KEDUA PULUH DELAPAN

935 50 0
                                    

Kembali dapat mengobrol dengan sahabat adalah hal yang paling membahagiakan untukku. Isa bisa membawa suasana cair. Seolah sebelumnya kita baik-baik sana. Setelah aku melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan seorang teman.

"Maaf lagi ya, Im. Aku ngasih tau Alva kalo kamu ke pantai itu. Aku juga nggak nyangka kamu beneran ada disana." kata Isa.

Aku tersenyum padanya.

Aku memang sempat berceruta kepada Isa tentang keinginanku pergi ke pantai itu. Dan siapa yang memberitahukan aku tentang pantai itu.

"Nggak papa." jawabku.

"Kalian nggak kenapa kenapa, kan?" Tanya Isa.

Aku menarik nafas panjang, menjawab pertanyaan semacam itu membuatku ingin menangis. Lagi.

"Kalo kamu nggak mau jawab juga nggak papa kok." Katanya lagi.

Tak terasa air mata kembali terjatuh.

"Alva bilang aku bebas memilih jalan mana aja yang buat aku bahagia." Jawabku sesenggukan.

Isa memelukku erat, mencoba menenangkan aku yang sudah bercucuran air mata. Saat ini aku sudah tidak bisa berpikir dengan baik. Tidak bisa mengerti diriku inginnya seperti apa.

***

"Im..." 

Sebuah cangkir berisikan air putih dingin pesanan ku di letakkan diatas meja oleh Tata. Hari ini aku mengundang Tata, Pika dan Vanessa berkumpul di rumah Tata. Mereka bertiga adalah saksi nyata apa saja yang terjadi padaku akhir-akhir ini.

"Alva masih puasa ngomong sama kamu?" Tanya Pika.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Alva masih marah sama kamu?" Tanya Vanessa.

Tak terasa air mata kembali mengalir. Hatiku begitu rapuh jika membicarakan tentang ini.

"Gampangannya, sebenernya kamu gimana? Gimana perasaan kamu?" Tanya Tata.

Aku menenggelamkan wajahku diantara lipatan tangan yang sudah memeluk lutut erat. Pertanyaan 'gimana perasaanmu' selalu menjadi pertanyaan sulit untuk ku jawab.

"Aku nggak tau." Jawabku pelan.

"Kamu masih sayang sama Tama?" Tanya Pika.

Tata, Pika dan Vanessa menatapku begitu dalam, seolah mengharapkan begitu banyak cerita dariku.

Aku hanya bisa menggeleng kepala. Ragu.

"Masalahnya emang disitu." Jawab Vanessa.

"Selama kamu nggak bisa keluar dari Tama. Alva atau pun orang lain nggak bakal bisa masuk ke hati mu. Selagi hati kamu penuh sama orang lain, sebesar apapun cinta pacar kamu nggak bakal bisa masuk ke hati kamu." Lanjutnya.

"Sebenernya yang pertama kali harus kamu lakuin adalah, pastiin apa maunya hatimu. Kalo kamu mau terus sama Alva, lupain Tama. Kalo kamu emang masih sayang sama Tama, jangan buat Alva ngerasa kalo kamu sayang sama dia, padahal kenyataannya nggak gitu." Kata Pika.

"Kamu harus berani memilih, Ayma. Hidup itu emang selalu tentang pilihan." Lanjut Tata.

Aku tau semuanya benar.

***

Ku lirik jam dinding yang terletak tak jauh dari kasur ku. Pukul 3 pagi. Aku bangkit dari kasur dan duduk di kursi belajar ku. Ku buka buku pemberian Tama. Bayangan tentang kejadian dibalik buku ini mulai terngiang di kepalaku.

Semua ini terjadi dan berawal dari ini.

Andai saja aku tidak menerima ajakan laki-laki itu.

Andai aku tetap bersama Alva.

Semua akan tetap baik-baik saja.

Aku tak pernah memiliki pilihan. Aku pun tak pernah bisa memilih Tama walaupun aku mau..

Pandanganku beralih pada foto ku bersama Alva. Foto yang diberikan Alva sebagai kado untukku.

Mataku terasa panas memandang sosok kami berdua. Ada orang yang begitu sayangnya padaku, tapi dengan teganya aku membuatnya menderita.

***

Kelas berakhir menjelang malam hari ini. Dosen kami merangkap pertemuan menjadi 3 kali pertemuan, karena minggu lalu dia tidak bisa mengisi. Rasa mengantuk sudah menyelimuti aku dan temanku yang lain. Vanessa dan Pika sudah mengeluh ingin pulang, sementara Tata mengeluh lapar.

"Akhirnya selesai." Bisik Vanessa sambil memasukkan barangnya kedalam tas.

Dosen kami ini sangat sensitif jika mendengar mahasiswanya mengeluh lelah saat berkuliah. Akan panjang urusannya apabila salah satu dari kami terlihat tidak antusias.

"Ayma." Suara berat seorang lelaki menghentikan kegiatanku.

Alva.

Aku mengembangkan senyumanku kepadanya.

"Langsung pulang? Atau ada acara lagi habis ini?" Tanya Alva.

Ketiga temanku saling menatap kami berdua. Sebenarnya Tata mengajak untuk mampir makan di warung bebek langganan kami. 

"Oh enggak kok, Va. Ayma hari ini nggak ada acara apa-apa. Kalian bisa main." Kata Pika.

Tata dan Vanessa membantuku untuk membereskan barangku. Seperti kencan pertama rasanya. Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari normalnya. Alva menatapku lembut, sesekali menyunggingkan bibirnya kearahku.

Kebetulan hari ini aku tidak naik mobil, karena Papa menyuruhku untuk memasukkannya ke bengkel untuk perawatan rutin. Alva mengajakku ke motornya lalu menuju ke suatu tempat.

Ada perasaan tidak enak saat melihat tempat yang di tuju oleh Alva. Rumahku. Aku turun dan membukakan pagar untuknya. Aku tak bertanya mengapa dia mengantarkan aku pulang. Katanya dia ingin mengajakku ke suatu tempat.

"Kenapa ke rumahku?" Tanyaku saat kami sudah masuk kedalam rumah.

"Habis aku bingung mau kemana. Kamu juga diem aja, yaudah kesini aja." Jawabnya.

Bibi datang membawakan kami minuman dingin. Alva menuang minuman tersebut ke gelas yang sudah di siapkan Bibi. Ku perhatikan sikapnya yang sudah seperti biasanya. Seperti tak ada masalah.

"Alva aku minta maaf." Kataku.

Alva menatapku dalam, wajahnya juga sangat datar.

"Tama ya yang ngajarin kamu hobi minta maaf kayak gini?" Tanya Alva.

Ku kerutkan dahiku mendengar pertanyaannya. "Udah kamu nggak perlu bingung. Kamu juga nggak perlu terus minta maaf. Aku udah maafin kamu." Katanya lagi.

Alva memelukku erat, ku balas tak kalah eratnya pelukan itu. Wangi tubuhnya tercium jelas doleh hidungku. Entah kapan terakhir Alva memelukku seerat ini.

"Aku mau ngulang semuanya dari awal." Kata Alva pelan.

"Aku bakal usaha lebih keras jadi yang terbaik buat kamu. Supaya kamu nggak perlu lagi lihat sosok baik yang lain." Lanjutnya.


Kamu baik, dan kamu selalu menganggap aku begitu. Mendapat gelar 'baik' dari seseorang adalah beban berat untuk wanita se-labil aku. Sampai saat ini pun aku masih takut. Selalu takut...

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang