Kakiku bergetar hebat selama perjalanan menuju rumah sakit, sesekali air mata jatuh di pipiku. Ku tatap kosong jalanan ramai, mungkin suatu kesalahan aku menyarankan untuk naik mobil, karena jalanan kota yang pasti macet dan pasti juga akan memperlambat perjalanan kmai. Alva berusaha melewati semua jalan pintas yang dia tau untuk segera sampai di Rumah Sakit Medica. Alva menurunkan ku di depan pintu masuk rumah sakit, katanya dia akan menyusul setelah memarkirkan mobil. Setelah aku memberitahukan di ruang apa Papa di rawat, aku segera melompat keluar dari mobil dan segera menuju ke ruang yang sudah di kirim oleh seorang wanita melalui ponsel Papa.
Dari kejauhan aku bisa melihat angka 208 di atas sebuah pintu kamar. Tak jauh dari sana ada seorang wanita dengan setelan berwarna biru tua dengan sebuah stroller yang pasti berisi seorang anak sudah menunggu dengan gelisah. Ku berjalan pelan menghampiri mereka berdua. Mata sembab yang baru kali ini aku temui menyambut kedatanganku. Dia berdiri menghadapku, masih dengan kondisi menangis hebat.
"Kamu, Ayma, kan?" Tanyanya lembut.
Aku menatapnya beberapa saat, mencoba mengingat siapa wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini. Wajahnya tak begitu asing, tapi susah untuk ku temui siapa dia.
"Saya Wanda, istri Papa kamu. Kamu ingat, kan."
Ingatan pahit beberapa tahun yang lalu pun kembali menguap, dimana Papa dengan teganya masuk kedalam sebuah sedan hitam yang di dalamnya sudah ada seorang wanita. Dan benar, wanita yang ada di depanku ini lah yang membawa pergi pagi bertahun-tahun lalu dan menghilang bagaikan di telan bumi. Dadaku terasa sesak, tak sanggup berkata-kata. Aku hanya menatapnya dalam, tanpa menjawab pertanyaan yang dia ajukan tadi. Air mataku masih terus mengalir dari kelopak mataku, entah aku harus apa sekarang. Setelah sekian lama akhirnya aku bertemu dengan wanita yang menghancurkan keluargaku, mengambil Papa dan membuat Mama menjadi wanita paling rapuh pada masa itu.
"Jadi selama ini tante yang ngurusin papa?" pertanyaan yang entah berasal darimana keluar begitu saja dari mulutku.
Wanita yang mengaku bernama Wanda itu melirik kearah stroller yang berisikan seorang anak perempuan cantik mirip dengan papa juga dengannya. Aku yakin itu anak perempuan yang pernah Papa ceritakan, kalau tidak salah namanya Asia.
"Maaf kan tante, tante tau apa yang Papa kamu dan tante lakukan itu tidak pantas. Tapi kamu pasti tau apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang terjadi tidak seburuk yang kmau pikirkan." Wanda mencoba menjelaskan kepadaku.
Aku mengalihkan pandanganku selain dirinya, mengedarkan mataku dan menangkat sebuah kaca yang tembus kedalam sebuah ruangan. Disana aku melihat sosok Papa yang sedang berbaring tak berdaya dengan beberapa kabel menempel di badannya.
"Sudah, saya sedang tidak ingin membahas tentang itu. Bagi saya, semuanya sudah lewat. Maaf pun tidak akan bisa merubah masa lalu." Kataku.
Aku mendekati kaca tembus pandang itu, ini adalah pertama kalinya aku melihat Papa seperti ini. Dia terlihat begitu lemah, lebih lemah dari saat pertama kali aku melihatnya kembali setelah menghilang beberapa tahun. Rasanya sakit sekali melihat dirinya seperti ini. Sebuah tangan tiba-tiba saja menyentuh pundakku, ku balikkan badanku dengan cepat dan melihat siapa pemilik tangan tersebut.
"Papa kamu bakal baik-baik aja, kok." Katanya lembut.
Aku hanya mengangguk kepada Alva yang ternyata sudah berdiri di sebelahku. Dia mengelus pundakku, berusaha mentransfer energi positif kedalam diriku, meskipun seharusnya dia tau sentuhan ini tak bisa menenangkan aku dalam kondisi seperti ini.
***
Kepulan asap yang berasal dari coklat panas yang di pesan Alva masih saja terlihat dari ujung gelas. Alva memaksaku untuk meminum coklat panas tersebut, walau sebenarnya aku tidak begitu suka coklat panas, tapi aku menghargai pemberiannya.
"Nanti aku pulangnya naik ojek online aja, kamu nggak usah khawatir." Katanya sambil menyeruput coklat panas miliknya.
"Nggak, nanti kita balik ke kampus barengan. Sekalian nanti aku mau pulang dulu." Sahutku.
Alva menatapku dalam, aku hanya tersenyum padanya. Beberapa waktu yang lalu mama juga datang kemari. Jika aku jadi mama, entah aku akan datang kesini atau tidak. Datang kemarin artinya siap bertemu dengan orang sudah habis-habisan menyakiti dirinya beberapa tahun yang lalu.
"Ibu ibu yang tadi itu siapa, Im?" Tanya Alva.
Aku hanya memandangnya lalu menyunggingkan bibirku sedikit. "Kamu nggak perlu tau siapa dia." Jawabku singkat.
Diam setelah itu, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku dengan pikiran tentang Papa, sedangnya Alva entah sedang memikirkan apa.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 malam. Aku mengajak Alva untuk kambali ke kampus, mengambil motornya yang sengaja kmai tinggal disana. Sebenarnya aku merasa sangat bersalah karena sudah merepotkan Alva hari ini, ditambah dengan dia yang harus rela bolos mata kuliah demi menemaniku ke rumah sakit. Tapi anehnya Alva tidak merasa dirugikan. Dia bilang malah senang bisa ikut ke rumah sakit denganku.
"Va, makasih ya kamu udah mau nemenin aku tadi ke rumah sakit." Kataku sebelum Alva turun dari mobil.
Dia terkekeh sejenak mendengar kalimatku, dia melepaskan sabuk pengaman dan menatapku dalam. "Sebagai teman kita kan emang harus saling membantu. Siapa tau suatu hari nanti kamu butuh bantuan kamu. Jadi kita bisa impas." Jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum dengan jawaban yang Alva berikan. Dia mulai membuka pintu mobil lalu turun perlahan dari sana. Segera aku berpindah tempat ke kursi kemudi. "Hati-hati di jalan. Kalo kamu nggak mau sakit, jangan lupa makan. Salamin buat Mama kamu." Katanya sebelum akhirnya berlari menuju ke motornya yang ada di ujung parkiran. Aku terus memandang laki-laki yang sudah menjadi pahlawab dadakan ku hari ini.
Tidak semua teman berhasil menjadi teman yang baik....
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Aku Tau |✔
RomanceSeri 2 'Seharusnya Aku Tau' Disaat aku tak tau harus melangkah maju atau mundur. Disaat semua terus terasa abu-abu, maukah kau ubah abu-abu ku menjadi pelangi kita?