Jilid 20

382 9 0
                                    

Kecuali Pit Kheng Thian, semua orang lantas saja menekuk lutut dan memberi hormat di hadapan jenazah Ie Kiam. 

Sesudah kenyang menangis, si baju putih mengangkat kepalanya dan matanya mendadak melihat sebuah syair yang artinya kira-kira seperti berikut:

Menghadapi laksaan serangan, 'ku turun gunung,

Lautan api, 'ku tak perdulikan,

Badan hancur, 'ku tak takut,

Asal nama bersih dalam dunia!

Syair yang digantung pada tembok itu, adalah syair mendiang ayahnya yang digubah berdasarkan syair Eng-sek-hwee (Syair debu batu), untuk memperlihatkan isi hatinya. Ia heran dan tak mengetahui, dari mana Pit Kheng Thian mendapat syair tersebut.

Mendadak, di antara sesenggukan, si baju putih tertawa berkakakan bagaikan orang edan. "Badan hancur, aku tak takut, asal nama bersih dalam dunia!" ia berteriak. "Oh, Ayahku! Kebinasaanmu akan tercatat ribuan tahun. Tapi sungguh, kau sudah binasa secara cuma-cuma!"

Sesudah tertawa, ia mengulun, dan dalam tangisnya, ia tertawa pula. Laganya seperti orang berotak miring, suatu tanda dari kedukaan yang melewati batas!

Pit Kheng Thian tidak berlutut dan juga tidak menangis. Ia menyalakan hio yang lalu ditancapkan di hiolouw sambil manggutkan kepalanya. Kedua matanya terus mengawasi si baju putih. 

Mendadak ia berkata: "Co-kongkong, dari mana Ie Kiam mempunyai anak lelaki?"

Thaykam itu mengawasi si baju putih, bibirnya bergerak, tapi ia tak lantas bicara.Sekonyong-konyong putera Ie Kiam ini meloncat bangun dengan wajah gusar. "Kau sudah mengurus jenazah ayahku, budi itu selama hidupku tak dapat kulupakan," katanya. "Tapi, apa kau katakan barusan? Di kolong langit, di manakah pernah terjadi, seorang anak mengakui ayah terhadap orang yang bukan ayahnya?"

Semua orang yang menyaksikan kesedihan si baju putih, di dalam hati menyalahkan Pit Kheng Thian yang, sebaliknya dari membujuk, sudah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan.

Thaykam tua itu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara perlahan: "Tak salah. Ayahnya adalah Ie-thayjin."

Barusan, oleh karena seantero perhatiannya ditujukan kepada jenazah Ie Kiam, si baju putih tidak memperhatikan thaykam tua itu. Begitu dua pasang mata mereka berbentrok, pemuda itu kelihatan terkejut, mulutnya terbuka, tapi lantas tertutup lagi. 

Hoan Eng melihat itu semua, tapi Pit Kheng Thian, yang berdiri membelakangi si baju putih, sudah tidak melihat perubahan paras muka pemuda itu. 

Pit Kheng Thian kaget berbareng heran dan ia lantas saja berkata: "Ie-heng, harap kau sudi memaafkan perkataanku yang tidak pada tempatnya. Bolehkah aku mentanyakan, di mana Ie-heng ingin menempatkan jenazah mendiang ayahmu?"

Pemuda itu yang dapat dikatakan belum mengerti urusan, tak dapat menjawab pertanyaan Pit Kheng Thian.

"Menurut keterangan Co-kongkong, semasa hidupnya, mendiang ayahmu senang sekali kepada kota Hangciu," kata pula Pit Kheng Thian. "Sebelum meninggal dunia, beliau telah meninggalkan pesan, supaya jenazahnya dikubur di Hangciu, di kaki gunung berdekatan dengan kuburan Gak Hui. Jika Ie-heng dapat mempercayai diriku, aku bersedia untuk mengurus penguburan beliau di Hangciu, sesuai dengan pesannya itu."

Mendengar perkataan itu, si baju putih lantas saja menekuk lutut dan memanggil: "Inkong (tuan penolong)."

Kheng Thian buru-buru menyekal lengan pemuda itu seraya berkata: "Bukan terhadap aku, tapi terhadap Kongkong yang kau harus menghaturkan terima kasih."

Pendekar Wanita Penyebar Bunga - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang