Waktu berjalan begitu cepat. Benar kata orang, masa menjadi mahasiswa akan terasa lebih cepat. Walaupun dalam menjalaninya begitu berat dan banyak sekali rintangan. Menjadi mahasiswa salah satu universitas ternama di kota ku ini menjadikan ku sedikit berbeda dengan pribadi lama ku. Aku menjadi lebih terbuka dengan orang baru, dan juga memiliki kepekaan yang lebih tajam dari biasanya.
Sejak menginjak perkuliahan, aku lebih memiliki banyak waktu untuk mengobrol dengan mama dirumah. Kegiatan yang jarang sekali aku lakukan saat masih menginjak sekolah dulu. Aku lebih sering mengerjakan tugas kuliah dirumah, dan otomatis akan bertemu dengan mama.
Mugkin juga karena umur yang seakin tua. Secara otomatis akan lebih menghabiskan waktu bersama keluarga.
Selain itu aku juga bisa lebih mengenal sahabat-sahabatku. Tata, Vanessa dan Pika. Kami memang tak selalu berempat. Kemana-mana tidak selalu berempat. Tidak. Bahkan untuk mengobrol di grup chat yang kami buat sejak semester satu pun jarang kami lakukan.
Kami lebih senang menghabiskan waktu bersama, langsung bertemu di waktu yang tepat dan membicarakan hal-hal yang perlu kita bagi bersama. Dengan mereka aku tau jika pertemanan itu tentang bagaimana kita mengerti satu sama lain.
Semester lalu kami menghabiskan waktu liburan di kediaman Vanessa dan Pika di Semarang. Udaranya begitu sejuk. Begitu tenang. Di temani orang-orang terkasih. Itu adalah kali kedua aku pergi keluar kota bersama dengan sahabatku. Aku jadi tau betapa aku memiliki banyak orang yang sayang padaku. Dan seharusnya aku melakukan semua ini dari lama. Seharusnya aku melepaskan hal yang sudah seharusnya aku lepaskan dari dulu.
Ku genganggam bucket bunga yang berisikan mawar putih dan beberapa bunga kecil lainnya. Sudah sekitar setengah jam aku berdiri di depan pintu ruang sidang. Menunggu Alva yang sedang menjalani sidang perdananya. Dua jam yang lalu aku sudah berhasil menjalani sidang tugas akhir ku dengan lancar .
“Alva yang sidang, kamu yang grogi ya, Im.” Kata Tata mencoba menenangkan ku.
Tak ada celah dari pintu sidang ini yang bisa membuatku mengintip apa yang sedang Alva lakukan didalam. “Iya nih astaga.” Jawabku.
Beberapa teman Alva sedang menunggu giliran masuk yang sama groginya. Ku lirik bunga yang sedang aku pegang ini. Tadi saat aku keluar dan mengumumkan jika sidang ku berhasil, Alva memberiku bunga ini sebagai hadiahku. Ku peluk erat laki-laki yang selalu setia menemaniku membuat tugas akhir ini. Bukan. Kami saling setia menemani satu sama lain.
Pengerjaan tugas akhir dan skripsi ini membuat hubunganku dengan Alva semakin erat saja. Hampir setiap hari aku habiskan bersama dengan Alva. Hampir depalan puluh persen dalam sehari ku habiskan bersama Alva.
Pintu akhirnya terbuka perlahan, dan menampakkan wajah Alva dengan kacamata klasiknya. Wajahnya datar. Tak tersenyum. Dan susah untuk di artikan.
“Gimana, Va?” Tanyaku padanya.
Alva hanya menatapku dalam. Tanpa tersenyum. Aku mulai takut dengan tatapannya.
Alva memelukku erat, hanya sebentar. Lalu melepasnya lagi. Hatiku mulai tak karuan melihat tingkah Alva yang seperti ini.
“Aku berhasil.” Katanya.
Ku kembangkan senyumanku mendengar ucapannya. Kembali ku peluk laki-laki yang akhirnya bisa berhasil menyelesaikan tugasnya dan sebentar lagi akan lulus bersamaku.
“Selamat, sayang.” Kataku pada Alva yang masih memelukku.
Semua temannya memberinya selamat dan tak percaya jika Alva bisa berhasil secepat ini. Alva memang bukan termasuk anak yang pandai di angkatan kami. Justru banyak yang meremehkan kemampuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Aku Tau |✔
Roman d'amourSeri 2 'Seharusnya Aku Tau' Disaat aku tak tau harus melangkah maju atau mundur. Disaat semua terus terasa abu-abu, maukah kau ubah abu-abu ku menjadi pelangi kita?