-perahu besarnya itu. Menurut aturan kerajaan Beng di masa itu, kalau utusan asing datang mengantar upeti, barang-barang pribadinya bebas dari cukai.Ketika ini dipakai pelbagai raja muda itu untuk menyelundupi barang-barangnya. Kalau pemerintah Beng menegur pemerintah Nippon tentang kawanan perompaknya, dijawabnya mereka itu ada golongan bangsa "ronin" yang pemerintah Nippon tidak berdaya untuk mengurusnya. Sedang sebenarnya, rombongan ronin itu dapat tunjangan pelbagai raja muda itu atau yang langsung ditugaskan membajak."Mereka itu merampok, membakar dan membunuh, kenapa pembesar negeri setempat membiarkan saja?" tanya pula Sin Cu."Bukankah itu disebabkan hasil keuntungan besar?" Thio Hek balik bertanya. "Mereka itu menggunai kedudukannya sebagai utusan pengantar upeti. Telah ditetapkan pemerintah, waktu mengantar upeti adalah tiga tahun sekali dan jumlah rombongan utusan pun dibataskan, tetapi pelbagai raja muda itu berebut mengantar upeti dan semua rombongan itu menyogok pembesar maka mereka dapat datang dan pergi dengan merdeka."Si nona menggeleng-geleng kepala, ia menjadi sangat masgul."Mari kita menyingkir," kata Thio Hek selagi perahu di depan datang semakin dekat.Darahnya si nona menjadi naik."Kenapa kita mesti menyingkir?" katanya sengit. "Kita justeru papaki dia!"Thio Hek mengedipi mata."Siangkong," ia memberi ingat, "bukankah kau hendak menyebrang untuk satu urusan? Perahu upeti itu biasanya galak dan jahat, satu kali kita papaki dia, onar bakal terbit dan itulah bukannya permainan."Nona Ie murka tapi nasihat Thio Hek membuatnya ia diam.Thio Hek lantas mengubah tujuannya, tetapi di lain pihak belasan tombak dari perahu upeti itu, ada sebuah perahu nelayan yang muatannya adalah seorang nelayan tua serta seorang anaknya perempuan, perahu nelayan itu dapat dilihat orang-orang dari perahu besar, lantas mereka berkaok-kaok menggunai penggayu, untuk mengejar."Celaka!" seru si mahasiswa, kaget. "Mereka hendak tangkap itu nona nelayan!"Kembali naik darahnya Sin Cu."Thio Hek, biar bagaimana juga, mari kita hampirkan mereka!" dia berteriak. "Lekas kau menggayu balik!"Di pihak sana, perahu besar sudah mendekati perahu nelayan, ada dilemparkan dua rantai gaetan, untuk membangkol perahu nelayan itu. Justeru itu, perahunya Thio Hek dapat menyandak, dan Sin Cu, dengan pedangnya, lantas membabat kutung rantainya gaetan seperti jangkar itu.Di atas perahu besar, orang kaget dan gusar, lalu terdengar teriakan mereka "Bagero" berulang-ulang. Bahkan dua orang, yang membekal golok, sudah lantas lompat turun ke perahunya Thio Hek.Ie Sin Cu memang sudah bersiap sedia, ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, yang membuatnya dua bunga emasnya terbang menyamber. Satu ronin kena dihajar, dia roboh ke dalam air, kawannya dapat menaruh kaki di perahu tapi dia ini segera dibabat dengan pedang. Dia gunai goloknya, untuk menangkis. Untuk kagetnya, goloknya terpapas kutung, sedang tadinya dia tertawa lebar.Ronin itu ada dan keempat, ia percaya goloknya yang tajam, ia tidak pandang mata kepada nona ini, yang macamnya sebagai seorang pemuda lemah, baru ia kaget sesudah goloknya itu terkutung.Selagi orang tercengang, sambil membentak, Sin Cu kirim tikaman mautnya seraya kakinya membarengi menendang, maka selain dada orang itu ditembuskan pedang hingga di punggungnya, dia pun roboh ke dalam air, tubuhnya dibawa hanyut air yang menjadi merah karena darahnya.Dari atas perahu besar segera terdengar pula riuh teriakan bagero tapi sekarang dibarengi pujian, pujian untuk caranya Sin Cu merobohkan kedua lawannya, tidak perduli lawan itu ada kawan atau bangsanya sendiri.Thio Hek memutar pula kepala perahunya, untuk mencoba menyingkir, atau lagi dua musuh lompat ke atas perahunya itu, mereka ini sangat lincah, dan ketika mereka telah menaruh kaki di lantai perahu, perahu lantas saja kelam sedikit.Hatinya Sin Cu menjadi besar menyaksikan bagaimana dengan gampang sekali ia berhasil menyingkirkan dua lawan yang pertama itu, ia terus menyambut lawan yang baru ini. Dengan gerakan pedangnya "Secara mendusta membagi emas", ia menikam mereka saling susul, berganti dari yang satu kepada yang lain.Kedua lawan itu berseru, mereka membabat dengan pedang mereka yang panjang. Dengan terpaksa, Sin Cu menarik pulang pedangnya seraya mundur. Hampir berbareng dengan itu, ia dengar jeritan, terus ia tampak tubuh Thio Hek terlempar ke air.Tukang perahu itu hendak membantui si nona, selagi kedua musuh menyerang, ia membokong satu musuh dengan penggayunya. Musuh itu kebetulan ada jago dan keenam, dia lihat serangan, dia berkelit, justeru tubuh Thio Hek terjerunuk ke arahnya, dengan menggunai satu jurus yudo, dia tangkap tangannya Thio Hek untuk diteruskan dilemparkan. Saking kaget, Thio Hek menjerit.Sin Cu lantas menyerang pula, tempo ia diserang kembali, ia punahkan serangan mereka itu. Kedua musuh ini, yang ada dan keenam dan dan kelima, menjadi kagum mengetahui si nona liehay, karenanya, mereka berkelahi dengan ati-ati. Nona Ie didesak, ia tidak mau mundur, sebaliknya, ia membalas merangsak. Ia berhasil membuatnya orang mundur ke kepala perahu tetapi ia tidak dapat lantas merobohkan mereka itu. Mereka itu cerdik, tahu si nona memegang pedang mustika, mereka selalu menghindarkan bentrokan senjata.Selagi begitu, perahu besar mulai mendekati perahu Thio Hek. Dari atas perahu besar itu segera dilonjorkan belasan batang gaetan. Asal saja kedua perahu telah datang dekat sekali, pasti gaetan akan bekerja dan perahunya si nona bakal kena tergaet. Inilah berbahaya. Perahu kecil itu tanpa tukang kemudinya. Si nona sendiri tidak pandai berenang.Tanpa kemudi, perahu kecil itu terumbang-ambing, dan dengan di atasnya ada tiga orang lagi bertarung, terumbang-ambingnya menjadi terlebih keras. Gubuk perahu juga telah terbabat golok -goloknya musuh.Lantas juga Sin Cu menjadi berkuatir. Goncangan keras dari perahu membuatnya repot, kesatu untuk melayani musuh, kedua guna memperteguh kuda-kudanya. Celakanya, kepalanya terasa pusing, hingga matanya pun bagaikan kabur. Ia terganggu apa yang dinamakan "mabuk laut".Di perahu besar, rombongan ronin berteriak-teriak, belasan gaetan mereka digerak-geraki. Melihat gaetan itu, Sin Cu menjadi bingung. Justeru itu, sambil berseru, dua lawannya menyerang dengan berbareng. Bahkan musuh yang di kiri, habis menggertak, hendak menyergap, guna menangkap tangan si nona, guna dilemparkan ke sungai.Dalam saat yang berbahaya itu, Sin Cu masih dapat melihat tegas. Ia lantas membulang-balingkan pedangnya, guna menangkis. Ia geraki jurusnya "Kuda sungai menggendol gambar".

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang