KEEMPAT PULUH

1.1K 53 5
                                    

Matanya seolah mengintimidasiku. Membuatku bingung karena dia tak sedikitpun berkata-kata. Dia hanya diam dan terus menatapku. Sangat dalam.

“Tam..” panggilku.

Tama memerjapkan matanya seolah kaget dengan suaraku. Dia bergelagat aneh, seolah gugup. Matanya tak konsentrasi padaku. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Mengontrol agar tidak melewati batas. Ada Alva yang harus aku jaga perasaannya.

“Gimana kabar kamu?” pertanyaan itu terdengar sangat canggung di telingaku.

“Baik.” Jawaban yang tak kalah canggungnya berhasil keluar dari mulutku.

Setelah itu kembali hening. Suara lalu lalang orang kembali mendominasi suasana kami. Aku menatapnya dari atas sampai bawah. Jarang sekali Tama berpakaian seperti ini jika tidak pada acara yang sangat penting. Aku tau jika hari ini aku pasti akan bertemu dengannya. Entah sendiri atau berdua.

“Sendirian aja?” Tanyaku.

Dia mengangguk pelan, “Iyaa.” Jawabnya singkat.

Aku juga mengangguk. Pertemuan ini terasa begitu canggung. Aku sudah memutuskan untuk menutup semuanya. Mungkin itu yang membuat malam ini terasa sangat amat canggung.

Dia meraih tanganku. Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan. Di lihatnya cincin yang ada di jariku. Cincin yang kini selalu aku pakai pada kesempatan apapun. Cincin pemberian Alva.

“Alva?” Tanya Tama.

Aku mengangguk. Mataku terasa panas. Aku juga tidak mengerti mengapa aku ingin menangis sekarang. Sulit sekali dijelaskan.

“Dia laki-laki hebat ya. Bisa buat kamu seyakin ini.” Katanya.

Ku hirup nafas panjang, “kalau dia yakin sama aku. Nggak ada alasan buat aku ragu sama dia, kan.” Jawabku.

Ku lepaskan tangannya dari tanganku. Dimasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. Seolah merasa bersalah dengan apa yang baru saja dia lakukan.

“Maaf aku lancang.” Kata Tama.

“Nggak papa kok.” Jawabku cepat.

Kami kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa teman kami sempat menyapa dan bingung dengan kami berdua yang berdiri di tengah kerumunan dan terlihat sangat canggung. Isa juga sempat lewat lalu menampakkan ekspresi seolah bertanya ‘ada apa’ namun hanya aku jawab dengan gelengan kepala.

“Kamu pasti udah lupa sama janjiku.” Katanya.

Ku kerutkan dahi, ku coba ingat apa yang baru saja di katakan oleh Tama. Terlalu banyak janji yang pernah ia ucapkan padaku.

“Apa?” Tanyaku.

“Janji kalau lima tahun terhitung dari kita lulus SMA, aku bakal dateng buat lamar kamu.” Jawabnya.

Jantungku seolah berhenti mendengar apa yang dia katakan. Apa maksudnya berkata seperti itu. Aku ingat dia pernah berjanji seperti itu. Dan janji itu yang pertama kali aku lupakan. Janji yang aku anggap sebagai janji paling buruk yang pernah aku dengar darinya.

Aku tersenyum tipis padanya, “aku inget. Tapi udah waktunya dilupain , kan.” Jawabku.

Dia mengangguk ragu, “iyaa kamu bener, janji anak SMA yang nggak serius.” Kata Tama.

Berarti benar apa yang ada di pikiranku. Semua yang pernah dia katakan dulu hanya sebatas angin lalu yang sifatnya temporer. Sementara.

Dia menyodorkan tangannya padaku, ku jabat dengan ragu. Dia menggenggam tanganku lama. Hangat tangannya dapat aku rasakan. Ingin rasanya ku peluk dan menangis bersama dengannya. Kilauan matanya tak bisa aku artikan dengan jelas apa maksudnya.

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang