Entah sejak kapan aku sangat mencintai desiran angin sepoi di sore haru menjelang malam seperti ini. Entah sejak kapan aku begitu suka di tempat sesepi ini. Entah sejak kapan aku menginginkan berada di pantai ujung kota ini.
Ya, aku berada di pinggir pantai yang berada di ujung kota. Sekitar satu jam perjalanan dari rumahku.
Pagi tadi seseorang mengirimkan pesan padaku dan meminta untuk bertemu di pantai yang sudah sejak lama aku ingin pergi. Awalnya aku tak yakin, hanya saja dia meyakinkan jika kali ini dirinya akan menepati janji dan akan menemui ku tepat waktu.
Ku lirik jam tangan yang melingkar cantik di lengan kiriku. Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Kami sepakat untuk pertemu pukul lima. Hanya saja aku sengaja datang lebih awal.
Ku pandangi deburan ombak kecil di tepi laut sana. Jarakku dengan laut sangat jauh, aku berdiri di sebelah pohon besar di pinggir pantai. Aku tak menyangka jika di kota sepadat ini ada pantai seperti ini. Walaupun udaranya tak sama seperti pantai di kota lain yang tidak padat, tapi suasananya tetap menyenangkan.
Ada bebera orang yang sama seperti aku, hanya diam di kursi yang sudah di siapkan pihak pantai untuk pengunjungnya bersantai. Mereka hanya duduk sambil bercengkeramah menghadap matahari yang perlahan mulai tenggelam.
"Hai."
Aku menoleh pelan kearah suara yang ku kira menyapaku. Laki-laki bertubuh jangkuh dengan mata hitam lebar berdiri sambil tersenyum indah. Setelah sekian lama aku tak melihatnya. Setelah sekian lama aku tak bertatapan dengan laki-laki yang selalu membuatku jatuh cinta diam-diam dengannya.
Tama
"Selamat ulang tahun, Ayma Putri."
Di sodorkannya sebuah kotak berukuran sedang kearahku. Aku tersenyum sambil menerimanya. Ya, sejak pagi tadi Tama yang mengirimkan pesan padaku dan mengajak untuk datang ke tempat yang sangat aku datangi. Hanya dia yang tau betapa aku ingin datang ke pantai ini.
Ku perhatikan kotak berwarna merah muda ini, aku tak bisa menebaknya. Tama hanya tersenyum kearahku tanpa mengatakan apapun, begitu dengan aku.
"Udah lama? Aku nggak telat, kan?" Tanyanya sambil melirik jam tangan hitam miliknya.
Aku hanya menggelengkan kepala. Jantungku berdebar kencang, tapi aku berusaha bersikap setenang mungkin. Matanya berhasil menghipnotisku. Aku tak bisa mengatakan apapun padanya, sekedar untuk membalas sapaannya tadi pun aku tak bisa.
"Kita duduk disana aja, yuk." Katanya sambil menunjuk sebuah tempat di ujung pantai lain.
Aku mengikuti langkah lebarnya, berjalan beberapa langkah di depannya. Biasanya Tama akan memarahiku jika aku tak berjalan tepat di sebelahnya, hanya saja sekarang posisinya sudah berbeda. Aku terlalu canggung untuk jalan berjalan berdampingan dengannya.
Aku bisa melihat setiap lekuk tubuh jangkungnya dari belakang. Dia tetap sekurus itu. Mungkin lebih tinggi beberapa sentimeter, hanya saja tetap terlihat porposional. Dia juga masih setia dengan sepatu berwarna abu abu tua.
Tama memilih kursi paling pinggir, hanya beberapa lampu kecil yang menemani kami saat itu. Juga lilin kecil yang ada di atas meja kecil yang kami duduki ini. Aku masih terpesona dengan kotak merah muda yang diatasnya terdapat sebuah gambar ukiran cantik yang aku yakini hasil karya Tama.
"Kenapa dilihatin terus?" Tanya Tama.
Aku menggeleng dengan cepat sambil tersenyum tipis padanya. Seorang pramusaji datang membawakan kami dua minuman yang entah apa itu. Tama memesankan aku minuman sebelum duduk tadi. Dia tak bertanya aku ingin minum apa, jadi aku tak mengetahui apa yang dia pesan ini.
"Jus jeruk?" Tanyaku padanya.
Minuman ini bewarna kuning terang dengan beberapa es di dalamnya.
Tama mengangguk sambil menyeruput minuman pesanannya.
"Darimana kamu tau aku suka jus jeruk?" Tanyaku lagi.
Tama menyunggingkan bibirnya, "perasaan seorang lelaki itu nggak pernah salah." Katanya.
Aku mendengus malas mendengar ucapannya. Hening setelah itu. Kami mulai sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Ku keluarkan ponsel yang daritadi aku taruh di tas kecilku. Tak ada notifikasi apapun. Hari sudah menjelang malam tapi tak ada satu pun pesan dari Alva. Sebenarnya aku sedikit lupa dengannya karena sibuk mengatur pikiranku untuk bertemu dengan Tama sekarang. Aku tidak tau dia lupa atau bagaimana jika tak mengucapkan selamat padaku.
"Pacar kamu udah nyariin ya?" Tanya Tama.
Aku menatapnya, lalu menggeleng pelan.
"Cerita dong, akhirnya bisa kan move on." Lanjutnya.
Ingin sekali aku menyiramkan jus jeruk ini tepat di wajahnya. Menatapnya berharap dia tau jika aku tak suka pernyataan yang dia keluarkan.
"Kamu beda ya sekarang, lebih diem." Katanya. Kembali dia seruput kopi itu.
Ku edarkan pandanganku. Melihat sekitar,melihat beberapa orang yang sedang mengobrol juga dengan partner mereka masing-masing.
"Dia baik pastinya, sayang sama aku..." Kataku memulai cerita.
"Dia juga salah satu orang yang berpengaruh di kampus." Lanjutku.
Tatapan Tama mendadak berubah, lebih serius dari satu menit yang lalu. Tapi aku bisa melihat dia berusaha untuk tidak terlihat seperti itu.
"Kayaknya bahagia banget. Udah dua tahun ya kalian." Katanya.
Aku kurang suka dengan pembicaraan ini. Pertanyaan Tama berhasil membuatku kembali mengingat semua hal yang sudah di lakukan Alva padaku. Betapa banyak hal baik yang Alva beri untukku.
Entah syaraf apa yang menggerakkan kepalaku sehingga membuatnya menggeleng pelan. Tama mengangkat sebelah alisnya melihatku. Mataku memanas, kepalaku pening seketika.
"Justru aku ngerasa jahat sama dia." Jawabku.
"Kenapa?" Tanya Tama.
"Karena kapasitas hatiku nggak mampu buat cinta sama dua orang sekaligus." jawabku.
Begitu sesaknya dadaku mengatakan hal itu.
Tak lama setelahnya ponselku berdering, awalnya ku biarkan. Tama menatap seolah bertanya mengapa aku tak mengangkat telpon tersebut. Setelah berhenti, kemlai terdengar ponselku berbunyi.
"Angkat aja nggak papa kok." Katanya.
Ku lihat nama Maya tertera disana. Ku teka tombol hijau yang ada di layar.
"Halo, Im, kamu dimana?"
Suara Maya terlihat begitu panik.
"Aku lagi diluar, kenapa May?" Tanyaku balik.
"Mama kamu pingsan, Im. Ini aku lagi dirumah kamu, kamu kemana sih."
Aku bisa merasakan tubuhku bergetar mendengar ucapan Maya. "Aku pulang sekarang."
Aku langsung melangkah dengan cepat. Aku tau jika Tama menyusul langkahku.
"Ayma ada apa?" Kata Tama.
Kembali aku hentikan langkahku, air mata sudah mengalir deras di pipiku. Tubuhku begitu bergetar hebat. Aku meninggalkan mama di saat yang tidak tepat.
"Mama aku pingsan sekarang dirumah, dan aku harus pulang sekarang."
Tatapan Tama begitu dalam. Ingin aku memeluknya sekarang juga, hanya saja aku harus pergi sekarang.
"Aku anter kamu pulang. Tolong biarin aku nganterin kamu." Katanya.
Aku tak ingin memperlama semuanya. Setelah aku mengangguk Tama menemaniku berlari secepat mungkin menuju motor yang dia parkir tak jauh dari pintu masuk.
Bukan hadiah seperti ini yang aku inginkan...
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Aku Tau |✔
RomanceSeri 2 'Seharusnya Aku Tau' Disaat aku tak tau harus melangkah maju atau mundur. Disaat semua terus terasa abu-abu, maukah kau ubah abu-abu ku menjadi pelangi kita?