KEDUA PULUH SEMBILAN

868 45 1
                                    

"Gimana kalau liburan semester ini kita pergi bareng-bareng." Kata Vanessa.

Dua hari menjelas berakhirnya ujian semester membuat Vanessa terus membahas tentang rencana liburan yang dia ingin kan sejak lama.

"Kemana sih, Van. Ngebet banget kayaknya dari kemaren." Kataku.

"Mumpung kamu sama Alva udah baikan, kita kan bisa tuh bareng sama pacar. Oga deh yang aku suruh nyariin transport buat kita." Jawab Vanessa.

Tata hanya mengedikkan matanya. Dari kami berempat, Tata adalah satu-satunya yang terbatas untuk pergi jauh. Orang tuanya tidak terlalu setuju jika dia pergi ke luar kota tanpa kedua orang tuanya.

"Sekali-kali nggak papa kali, Ta." Kataku.

Dia menganggukkan kepalanya ringan sambil mengunyah makanannya, "iya nanti aku coba ngobrol lagi sama ibu." Jawabnya.

"Eh eh, kalian lupa kalo aku jomblo disini. Ntar kalian enak pacaran terus aku ngapain? Main pasir sendirian?" Omel Pika.

"Nggak papa. Janji nggak bakal cuekin kamu deh." Kata Vanessa.

Pika mendengus malas mendengar ucapan Vanessa.

"Permisi, ibu ibu ngobrolnya seru banget ya." Suara laki-laki membuyarkan candaan kami.

"Alva lagi.. Alva lagi." Kata Tata.

"Aku udah nungguin di depan daritadi Ayma nggak bales bales, yaudah masuk aja aku." Kata Alva.

Aku memeriksa ponsel yang ternyata masih aku mode diam. Alva sudah banyak mengirimkan pesan padaku tapi aku tak mendengar. Aku tersenyum kecut pada Alva.

"Nih minum dulu." Kataku sambil memberikan gelas berisi jus stroberi yang aku pesan tadi. "Aku duluan ya. Alva hari ini mau tanding basket." 

"Oke hati-hati ya. Good luck for you, Alva." Kata Pika.

Aku melambaikan tanganku pada ketiga sahabat yang masih ingin melanjutkan pembicaraan mereka.

***

Lapangan indoor ini lumayan ramai ketika pertandingan antar kampus ini di mulai. Alva menjadi salah satu bagian penting di timnya. Pertandingan sudah berjalan sekitar setengah jam. Aku duduk tak jauh dari pemain cadangan lain duduk. Alva menitipkan barang-barangnya padaku.

"Ayma ya." Kata seorang lelaki bertubuh jangkung dengan perawakan pemain basket.

Ku coba mengingat siapa yang baru saja menyapa dan duduk disebelahku ini.

Socha.

"Socha, kan." tebakku.

Dia hanya tersenyum geli. "Iya aku Socha." Jawabnya.

"Kok kamu mau sih di ajak Alva kesini." Tanya Socha.

Aku mengangkat sebelah alisku mendengar pertanyaan aneh tersebut. 

"Pertanyaan kamu aneh banget." Kataku.

Disitu lah Socha mulai bercerita. Alva menceritakan semua yang terjadi pada hubungan kami padanya. Socha sempat tak menyangka jika akhirnya aku dan Alva kembali bersama lagi. Socha juga menceritakan seberapa hancurnya Alva pada malam ulang tahunku.

Malam itu sepulangnya drai rumahku, Alva ternyata menuju rumah Socha dan menangis disana. Dia meluapkan semua kesedihannya di rumah Socha. Alva mengatakan jika begitu sakit hatinya. Alva juga tak menyangka jika wanita yang begitu dia cintai ternyata hanya memberikan setengah hatinya. Hancur hatiku mendengarnya.

"Jadi apa yang mendasari kamu balikan lagi sama Alva?" Tanya Socha.

Aku hanya diam. Tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan untuk di dengar oleh Socha.

"Alva sayang banget sama kamu. Kalo kamu nggak mau buat dia bersedih, ada kok cara selain terus sama sama dia. Lepasin dia." Katanya lagi.

Seperti di tampar keras.

"Maksudnya?" Tanyaku pelan.

"Kamu nggak perlu ngorbanin perasaan kamu buat kebahagiaan orang lain. Setiap orang punya caranya sendiri buat bahagia." Jawab Socha.

Aku menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan, "Alva bilang, bahagianya dia bareng-bareng aku." Kataku.

"Tapi sebenernya dia juga mau kamu bahagia sama dia." Kata Socha cepat.

Satu gol berhasil di cetak oleh Alva. Wajah bahagianya terlihat indah. Alva melambaikan tangannya padaku. Ku balas kecil lambaiannya.

"Aku berdosa besar sama dia. Aku mau dia selalu senyum kayak gitu." Kataku.

Tak terasa sebulir air mata menyerondol keluar dari kelopak mataku. Begitu perih membayangkan betapa kejamnya aku memperlakukan laki-laki sebaik Alva dengan buruk seperti ini.

Setelah pertandingan selesai, dan Alva selesai berganti baju, dia kembali menemuiku. Aku sudah menyipkan semua barangnya di dalam tas agar siap untuk pulang.

"Selamat ya, Va." Kataku sambil menyodorkan botol air mineral kepadanya,

"Makasih ya, Sayang. Ini berkat kamu ada disini, aku jadi semangat." Katanya.

Tanpa basa basi lagi, Alva mengajakku pulang.

***

"Thanks for today, baby girl." Katanya di depan rumahku.

Aku tersenyum padanya. Alva terlihat begitu bahagia hari ini. Senyumnya tidak redup sedikit pun.

"Kamu seneng banget sih hari ini." Kataku.

Alva meraih tanganku dan menggenggamnya erat, "aku seneng kamu nemenin aku main basket lagi. Aku seneng bisa nganterin kamu pulang lagi." Jawab Alva.

Mataku terasa panas lagi. Entah terharu atau sedih.

"Sesederhana itu?" Tanyaku pelan.

"Iya. Kamu itu bahagiaku yang sederhana." Jawabnya cepat.

"Udah sana pulang, hati-hati. Nanti sampe rumah kabari aku ya."

Alva mencium tanganku, bibirnya terus mengembang. Matanya berbinar, begitu indah.

"Keselamatan dan kesehatan kamu, adalah kebahagiaanku yang sederhana." Balasku.

Alva menarik gasnya perlahan meninggalkan ku. Ku tatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh, lalu hilang dipertigaan. Sebelum masuk kedalam rumah, aku mengingat setiap detail hal yang berhasil membuat Alva tersenyum. Entah sampai kapan aku bisa melunasi dosa ku pada Alva. 


Setelah semua hal yang kamu bilang indah bersama ku, seharusnya aku tak bingung lagi. Seharusnya aku tak takut lagi. Hanya saja sampai detik ini ada hal yang membuatku susah melangkah lebih jauh. Seperti ada sekat. Tolong hancurkan sekat itu, dengan cintamu...

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang