KEEMPAT PULUH SATU

1K 47 0
                                    

“Ayma..”

Ku memerjapkan mata mendengar ketika mendengar suara seorang memanggilku. Mbak Ghani sudah berdiri di bibir pintu ruanganku.

“Eh maaf mbak. Ada apa?” Tanyaku gugup.

Mbak Ghani menyilangkan tangannya, smabil menatapku.

“Laporan yang kemarin sudah selesai?” Tanya Mbak Ghani.

Aku menatap komputer yang daritadi menyala. Ku tepuk keningku pelan. Aku lupa menyelesaikan laporan.

“Astaga, hari ini ya mbak.” Kataku.

Mbak Ghani ikut menatap layar komputer yang masih kosong dan hanya berisi beberapa kalimat. Dia menggelengkan kepala sambil menghembuskan nafas pelan.

“Kamu sakit?” Tanya Mbak Ghani.

Aku menggelengkan kepalaku cepat, “dua jam lagi ya mbak, janji selesai hari ini.” Kataku padanya.

Seperti mengerti, Mbak Ghani mengangguk pelan lalu pergi meninggalkan ruangan kerjaku. Perkerjaanku berantakan. Fokusku menghilang. Aku jadi sering lepas kontrol akhir-akhir ini. Dua hari yang lalu aku sempat bertanya kepada bagian administrasi tentang kedatangan Tama ke kantor ini yang katanya sedang ada kerjasama. Dan itu benar, hanya saja hari sebelumnya Tama memutuskan untuk tidak lagi bekerja sama dengan perusahaan ini dengan alasan yang tidak bisa di bagikan kepadaku.

Ku pijat perlahan kepalaku yang terasa begitu pening. Ku coba kembali fokus pada pekerjaan yang sudah aku janjikan selesai dalam dua jam. Setelah ini sebaiknya aku pulang. Papa mengundang untuk makan malam bersama di rumahnya. Sepulang dari kantor aku akan pergi kesana.

***

Aysa sedang asik bermain dengan boneka Barbie yang baru aku belikan beberapa hari yang lalu sebagai hadiah karena dia berhasil mendapatkan nilai bagus di ujian sekolahnya.

Jika di perhatikan Aysa sedikit mirip denganku, rambutnya yang bergelombang sedikit, dengan mata bulat dan kulit yang putih. Hampir mirip dengan ku sewaktu kecil. Hanya saja hidup Aysa sekarang jauh lebih beruntung jika di bandingkan dengan hidupku sewaktu kecil.

“Disini toh rupanya anak-anak Papa.”

Ku sambut dirinya dengan senyum termanisku. Aysa langsung menghampiri Papa dan duduk di pangkuannya bersama dengan boneka barbienya.

“Pa, Barbie aku cantik, kan. Ini dibelikan Ay.” Katanya sambil menunjukkan bonekanya pada Papa.

“Cantik banget kayak Aysa.” Jawab papa.

Aku ikut tersenyum. Aysa anak yang pandai. Dia sekarang bersekolah di sekolah dasar di tengah kota. Dia termasuk anak yang pandai di kelas.

“Kok nggak bantuin mama sama Tante Wanda?” Tanya Papa padaku.

Aku menggeleng pelan, “tadi Tante Wanda nyuruh aku nemenin Aysa main. Jadi aku disini deh.” Jawabku.

Papa mengangguk mengerti. Di raihnya tanganku. Menyentuh cincin pemberian Alva.

“Papa tau kamu masih ragu.” Kata Papa.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman. Sebenarnya aku selalu menghindari siapapun yang mulai mengajakku berbicara tentang masalah ini.

“Kamu masih cinta sama Tama?”

Ku tatap Papa dalam. Ini adalah kali pertama Papa menyertakan nama Tama dalam pembicaraan kami. Selama ini papa hanya diam tentang masalah percintaanku yang begitu pelik. Dia hanya memilih untuk mengamatiku tanpa pernah berkomentar apapun. Hanya mama dan Tante Wanda yang sesekali mengobrolkan ini denganku.

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang