Jilid 44

144 4 0
                                    

Heran juga Keng Sim menyaksikan kelakuan orang itu. "Baik sekali ini anak muda," ia berpikir. "Kita baru saja bertemu, dia sudah lantas memandang aku sebagai sahabat kekal."Ia menatap, hingga sinar mata mereka bentrok, hanya sejenak saja, Sin Cu lantas melengos, wajahnya menjadi merah sendirinya."Dasar bocah cilik!" kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia merasa lucu. "Barusan dia omong tampan, seperti orang dewasa, sekarang dia malu sendirinya..."Pemuda ini masih belum menduga bahwa orang ada satu pemudi."Terima kasih, Saudaraku," katanya pula kemudian, sembari tertawa. "Kalau begitu baiklah Saudaraku tolong bawa saja pesanku.""Untuk siapakah itu?" Sin Cu tanya."Terpisah tujuh atau delapan lie di timur kota ini ada sebuah desa kecil yang dipanggil Pek-see-cun," menjawab Keng Sim. "Di sebelah barat desa itu, seperti menyender pada bukit, ada sebuah rumah. Di depan rumah itu ada tiga pohon pekyang dan di depan pintunya ada sepasang singa batu. Ada sangat gampang untuk mengenali rumah itu. Kalau nanti Saudaraku telah bertemu sama tuan rumah, tolong kau tuturkan kepada dia semua apa yang kau dengar dan lihat malam ini.""Siapakah tuan rumah itu?" Sin Cu tanya. "Orang apakah dia?""Asal Saudaraku bertemu dengannya, Saudaraku bakal ketahui sendiri," sahut Keng Sim. Dia bersenyum, agaknya dia aneh.Sin Cu terima pesan itu, ia lantas berlalu. Sampai di pondoknya, ia masih tidak dapat menerka artinya senyuman pemuda itu. Besoknya, Sin Cu masih belum menerima balasan kabar dari orang yang diutus Thio Hek untuk menghubungi pihak tentara rakyat. Ia tidak menanti lebih lama, seorang diri ia menuju ke Pek-see-cun, desa Pasir Putih.Ketika itu ada di permulaan musim rontok, sawah-sawah di luar kota memperlihatkan wajah kuning emas, tandanya tanaman telah masak. Pemandangan alam itu ada menarik hati, maka Sin Cu merasa puas. Hanya ketika itu, di situ terdapat jarang sekali orang yang berlalu lintas. Ia menghela napas, di dalam hatinya ia kata: "Coba tidak ada gangguan perompak kate (pendek), tempat ini mirip dengan dunia punya Taman Bungah Toh..."Pek-see-cun terpisah dari kota tak ada sepuluh lie, maka itu dengan tanya-tanya orang, Sin Cu lekas tiba di desa itu. Itulah sebuah kampung kecil, yang penduduknya terdiri dari belasan rumah, yang mencar satu dari lain. Ia jalan terus di jalan pegunungan yang berliku-liku, sampai di selat di mana ia dapatkan sebuah rumah yang berdiri di lamping bukit. Rumah itu tidak punya tetangga. Di tanjakan terlihat tanaman bunga kuihoa, yang harumnya terbawa siuran angin gunung. Lega akan mendapatkan bau harum itu. Maka Sin Cu duga penghuni rumah itu seorang yang halus budi pekertinya.Setelah melintasi kebun bunga, Sin Cu dapat lihat sepasang ciosay atau singa-singaan dari batu, yang bercokol di undakan tangga rumah, dan di depan pintu rumah itu benar ada tiga buah pohon pekyang, yang mengalingi satu pojoknya lauwteng rumah."Tidak salah lagi inilah rumah yang Keng Sim pesan aku mesti cari," memikir pemudi ini selagi ia mengawasi ke arah rumah itu. "Kenapa Keng Sim tidak hendak memberitahukan aku siapa pemilik rumah ini?"Ia bertindak menghampirkan pintu, tindakannya pelahan, niatnya untuk mengetok. Tiba-tiba ia merasakan samberan angin di belakangnya, lalu ia dengar teguran yang nadanya halus: "Siapa yang datang celingukan kemari?" Ia lantas menoleh, maka di hadapannya tampak satu nona yang manis, bajunya bertangan pendek, warnanya kuning marong, rambutnya dijadikan konde dua. Nampaknya nona itu masih kebocah-bocahan walaupun usianya, ia taksir, tak berjauhan dengan usianya sendiri. Nona itu bawa lagaknya seorang dewasa. Untuk kagetnya, nona itu terus menyerang padanya, dengan satu jurus Kim-na ciu. Rupanya orang telah pandang ia sebagai seorang panca longok!Sebenarnya cukup untuk Sin Cu untuk berkelit seraya menyebutkan nama Keng Sim, urusan sudah tidak ada lagi, siapa tahu, ia pun bawa tabiatnya, ingin ia mencoba nona itu. Ia lantas membikin punah serangan si nona itu dengan jurusnya "Mega merah menampa rembulan". Kalau si nona menyerang ia dengan tangan kiri seraya tangan kanan dipakai melindungi diri, ia justeru menangkis dengan tangan kiri sambil menjambak dengan tangan kanan.Nona itu kaget hingga ia mengeluarkan seruan pelahan, sebab sikutnya kena dibentur. Atas ini, ia lantas saja menyerang pula dengan jurusnya "Tujuh bintang", mengarah dada orang, karena mana, Sin Cu mesti menarik pulang tangannya. Ia menjadi kagum untuk kegesitannya nona itu. Lantas ia mengubah jurusnya tadi dengan jurus "Menarik busur untuk memanah burung rajawali". Ia belum dapat menguasai ilmu silat tangan kosong tetapi gurunya telah ajari ia ilmu silat pedang "Pek-pian-hian-kie-kiam-hoat", maka itu, ia lincah luar biasa. Begitulah selagi dengan tangan kiri ia tangkis serangan si nona, dengan tangan kanan ia menyamber dada orang, pada jalan darah leng-kiu-hiat.Nona itu terkejut, mukanya menjadi merah, tetapi ia tidak menangkis atau berkelit, ia buka mulutnya, untuk menggigit tangan lawannya itu. Melihat itu, Sin Cu pun terperanjat. Ia lantas ingat bahwa ia tengah menyamar sebagai satu pemuda sedang lawannya itu satu nona remaja. Ia jadinya telah bersikap ceriwis!Pun luar biasa sekali cara bersilatnya nona itu, yang main menggigit. Syukur Sin Cu sebat menarik pulang tangannya, kalau tidak dua jerijinya bisa kutung terkacip gigi! Hanya, biar bagaimana, ia merasa jenaka juga...Di saat Nona Ie memikir untuk bicara, nona itu sudah menyerang pula padanya, secara bertubi-tubi, kedua tangannya, kiri dan kanan, menyamber-nyamber saling susul, kedua kakinya turut bergerak dengan cepat dan tetap untuk mengimbangi hujan serangannya itu. Ia terpaksa menunjuki kelincahannya akan menyingkir dari semua serangan itu, ia main berkelit, dengan mengegos tubuh atau berlompat. Tapi ia terus dirangsak, hingga tanpa merasa telah berlalu empat puluh sembilan jurus, hingga, umpama kata, ia tak dapat bernapas..."Heran," pikirnya. "Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu silatnya itu seperti melebih padanya."Banyak sudah gurunya, Thio Tan Hong, menuturkan ia tentang pelbagai macam ilmu silat partai lain tetapi belum pernah ada yang semacam ini.

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang