Sudah hampir satu minggu aku terus mengunjungi Papa di rumah sakit. Perlahan-lahan keadaan Papa mulai membaik. Mama hanya sesekali saja ikut bersama ku kemarin. Tanpa dia beritahu, aku tahu jika sejujurnya Mama masih tidak bisa menerima keberadaan sosok Tante Wanda. Meskipun sudah beberapa tahun yang lalu, rupanya sakit hanya Mama masih membekas sampai saat ini. Mama memang tidak pernah mengatakan secara langsung, hanya saja sikapnya menunjukkan bila sebenarnya Mama masih merasa tersakiti dengan keberadaan Tante Wanda.
"Ternyata bener ya kata Papa, kamu kaku banget sama orang baru." Kata Tante Wanda, dia duduk di sebelahk sambil memberikan satu gelas berisikan milkshake. Aku hanya memandangnya datar.
"Papa kamu suka banget cerita tentang kamu ke tante. Hampir semuanya. Sampe dia namain Asia persis kayak nama kamu, katanya biar nanti Asia bisa tumbuh jadi cewek kayak kamu." Lanjutnya. Di seruputnya cappucino miliknya.
Ku lirik sejenak wajah yang sudah tidak muda lagi. Beberapa kerutan mulai terlihat di dekat mata dan pipinya. Tipe wanita sederhana yang tidak begitu suka dengan perawatan. Persis seperti Mama.
"Kenapa waktu itu Tante mau pergi sama Papa?" ekspresi wajahnya seketika berubah mendengar pertanyaanku. Mungkin pertanyaan yang aku ajukan terlalu mendalam, menyebabkan beberapa letupan di dada dan otaknya.
Tak terdengar apapun dari bibirnya, hanya hembusan nafas pendek yang aku dengar. Matanya pun tidak begitu fokus. Seperti mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum tipis memandangnya yang sepertinya mulai tersiksa dengan kenyataan pahit yang dia dan Papa pendam selama ini.
"Yaudah tante, nggak papa, nggak perlu di jawab." Kataku. Ku seruput milkshake ini perlahan. Manis mulai terasa di lidahku.
Meskipun sedang tidak menatapnya, aku tau wanita ini sedang menatapku dalam. "Tante bingung harus mulai dari mana. Tapi asal kamu tau, Papa kamu ngelakuin semua ini buat kebaikan kita semua." Katanya.
Aku terkekeh mendengar pernyataan itu. Terbaik bagaimana yang dia maksud. Dengan menyakiti satu pihak dan dengan mudahnya dia bilang bahwa semua ini untuk kebaikan. Kebaikan macam apa yang harus mengorbankan perasaan dua orang yang bahkan tidak tau apa yang terjadi.
"Kebaikan siapa yang tante maksud? Kebahagiaan tante sama Papa?" Tanyaku lagi.
"Papa kamu bakal ngejelasin semuanya sama kamu suatu hari nanti. Tante permisi dulu." Katanya.
Suara langkah kakinya mulai tidak terdengar saat Tante Wanda kembali masuk ke ruang rawat Papa. Hari ini aku datang agak terlambat karena Papa sudah tidur saat aku datang. Baru setengah jam aku berada disini, tetapi rasanya sudah sangat lama. Berbicara dengan orang yang pura-pura kita sukai memang menguras energi yang cukup banyak.
***
Ku baca lembar demi lembar novel yang baru saja aku beli kemarin saat pergi ke salah satu mall di tengah kota. Aku mengangguk tanda mengerti dengan kalimat indah yang tertulis disana. Angin sepoi sepoi menemaniku sore ini. Kelas sore memang bukan favoritku, tapi cukup menguntungkan karena suasana tidak begitu panas dan juga banyak angin.Meskipun waktu sudah menjelang malam, masih banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar ku. Ada yang sedang bercanda dengan temannya, ada yang sedang asyik bergandengan dengan kekasih, dan ada juga yang sibuk dengan buku tebal perkuliahannya.
"Im, kok nggak masuk?" pekikan suara ringan milik Tata yang mengalihkan pandanganku. Aku tersenyum tipis padanya, kembali menggandeng tas gendong yang ada tepat di sebelahku. Aku berjalan bersampingan dengan Tata yang sibuk membalas pesan dari kekasihnya.
"Kit hari ini nggak ada tugas, kan?" Tanyaku
Tata menggelengkan kepalanya. Di keluarkan sebuah buku catatan dan membuka halaman yang lumayan penuh dengan buku.
"Nih udah aku catetin semua kemaren, kalo kamu mau nyalin silahkan." katanya
Aku melihat beberapa catatan yang baru diberikan Tata padaku. "Kemarin si Alva nungguin kamu di rumah sakit?" Tanya Tata tiba-tiba.
Aku memandangnya lalu mengangguk pelan. Ku sunggingkan senyum tipis setelah itu, sambil mengingat beberapa kejadian saat itu.
"Aneh nggak sih tiba-tiba seorang Alva mau nganterin dan nunggu kamu di rumah sakit. Padahal sebelumnya setau aku kalian nggak pernah ngobrol." Tata mencoba menganalisa.
Tak lama setelah itu sosok Alva masuk dengan beberapa temannya. Sebuah tas berwarna hijau gelap menemani langkahnya menuju satu deret kursi kosong di deret keempat dari belakang.
"Aku sih nggak mikir apapun ya, Ta." jawabku. Ku balik lembar buku catatan Tata.
Berdeham sejenak, "kalo Alva suka kamu gimana?" senyumku memudar mendengar pernyataan Tata barusan.
Ku gelengkan kepalaku. Memelototi Tata yang memandang ku tak karuan. "Aku masih belum bisa." jawabku.Tata menghembuskan nafas malasnya. Dia pasti tau apa maksud dari perkataan ku.
"Life must go on, baby girl. Tama aja udah move on dari kamu. Itu tandanya kamu juga harus move on."
Ku kerdikkan mataku pada Tata yang memandangku dalam. Seola banyak kalimat yang ingin dia katakan padaku. Saat ini aku tak utuh nasehat siapapun. Aku hanya ingin percaya dengan pikiranku sendiri.
Karena sesungguhnya, berpindah hati itu seperti mencoba menggenggam air. Sangat. Susah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Aku Tau |✔
RomanceSeri 2 'Seharusnya Aku Tau' Disaat aku tak tau harus melangkah maju atau mundur. Disaat semua terus terasa abu-abu, maukah kau ubah abu-abu ku menjadi pelangi kita?