KEDUA PULUH TIGA

951 52 1
                                    

Alva terus sibuk dengan ponselnya, katanya dia barusaja mengunduh satu game online baru yang sedang hits di kalangan laki-laki. Sudah satu jam lamanya dia terus terpaku menatap ponsel dengan sesekali berteriak gemas. Aku ikut sibuk dengan novel baru yang aku beli beberapa waktu yang lalu. Cerita tentang laki-laki yang sedang mencari jati dirinya, mencari sosok cinta sejati. Alva bilang aku harus membaca novel dengan genre yang lain agar aku bisa menemukan hal baru, tidak terus membaca novel ber genre romansa terus. Aku butuh perubahan. Alva selalu menawari aku ingin mampir ke toko buku atau tidak setiap kami pergi ke mall.

Tidak terasa kini hubunganku dengan Alva sudah menginjak umur 2 tahun, kuliah kami juga sudah menginjak semester 5. Katanya semester ini akan menjadi sangat susah. Kami berhasil menyelesaikan kuliah hampir lancar, meskipun ada halangan kami dapat menyelesaikan bersama. Iya, bersama.

"Alva minum dulu." Kataku tanpa melihat kearah Alva. Dia masih terus menatap layar ponselnya. Jus jeruk bikinan bibi sudah hampir tidak dingin karena Alva belum meminum sedikit pun.

"Iya habis ini." Jawabnya singkat.

"Alva minum dulu." Kataku lagi.

"Iya, Ayma sebentar habis ini aku menang nih." Katanya kesal.

Aku menoleh kearahnya yang masih terus menatap kearah ponselnya. Dia tidak merespon sama sekali pandangan tajamku, sampai akhirnya dia bersorak karena memenangkan pertandingan di permainan yang entah apa itu.

Alva meletakkan ponselnya lalu meraih jus jeruk yang ada di meja sebelah tempat duduknya, dia menatap kearahku sambil tersenyum nakal. Alva suka melakukan hal itu jika melihat aku kesal seperti ini.

"Kan pas, kamu baca novel aku main game." Katanya.

Tak lama setelahnya ponselku berdering cukup keras, nama Isa tertera disana, segera aku mengangkat telpon tersebut. Suara Isa terdengar begitu serak.

"Sa, kamu kenapa?" Tanyaku.

"Im, kamu bisa tolong kesini nggak, ketempat biasanya."

Isa langsung menutup telpon setelah mengatakan hal itu, aku menjadi begitu khawatir. Tak biasanya Isa tiba-tiba menelpon ku dengan suara sekacau itu. Segera aku beranjak dari tempat duduk.

"Hei, kamu mau kemana?" Tanya Alva menyusul langkahku.

"Isa kayaknya lagi ada masalah deh, aku mau nemuin dia di kafe biasanya." Jawabku sambil terus menaiki tangga menuju ke kamar.

"Ayma tapi aku lagi ada disini, kenapa sih kamu selalu menomer dua kan aku." Katanya.

Langkah kakiku terhenti mendengar kalimat Alva, suaranya meninggi dan berat. Tidak seperti biasanya. Aku menatapnya yang sudah terlebih dahulu menatapku tajam.

"Isa itu sahabat aku, Va. Dia selalu ada waktu aku ada masalah, dan sekarang aku harus bersikap sama dong kayak dia. Kamu tau kan seberapa deketnya aku sama Isa." Kataku pelan.

Deru nafas Alva mengencang, urat di sekitar wajahnya pun ikut mengencang. 

"Bukan tentang Isa, tapi tentang kamu." Jawabnya.

"Aku selalu menomer satu kan kamu, tapi kamu nggak pernah memprioritaskan aku. Kamu selalu pergi gitu aja ninggalin aku waktu kita lagi ngobrol. Kamu biarin aku usaha sendirian di hubungan ini. Aku kayak jalan sendirian, Ayma." Lanjutnya.

Mataku mulai terasa panas, pandangan mata Alva melunak, tapi masih tetap dalam. Aku bisa melihat urat kekecewaan menghiasi matanya. Sesekali aku melihat kilauan di bola mata hitam miliknya.

"Terus kamu maunya gimana?" Tanyaku ragu.

Alva menghela nafas putus asa dengan kencang, dia sempat mengusap kasar wajahnya sesaat setelah mendengar ucapanku.

"Setelah hampir dua tahun kita pacaran dan kamu masih nanya aku maunya gimana. Kalo kamu tau cara membalas sikap baik Isa sebagai sahabat kamu, kenapa kamu masih nggak tau mau aku apa, yang jelas-jelas aku ini pacar kamu." Jawabnya tegas.

Aku tak lagi memiliki jawaban atas apa yang di katakan Alva, wajahku memanas, tubuhku bergetar. Aku terus menatap mata Alva yang tak melepaskan pandangannya padaku.

"Aku minta maaf, Va." Kataku lirih.

Alva menarikku kedalam pelukannya, dia memelukku begitu erat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu kencang. Tubuhnya terasa begitu panas, bersitegang memang selalu menguras energi yang begitu banyak. Dua tahun ini Alva hampir tidak pernah semarah ini denganku. Dia selalu sabar dan mengiyakan segala hal yang aku minta. Dia hanya mengatakan jika dia ingin aku selalu bahagia.

"Aku mau hubungan ini berjalan dua arah. Kalo kamu udah nggak cinta sama aku, tolong bilang. Jangan merekayasa keberadaan kamu yang sebenarnya nggak ada." Bisiknya.

Ku balas pelukan Alva sama eratnya. Bisikkan Alva barusan seperti tamparan untukku. Sepertinya Alva mulai kesakitan dengan sikapku.

***

Sudah satu jam aku mendengarkan curahan hati Isa tentang pertengkaran dengan mamanya tadi pagi. Kemarahan mama Isa dipacu karena Isa dirasa tidak pernah berada dirumah dan lebih suka menghabiskan waktu diluar bersama teman-teman yang Mamanya anggap itu tidak jelas. Isa terus membela diri di depan mamanya. Tidak semua cerita Isa masuk kedalam otakku. Pikiranku seolah terbagi dua, semua ucapan Alva terus berputar-putar di kepalaku. Tadi Alva memaksa untuk mengantarkan aku ke kafe tempat dimana Isa menungguku.

"Aym aku nyesel deh cerita ke kamu." Protes Isa.

Aku segera menfokuskan diri padanya, "maaf maaf, sampe mana tadi?" Tanyaku.

Isa menatapku, mencoba mengartikan raut wajahku yang sama kusut dengannya.

"Kamu lagi ada masalah?" Tanya Isa.

Ku tenggelamkan kepalaku di atas tangan yang aku lipat di atas meja. Butiran air mata mulai berebut keluar dari mataku. Sebentar saja lenganku sudah penuh dengan air mata, wajahku sudah dipenuhi air yang memudarkan bedak taburku.

"Loh kenapa kamu?" Tanya Isa khawatir.

"Sebelum aku dateng kesini tadi, Alva marah sama aku. Dia bilang aku nggak pernah memprioritaskan dia dan aku nggak ngerti mau dia apa." Jawabku. 

"Kamu ngerasa gitu nggak?" Tanya Isa lagi.

Aku hanya menatap Isa, mungkin dia tau jawaban atas pertanyaannya sendiri tanpa aku harus menjawabnya.

"Masih?" Tanya Isa lagi.

Air mataku semakin deras mengalir, semakin banyak pertanyaan Isa, semakin kuat ingatan tentang semua ucapan Alva tadi padaku. Semua ucapan Alva mengingatkan kembali pada semua hal yang sudah di lakukan Alva untukku. Betapa baik dan sayangnya dia padaku selama ini. Dia tak pernah melarangku sedikitpun. Selalu memberiku ruang jika aku sedang ingin sendiri. Dia memberikan semua hal yang aku butuhkan, tapi sepertinya aku tak memberi apa yang dia butuhkan. Seperti yang dia katakan.

"Tama?" Satu nama yang berhasil menusuk jauh ke hatiku. Nama yang sekarang hanya aku tau sebagai nama seseorang. Sosoknya tak lagi pernah aku tau.

"Setelah semua yang terjadi dan kehadiran Alva masih belum cukup buat kamu lupa sama orang yang udah nyakitin kamu habis-habisan. Ayma, come on!" Kata Isa.

"Aku nggak ngerti sama diriku sendiri, Sa." Jawabku dengan sekuat tenaga. Tubuhku terguncang hebat.

Isa meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Kayak yang pernah kamu bilang ke aku, di dunia ini nggak ada orang yang mau di jadikan pelampiasan. Aku pikir kamu pasti paham sama arti luasnya." Kata Isa.

Tangisku semakin pecah mendengar kalimat Isa, karena ternyata aku tidak bisa ngaplikasikan apa yang aku ucapkan untuk menguatkan seseorang untuk diriku sendiri.

And after all this time, I am the one who is afraid. Because, I love him. I still do......

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang