KEEMPAT PULUH DUA

1K 57 0
                                    

Persiapan pernikahan yang begitu menguras energi dan pikiran. Pakaian untuk pernikahan, gedung, catering dan hal-hal lain yang terkadang membuatku lelah. Tapi Alva selalu menenangkan aku, Mama dan Tante Wanda juga ikut membantu ku karena mereka sudah senior tentang ini.

“Capek sayang?” Tanya Alva.

“Iya, udah selesai?” Jawabku.

Alva memandang tas belanja yang dia bawa, lalu mengangguk.

“Kita jadi ke butik kan? Fitting baju terakhir kamu.” Kata Alva.

“Iya, nih mbak Tamara dari tadi juga udah telponin aku terus suruh cepet dateng. Soalnya jam 5 sore nanti dia ada urusan.” Ujarku.

Alva menggandeng tanganku lalu kami segera menuju ke mobil untuk berangkat ke butik tempat pembuatan gaun pernikahanku.

Aku sudah menyiapkan semuanya, sudah ku obrol kan dengan mama dan Tante Wanda tentang keraguan yang terus saja menghantui. Katanya wajar perasaan itu muncul menjelang hari pernikahan. Cobaan pengantin kata mereka. Dan sekarang aku sudah menetapkan hati, meyakinkan diriku sendiri jika Alva lah orang yang paling tepat untukku. Dan aku akan berusaha menjadi wanita pilihan yang paling tepat untuknya.

Jalanan cukup lenggang siang ini, tak seramai biasanya. Ini memudahkan aku dan Alva untuk segera sampai di butik tersebut.

“Kemarin apalagi sih yang salah buat gaun kamu?” Tanya Alva.

“Ini , ngecilin bagian tangan. Kegedean.” Jawabku sambil terus fokus pada ponsel. Menjawab beberapa pesan dari grup SMA yang kembali ramai.

Alva menekan tombol on pada radio, tapi entah kenapa radio tersebut tidak bisa menyala. Di ketuk-ketuk pelan bagian depan radio, tapi tetap saja tidak mau menyala.

“Kenapa sayang?” Tanyaku.

Alva terus mengetuk radio tersebut. “Ini radionya nggak bisa nyala.” Jawabnya.

Saat ingin ku bantu, sebuah lampu tersorot begitu tajam kearahku.

BRAAAKK….

***

Silauan cahaya yang ada di atap ini menyambutku. Sakit di kepala begitu terasa saat aku berhasil membuka mata sepenuhnya. Pengganjal leher yang membatasi gerak kepala, membuat nyeri di sekitar leher begitu terasa. Kaki dan tanganku juga susah sekali digerakkan. Ada apa ini.

Terakhir yang aku ingat, Alva sedang sibuk membenarkan radio yang tidak menyala. Lalu ada sebuah lampu yang menyorot kearah kami. Setelahnya sama sekali tak bisa ku ingat.

Seorang lelaki sedang tidur dan menaruh kepalanya di dekat tanganku.

“Alva..” butuh energy yang begitu banyak untuk mengucapkan kata itu. Sakit sekali leherku ketika dibuat untuk berbicara.

Pengganjal ini begitu menggangguku.

Butuh tiga kali panggilan sampai laki-laki yang aku pikir itu Alva sadar jika aku panggil.

Aku terkejut saat melihat wajah laki-laki ini.

“Tama..” pekikku.

Dia mendekat, wajahnya begitu lelah. Bawah matanya menghitam, seperti kurang tidur.

“Hai tuan putri. Butuh apa? Minum?” Tanya Tama.

Ku anggukkan kepala. Entah sudah berapa hari aku terbaring seperti ini sampai tenggorokanku terasa begitu kering.

Tama mengambil gelas berisi air putih yang ada diatas meja tak jauh dari tempat tidurku. Dia memabantu agar aku bisa minum dengan mudah karena pengganjal leher ini sangat mengganggu pergerakanku.

“Aku panggil dokter bentar ya.” Katanya setelah itu.

Tama melangkah keluar ruangan. Ku edarkan pandangan keseluruh ruang rawat ini. Tak ada siapapun selain Tama. Dimana Alva dan yang lainnya.

Tak lama setelah itu, seorang dokter dan suster masuk kedalam ruangan membawa beberapa alat yang aku yakini untuk memeriksa ku. Beberapa luka masih terasa sakit saat dokter dan suster ini menyentuhnya.

“Saya kecelakaan, dok?” tanyaku lirih.

Dokter yang masih muda itu menatapku miris, “iya mbak. Kecelakaan mobil tiga hari yang lalu.” Jawab dokter itu.

“Mbak Ayma harus banyak banyak istirahat ya biar lukanya cepet sembuh dan pengganjal lehernya bisa cepat di buka.” Kata dokter itu sebelum akhirnya meninggalkan ruang rawat ini.

Setelah dokter dan suster itu keluar, Tama kembali masuk. Hanya saja sekarang bersama dengan mama, papa dan Tante Wanda.

“Sayang, gimana keadaan kamu sekarang? Apa yang kamu rasain?” Tanya Mama.

Wajah mama tak kalah lelahnya seperti Tama. Semua yang ada disini tampak begitu lelah. Aku mulai mengingat apa yang di katakan dokter tadi jika aku kecelakaan mobil tiga hari yang lalu. Dan itu sudah menjawab satu pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Pasti mereka kelelahan karena menjaga ku selama tiga hari lalu.

“Kita semua bakal jagain kamu terus kok.” Kata Tante Wanda melanjutkan.

Papa hanya menatapku dengan tatapan yang sangat khawatir. Bersebelahan dengan Tama.

“Alva mana, Ma? Dia baik-baik aja, kan?” Tanyaku.

Berbicara saja aku harus mengeluarkan tenaga sebanyak ini. Apa mungkin kecelakaan yang aku alami begitu parah. Dimana Alva?

“Seinget ku, aku naik mobil sama Alva, kan.” Kataku lagi.

“Kamu sehatin dulu keadaan kamu ya, Ayma. Alva masih pergi.” Jawab Mama.

Mata Mama mengeluarkan air mata, begitu juga Tante Wanda.

“Kalian kenapa nangis?” Tanyaku.

Mama menggeleng, “udah kamu istirahat ya, jangan banyak bicara. Leher kamu masih trauma.” Kata Mama.

Aku hanya mengangguk mencoba menurut apa yang dikatakan oleh mama. Setidaknya mungkin itu yang bisa membuat mama tenang.

“Kita tunggu diluar aja. Tama, om minta tolong ya.” kata Papa.  Matanya mengarah kearahku, lalu melangkah keluar.

Mama dan Tante Wanda melangkah keluar bersama dengan Papa. Tama kembali duduk di kursi yang semula dia duduki. Tatapannya begitu dalam. Wajahnya terlihat begitu lesu dan lelah. Garis matanya turun, seprti habis begadang berhari-hari.

“Dua puluh empat jam aku bakal ada disini jagain kamu.” Kata Tama.

Aku hanya menatapnya datar. Tak paham dengan keadaan ini. Tiga hari tak sadarkan diri membuatku banyak kehilangan momen.

“Kamu kenapa disini?” Tanyaku, hampir terdengar seperti berbisik.

“Mama kamu yang telpon, waktu pertama kali dapet kabar. Dia minta aku dateng kesini, dan aku dateng kesini.” Matanya memerah. Seperti ingin menangis. Aku tak mengerti kenapa semua orang terlihat bersedih saat ini. Apakah luka yang aku derita begitu parah.

“Luka aku separah itu, ya, Tam?” Tanyaku lagi.

“Kamu sekarang harus istirahat, denger sendiri kan dokter bilang apa. Kamu mengalami trauma di leher, supaya cepet sembuh kamu harus banyak istirahat. Aku bakalan disini terus jagain kamu.” Jawab Tama.

Aku tersenyum tipis mendengar ucapannya, “nggak usah dipaksain, nanti Alva juga bakal dateng kok sebentar lagi. Jadi kamu nggak usah repot-repot jagain aku.” Kataku.

Tama mengangguk, lalu menunduk. Air matanya jatuh beberapa. Aku bisa melihatnya walau kini aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, dengan cepat dihapus oleh Tama, dan kembali memandangku.

“Tolong telpon Alva, bilang perginya jangan lama-lama.” Kataku pada Tama.

Alva dimana?

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang