KETIGA

1.9K 91 0
                                    

Menjadi mahasiswa jurusan akuntansi memang bukan hal yang mudah untuk di jalani. Setiap hari harus bergelut dengan jutaan jurnal dan transaksi perusahaan yang tak jarang membuat pening kepala. Beberapa rumus yang rumit harus dipaksa masuk kedalam otak. Lupa membawa kalkulator ke kampus akan sama halnya jika tidak membawa ponsel kemana-mana. Kalkulator sudah bagaikan ponsel kedua untukku. Setelah mengumpulkan tugas, aku, Tata, Vanessa dan Pika segera keluar kelas dan menuju ke lapak bubur ayam langganan kami.

"Genks, aku sama Tata punya hal penting buat di kasih tau ke kalian berdua." Kata Vanessa mengawali pembicaraan.

Pika yang sedang asik mencampur buburnya dengan kecap terpaksa menghentikan kegiatannya. "Apa? Kok serius banget kayaknya." Tanya Pika.

Aku menyuapkan satu sendok bubur kedalam mulut sambil menunggu Vanessa berbicara.

"Tahun ini aku sama Tata bakal nyoba tes SBMPTN lagi." Katanya pelan.

Wajah sumringahku langsung berubah masam ketika Vanessa selesai berbicara, "kenapa?" Tanyaku bergetar.

Tata menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan, "tahun depan papaku kerjaannya bakal pindah ke Jakarta dan mau nggak mau aku sama keluargaku ikut kesana." Jawabnya.

"Dan setelah tak pikir lagi, kayaknya aku nggak mampu buat terus ada disini, kemampuanku kayaknya nggak memadai buat terus ada di jurusan ini. Kalian tau kan gimana susahya aku nyerap mata kuliah disini, susah banget." Sahut Vanessa.

Aku dan Pika saling bertatap mendengar penjelasan Vanessa dan Tata barusan. Baru saja kami saling mengenal dan belakangan menyadari kecocokan masing-masing. Baru saja kami merasakan kebersamaan layaknya saudara sendiri. Dan tiba-tiba sekarang ada yang mengatakan jika ingin meninggalkan.

"Ya kalo misal ini emang udah keputusan kalian, aku nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi." Kataku. Kembali aku menyuapkan bubur ayam yang mendadak rasanya tak seenak biasanya.

Pika hanya diam tak menjawab apapun, dia terus menyuapkan bubur kedalam mulutnya. "Kalian nggak marah kan?" Tanya Vanessa.

"Agak sedih aja sih kalo aku." Jawab Pika.

Terlihat raut wajah Vanessa dan Tata seperti merasa bersalah. Segera ku pamerkan senyum setulus mungkin untuk obat Vanessa dan Tata.

"Yaudah nggak papa kok. Sekarang kita balik ke kampus aja yuk. Nanti telat kelasnya." kataku.

Kami segera menghabiskan bubur yang seketika menjadi tidak enak rasanya. Pika hanya memakan setengah bubur yang sudah di campur aduk lalu meminum setengah gelas es teh manis yang dia pesan juga.

***

"Ayma."

Sosok mama dengan setelah baju santai berjalan mendekatiku yang sedang duduk di pinggir kolam renang. Aku berharap bisa sedikit menenangkan hatiku dengan melihat air kolam yang tenang. Suara air yang mengalir pelan terdengar begitu indah di telingaku.

"Hai, Ma. Gimana kerjaannya hari ini?" Tanyaku.

Mama hanya mengangguk. Kami kini duduk bersebelahan. Mama memasukkan kakinya kedalam air kolam yang ku yakini mulai dingin. Suasana sore menjelang malam pasti akan mempengaruhi suhu air kolam ini.

"Kerjaan mama baik-baik aja, kayak biasanya." Katanya.

Aku mengangguk, "kalo kamu gimana?" Tanya Mama.

Aku hanya menoleh kearahnya, sepertinya aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Mama. Tanpa aku mengatakan jika aku sedang terbebani sesuatu saja mama sudah bisa menebak jika hatiku sedang tidak karuan.

"Ada masalah lagi?" Tanya Mama. Ku senderkan kepalaku di bahu Mama, membangun rasa nyaman beberapa detik.

"Sebentar lagi Tata sama Vanessa bakal pindah." Jawabku pelan. "Untuk kesekian kalinya aku bakal di tinggalkan."

Mama meraih jemariku yang sedaritadi terkait resah. Ku kembangkan senyum tipis kepada Mama yang sudah terlebih dahulu tersenyum manis. Mama hanya menatapku, berusaha mentransfers energi positif.

" Biarin mereka pilih apa yang mereka mau. Kamu sebagai teman yang baik, tugasnya coma mendukung dan mendoakan. Sahabat kan nggak selalu harus bareng-bareng. Ada kalanya kita harus berpisah sama sahabat kita, buat tau seberapa besar persahabatan tersebut."

Aku hanya mengangguk pada mama. Mama merangkulku erat. Dia sangat tau jika aku sangat tidak menyukai perpisahan dengan siapapun. Mungkin pertemananku dengan Tata dan Vanessa baru seumur jagung, tapi aku sudah bisa merasa mereka layaknya saudara sendiri. Banyak hal menarik yang kita lakukan di waktu yang sedikit ini. Tak butuh waktu lama untuk saling menyesuaikan diri.


Yang aku percayai, semuanya akan terasa sangat berat.

***

Ku bereskan beberapa buku dan barangku yang lain untuk menyusul Tata dan Pika yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju kamar mandi. Setelah semua masuk kedalam tas, aku beranjak dari tempat dudukku.

Brakkk..

Seseorang langsung membantu mengambilkan dua buku yang jatuh berserakan di lantai. "Aku nggak sengaja, Im. Maaf ya." Katanya.

Belum sempat aku membalas kalimatnya, laki-laki itu langsung pergi meninggalkan ku yang masih syok di tempat.

"Kamu nggak papa, Im?" Sebuah suara berat lainnya menyadarkan dari lamunanku.

"Mmmm, iya nggak papa kok. Cuma tadi si Alva buru-buru banget kayaknya." Jawabku gugup.

Jeco hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti dengan maksud kalimatku. "Kamu mau pulang atau gimana ini? Tata sama Pika mana, kok nggak bareng."

Saat mendengar nama Tata dan Pika di sebut, aku mulai mengingat mereka yang pastinya sudah menungguku di toilet sejak tadi.

"Oh iya, aku duluan ya. Dahh."

Segera aku berlari menuju toilet yang berjarak tak jauh dari ruang kelas. Benar saja, Tata dan Pika sudah berdiri di depan toilet sambil mengobrolkan sesuatu. Sepertinya mereka sudah lama menungguku. Ku sunggingkan senyuman nakal pada mereka yang sudah terlebih dahulu menampakkan wajah kesalnya padaku.

"Mau langsung balik apa main dulu nih?" Tanya Pika.

Aku menoleh pada Tata yang masih sibuk membalas pesan dari kekasihnya. "Kayaknya aku pulang deh, pacar aku mau ke rumah." Jawab Tata setelahnya dengan wajah yang berbinar.

"Yaudah kalo gitu aku juga pulang. Mainnya besok-besok aja." Kataku pada Pika.

Kami berpisah menuju kendaraan masing-masing saat sampai di parkiran.

"Ayma maaf ya yang tadi." sebuah suara yang tidak begitu aku kenal tiba-tiba saja terdengar. Ku edarkan pandanganku mencari sosok yang berkata tadi.

Alva.

Laki-laki berkaca mata klasik itu berjalan tak jauh dari mobil ku. Jarak dia berdiri bisa dibilang masih jauh dan dia seperti berteriak barusan. Aku menyunggingkan bibirku pada Alva yang semakin lama semakin mendekat.

"Kamu nggak perlu teriak-teriak gitu kok, Va." Kataku.

Alva berdiri tepat di depanku sambil tersenyum khasnya. Sebenarnya hampir tidak pernah aku berinteraksi dengan Alva sejak awal masuk kuliah. Hanya sekedar tau dan beberapa kali menyapa saja. Tidak bernah berdiri berdua seperti ini.

"Mau pulang?" pertanyaan yang terdengar sedikit canggung di telinga ku.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum manis padanya.

"Oke, hati-hati. Maaf ya sekali lagi, tadi aku buru-buru banget." Katanya lagi.

Aku menghela nafas malas, "kamu udah minta maaf berkali-kali hari ini cuma gara-gara ngejatuhin buku aku, Alva. Itu cuma masalah kecil, nggak perlu minta maaf." kataku.

Seperti mengerti, Alva hanya mengangguk sambil tersenyum hampir tertawa. Dia membukakan pintu mobil dan membiarkan aku masuk kedalam. Segera aku menyalakan mesin mobil ini dan menarik gas perlahan. Ku lambaikan tanganku pada Alva yang masih saja memandangiku. Lucu sekali lelaki ini.


Berpisah untuk memulai kembali bukan lah hal yang mudah, butuh energi lebih untuk menghadapinya...

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang