KEDELAPAN BELAS

928 55 2
                                    


Sisa kepulan asap dari segelas teh panas buatan Bibi menemani pagi hari ku, sebenarnya hari ada jadwal ke kampus, tapi entah kenapa aku begitu malas untuk berangkat kesana. Mama sempat bertanya ada denganku, sampai aku memutuskan unyuk tidak ingin masuk ke kampus. Aku mengatakan padanya jika badanku kurang sehat hari ini. Aku tidak begitu menyukai saat-saat aku harus berbohong kepada Mama, tapi aku tak ingin Mama khawatir dengan keadaanku yang sebenarnya.

Ku lirik jam dinding, dia sedang menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh pagi. Dan aku masih diam di tempat yang sama. Kursi belajar. Sejak Mama berangkat aku terus duduk di kursi ini, pertanyaan 'kenapa non' dari Bibi pun tak aku jawab ketika dirinya memberanikan dirinya untuk bertanya padaku. Aku hanya tersenyum simpul padanya sambil mengatakan terima kasih atas teh panasnya.

Tok.. tok.. tok...

Suara ketukan pintu terdengar mengacaukan lamunanku. "Masuk aja nggak di kunci." Kataku pelan.

Suara langkah kaki terdengar , ku toleh uuntuk menyambut siapa yang dating ke kamarku ini. Tante Wanda.

"Tante? Ada apa?" Tanyaku.

Di taruhnya sebuah nampan berisikan bubur dan segelas susu hangat. Baunya begitu wangi seperti baru selesai di masak.

"Mama kamu tadi telpon tante dan bilang kalo kamu lagi nggak enak badan. Karena kayaknya mama kamu lagi bisuk banget, jadi tante inisiatif aja kesini sambil bawain kamu bubur ayam. Kata papa kamu suka bubur ayam." Jelasnya.

Aku hanya tersenyum padanya. Wanita ini begitu memperhatikan penampilan, setelan kemeja berwarna coklat dengan celana jeans ketat membuatnya terlihat begitu muda. Berbeda denganku yang acak-acakan seperti ini.

"Terima kasih tante. Sebenernya aku lagi nggak sakit kok." Jawabku.

Tante Wanda reflex memegang keningku, memastikan apa yang aku katakana benar adanya. DIa menatapku sejenak lalu menarik kursi lain yang ada di kamar ini lalu duduk tepat di depanku.

"Kamu ada masalah, Ayma?" Tanya Tante Wanda.

Ku ketuk-ketuk meje belajar sejenak untuk mempersiapkan jawaban apa yang harus aku katakan padanya. Aku tak bermaksud untuk bercerita dengannya tentang apa yang aku rasakan, tapi entah kenapa aku mengaku jika aku tidak sakit.

"Tante pernah nggak ngerasain rasanya kehilangan orang yang menurut tante berharga banget."

Sangat jelas terlihat perubahan wajah Tante Wanda setelah aku menyelesaikan pertanyaanku. Garis mata, garis bibir, semuanya terlihat turun saat itu.

"Pernah."Jawabnya.

Tante Wanda menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, "dua tahun yang lalu, Papa tante meninggal. Dia sakit keras. Tante udah berusaha obtain dia kemana-mana. Tante piker dia bakal sembuh, tapi ternyata Allah punya cara lain."

Terlihat genangan air mulai terlihat di ujung matanya. Ku sentuh pundaknya pelan, berusaha berkata maaf lewat tatapan mataku karena seolah aku mengingatkan kembali dengan luka lama yang sepertinya sudah berusaha Tante Wanda tutup dan lupakan.

"Kamu ada masalah ya?" Tanya Tante Wanda setelahnya.

Ku alihkan pandanganku selain Tante Wanda. Angin di luar rumah mberhasil membuat pohon yang ada di taman mini di belakang rumah bergoyang pelan. Aku selalu suka itu.

"Papa nggak pernah cerita sesuatu ke tante?" Tanyaku.

Hening beberapa saat, aku kembali menatap Tante Wanda yang sekarang sudah tersenyum manis.

"Menurut teorinya, apa yang kita lakuin sekarang, bakal ada balasannya di waktu mendatang. Entah besok, lusa, satu minggu lagi, bulan depan atau tahun tahun kedepan." Katanya.

"Kamu nggak perlu khawatir. Hidup kamu lebih hebat dari hidup semua orang yang nyakitin kamu. Emang kelihatannya nggak sekarang tapi nanti pasti kok." lanjutnya.

Angin di luar rumah semakin kencang berhembus, membuat pohon berayun semakin kencang. Aku rasa hujan sebentar lagi akan turun. Seperti kata Tante Wanda kita tidak akan tau kapan.

***

Nyaringnya nada dering ponsel memaksaku untuk menyadarkan diri dari tidurku. Ku lihat jam dinding dan menunjukkan pukul tujuh malam. Ku ambil ponsel yang sengaja aku letakkan di atas meja.

Alva.

Ku tekan tombol hijau, "halo." dengan nada serakku.

"Kamu sakit?" tanya suara diseberang sana.

Ku dudukkan tubuhku dan sedikit mengusap wajah. Ku pasti kan lagi jika benar yang menelpon ini adalah Alva.

"Kenapa?" Tanyaku balik.

"Ini aku di depan rumah kamu sekarang, aku boleh masuk kan." jawabnya.

Mataku terbuka lebar setelahnya, langsung aku turun untuk membukakan pintu rumah. Alva sudah berdiri disamping motor bebek hitamnya sambil membawa bungkusan plastik berwarna putih.

"Ngapain kamu kesini malem malem gini, Va?" Tanyaku sambil membukakannya pagar. Alva hanya tersenyum saat aku bertanya. Dia melangkah mendekatiku.

Tangannya menyentuh keningku persis seperti yang Tante Wanda lakukan tadi siang. "Udah sembuh ya?"

Aku mengangguk tipis. Raut wajahnya menunjukkan sedikit ke khawatiran.

"Tadi aku denger katanya kamu sakit.  Habis cangkruk sama anak anak tadi aku inisiatif kesini buat jengukin kamu." katanya.

Aku merasa bibirku mengembang sesaat setelah Alva menyelesaikan kalimatnya. Ada perasaan malu, senang, dan bingung bercampur menjadi satu.

"Oh iya ini aku bawain seblak depan kampus. Aku sering liat kamu beli ini sama Tata, jadi aku pikir kamu pasti suka."

Alva menyodorkan bungkusan plastik yang dia bawa daritadi. Bau seblak langganan ku tercium wangi, aku sangat hafal aroma makanan yang menjadi favoritku saat makan siang bersama Tata dan Pika.

"Karena kamu sakit jadi seblaknya aku pesenin yang nggak pedes. Nggak papa, kan?" katanya lagi.

"Makasih banyak ya, Va. Sebenernya kamu nggak perlu repot repot kayak gini." Kataku.

Alva tersenyum, kacamata klasik miliknya mulai terangkat karena pipinya ikut naik saat dia tersenyum.

"Cepet sembuh ya. Aku pulang dulu." katanya.

Alva menaiki motor bebeknya. Sepanjang itu dia terus tersenyum, entah apa yang ada di hatiku sekarang. Rasanya aku tidak ingin mengijinkan Alva untuk pergi.

"Alva makasih ya." kataku cepat.

"Masuk ya besok, sepi nggak ada kamu." Jawabnya.

Setelah itu Alva menjalankan motor bebeknya perlahan. Aku terus menatapnya sampai Alva hilang di pertigaan depan. Ku lirik kembali seblak pemberian Alva. Dia begitu perhatian.

Aku sendiri pun tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku masih takut....

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang