KETIGA PULUH TUJUH

911 49 1
                                    

Langit berwarna pink cotton candy dengan sedikit sentuhan  oranye di langit, ditambah dengan sapuan angin yang menambah kesejukan sore menjelang malam kali ini. Pohon-pohon sekitar mulai bergoyang-goyang karena sapuan angin sore ini. Memanjakan mata siapapun yang memandangnya.

Entah sudah berapa jam aku duduk di balkon rumah. Menatap datar setiap pemandangan yang ada di depanku. Angin sore juga menabrakku berkali-kali. Tapi tak membuatku bergerak sedikitpun.

Sesekali ku lirik cincin indah pemberian Alva. Indah sekali cincin ini. Aku tak bisa mengira-ngira berapa uang yang dikeluarkan Alva untuk membeli cincin seindah ini. Apakah dia mengatakan kepada orang tuanya tentang apa yang dia berikan untukku. Aku tidak yakin dengan hal itu.

"Ayma.."

Suara lembut itu mengaburkan lamunanku. Aku tak ingin menoleh, karena tau siapa pemilik suara itu. Aku membiarkannya masuk kedalam kamar dan berjalan menuju balkon tempat aku berdiam.

Sebuah nampan berisikan sepiring nasi dan lauk, lengkap dengan minumannya datang.

"Tante Wanda? Aku kira tadi mama." Kataku saat melihat siapa yang datang.

Tante Wanda tersenyum manis lalu duduk di kursi lain yang ada disana. Tante Wanda menatap langit yang tadinya sibuk aku pandangi keindahannya. Sudah mulai berubah warna, sedikit gelap dari beberapa menit yang lalu.

"Mama kamu ada meeting yang nggak bisa di tinggal. Terus tadi telpon tante katanya suruh nemenin kamu mama sampe rumah." Jelas Tante Wanda.

Aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju dengan apa yang di katakannya. Tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, mama sempat mengatakan jika akan pulang telat. Aku tak mendengarkan apa alasan Mama karena sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Aysa ikut tante?" Tanyaku.

"Enggak, Aysa dirumah sama papa kamu." Jawab Tante Wanda.

"Kenapa papa nggak ikut?" Tanyaku lagi.

"Tadi waktu tante mau berangkat, papa kamu baru aja sampe rumah. Dia capek, tapi katanya besok dia mau kesini." Jelas Tante Wanda.

Aku mengangguk tanda mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Tante Wanda tersebut.

Langit sore ini semakin gelap. Lampu lampu rumah tetangga komplek mulai dinyalakan.

"Tante denger, kamu baru dikasih kado sama Alva." Tante Wanda mengambil cincin yang aku letakkan diatas meja dan hampir tertutup oleh nampan yang tadi dibawanya.

Air mataku kembali mengalir sejalan dengan Tante Wanda yang memperhatikan cincin perak pemberian Alva tersebut. Aku mulai mengingat bagaimana tatapan Alva padaku. Begitu yakin. Begitu serius.

Suara getar ponsel terdengar lagi. Aku hanya diam. Tak bereaksi apapun dengan suara itu. Berbeda dengan Tante Wanda yang langsung mencari letak ponsel yang aku sendiri juga lupa ku letakkan dimana ponsel milikku.

Tante Wanda datang sambil menunjukkan siapa yang menelpon. Alva. Aku hanya melirik sejenak layar ponselku lalu kembali mengabaikannya. Aku tau itu Alva dari tadi pagi, bahkan kemarin, bahkan dua hari yang lalu. Tapi aku sengaja tidak mengangkatnya. Aku ingin berpikir terlebih dahulu.

Tante Wanda memeriksa sudah berapa miscall dari Alva yang aku biarkan.

"Astaga, Ayma, Alva sudah nelpon kamu lebih dari dua puluh kali dan nggak ada yang kamu angkat?" Tanyanya.

Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. Setelah dia pulang malam itu, aku seperti terpukul. Aku tak ingin berbicara padanya. Entah kenapa, aku hanya ingin memikirkan semuanya tanpa ada yang mengganggu.

Ku rasakan sentuhan di punggung tanganku. Tante Wanda seolah mentransfer energi positif padaku. "Alva itu laki-laki yang baik. Dia tulus sayang sama kamu." Katanya.

Aku hanya bisa menangis mendengarkan ucapan Tante Wanda. Aku tau. Aku mengerti.

"Aku tau." Jawabku singkat.

Di pasangkannya cincin itu di tempatnya semula. Aku hanya diam sambil terus memandangi cincin tersebut.

"Tante bisa lihat dari semua cara dia memperlakukan kamu. Nungguin kamu seharian di rumah sakit. Dateng pagi buta buat ngecek gimana keadaan kamu. Selalu telpon mama buat nanya kamu udah makan sama minum obat belum. Dan mungkin banyak hal lain yang dia lakuin ke kamu yang tante nggak tau." Kata Tante Wanda.

Ku tatap wajah Tante Wanda yang kini sudah tidak muda lagi. Tapi jika dilihat, Tante Wanda masih begitu cantik dan awet muda. Matanya coklat muda dengan rambut hitam tergerai indah.

"Tapi, kalau kamu masih belum yakin, kamu bisa bilang ke dia, sayang." Lanjutnya.

"Dia juga butuh kepastian kamu. Jangan menghindar kayak gini. Anggap saja cincin ini bukti kalo dia sayang sama kamu. Lagian, jalan kalian masih panjang banget. Mama dan papa kamu nggak bakal setuju kalian nikah besok kok." Ujar Tante Wanda.

Aku tersenyum kecil mendengar apa yang di katakan oleh Tante Wanda perihal menikah.

"Kalo senyum gitu kan lebih cantik." Kata Tante Wanda.

Dia melentangkan tangannya lalu menarikku dalam pelukannya. Sikap keibuannya selalu membuatnya merasa tenang. Sama seperti jika aku mengobrol bersama mama. Sosok ibu tiri yang jahat tidak aku temui di diri Tante Wanda. Sikapnya sangat baik dan ramah. Begitu juga kepada mama, dia selalu menghormati mama.

"Cincin ini tanda kalau Alva yakin sama perasaannya ke kamu. Tapi bukan berarti dia memaksa kamu buat yakin sama dia. Sekarang giliran kamu yang harus nemuin keyakinan itu." Kata Tante Wanda.

Aku bangkit lalu menatap Tante Wanda dalam. "Gimana kalo aku nggak bisa nemuin keyakinan itu, tan?" Tanyaku.

Tante Wanda tersenyum lagi padaku. "Hal pertama yang harus kamu lakuin sebelum pertanyaan itu muncul adalah, kamu harus jujur sama diri kamu sendiri." Jawabnya.

***

Terdengar suara orang sedang mengobrol di ruang tamu saat aku turun dari kamar. Mungkin itu suara mama dan Tante Wanda yang sedang berbincang. Tapi saat aku semakin dekat, suaranya tidak terdengar seperti suara mama.

"Alva.." pekikku ketika melihat siapa lawan bicara Tante Wanda.

Alva dan Tante Wanda menoleh kearahku. Tante Wanda beranjak dari tempatnya duduk lalu pergi meninggalkan kami. Aku mendekat lalu duduk disebelah Alva. Wajahnya begitu lelah. Bingung. Sudah di deskripsikan.

"Kamu marah sama aku?" Katanya pelan.

Aku menggeleng pelan.

"Aku minta maaf kalau cincin yang aku kasih bikin kamu bingung. Aku tau ini terlalu cepat buat kamu." Katanya lagi.

Aku bisa melihat garis matanya yang turun dan tak seceria biasanya. Matanya menyiratkan banyak kesedihan ketika aku menatap dalam matanya. Ragu bibirnya saat berkata-kata. Sudah jelas dia sangat bersedih dengan keadaan yang aku beri.

"Kamu nggak salah, Va." Jawabku.

"Aku mau kok ngejalanin semua ini kedepannya bareng sama kamu. Kalau kamu yakin sama aku, nggak ada alasan aku buat nggak yakin kan sama kamu, kan." Lanjutku.

Alva seolah tak percaya dengan apa yang barusaja aku katakan. Dia memerjapkan mata, hanya terdiam dan tak mengatakan apapun.

Aku memeluknya erat. Ku tahan air mata yang lagi lagi ingin terjatuh. Aku tak bisa menangis sekarang. Aku tak ingin menangis sekarang.


Aku kini sadar, jika aku benar-benar mencintaimu, keyakinan itu tidak akan sulit untuk aku temukan. Aku cukup menjawab 'iya' ketika kamu tawarkan keseriusan itu padaku. Tapi kenyataannya, penawaran itu begitu sulit. Bahkan sangat sulit untuk ku terima...

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang