Ku buka dengan kasar pintu rumah. Badanku masih bergetar, meskipun air mata sudah mengering, badanku terasa sangat lemas. Aku terus teringat tubuh kurus Tama yang terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit tadi. Aku tidak pernah melihat Tama selemah itu. Di tambah lagi, ketika aku melangkah keluar rumah sakit, sosok wanita yang tak asing bagiku melangkah tergopoh-gopoh. Wanita itu.
"Ayma." suara parau seorang wanita mengalihkan lamunanku.
"Tante Wanda?"
Wanita itu sedang membawa kotak berisi makanan yang akan di letakkan di meja makan. Disana sudah ada Papa dan Mama yang sibuk bercengkeramah. Aku masih sibuk dengan pikiran bagaimana bisa mereka memindah tempat pertemuan dirumah ini.
"Baru pulang? Yuk sini tante udah siapin makanan buat kita semua." Katanya. Senyuman manisnya seolah mencoba memikat ketertarikanku.
Perlahan aku berjalan mengikuti langkahnya. Sebuah kereta bayi terparkir tak jauh dari tempat Papa duduk. Bibi membantu menata sayur diatas meja.
Ku beranikan diri utuk duduk di kursi yang biasa aku duduki saat makan bersama dengan Mama. Sesekali mama tersenyum kearahku, memastikan jika aku nyaman di tempatku. Aku tak merespon senyuman mama. Terlalu kaget melihat semua ada disini.
"Jalannya macet banget ya, Dek?" Tanya Papa.
Ku tatap laki-laki dengan wajah sedikit pucat akibat sakit yang memaksanya untuk tinggal di rumah sakit untuk beberapa waktu.
Anggukan kepala, ku lihatkan untuk menjawab pertanyaan Papa. Sesaat setelah itu acara makan malam yang seharusnya di laksanakan di rumah Tante Wanda ini di mulai. Di buka dengan penjelasan Papa tentang mengapa akhirnya dia memutuskan untuk melaksanakan makan malam dirumah ini. Aku tidak fokus sama sekali dengan cerita yang sahut menyahut masuk di telingaku. Pikiranku terus terpusat pada Tama yang entah bagaimana keadaannya.
"Ayma di makan yuk sayurnya, kata Papa kamu suka banget sama brokoli, tante masakin brokoli kesukaan...." kalimatnya terhenti ketika ku meletakkan sendok dan garpu secara bersama yang menimbulkan suara keras yang terkesan tidak sopan.
"Bisa nggak Tante Wanda nggak usah sok tau tentang kehidupan aku." kataku ketus.
Setan apa yang sedang merasuki badanku saat ini sampai aku bisa mengatakan hal sekejam ini pada orang yan bahkan sedang berusaha bersikap baik padaku.
"Ayma..."
Aku menatap Papa yang rupanya terlihat begitu geram padaku. Begitu juga dengan Mama yang kaget melihat aku bertindak seperti ini. Mataku terasa begitu panas, dan tak lagi bisa ku tahan air mata yang sejak tadi ingin ku tumpahkan.
"Tante minta maaf, Ayma." Suara terakhir yang aku dengar sebelum akhirnya aku memutuskan untuk berlari meninggalkan meja makan dengan tiga orang yang terus menatapku hingga masuk kedalam kamar.
***
Lampu komplek rumah terlihat bagus jika di pandangi dari balkon kamar. Sepi. Tenang. Tapi sayang, suasana hatiku sedang tak setenang malam ini. Mobil yang berlalu lalang di jalan raya yang berjarak 500 meter dari rumahku menjadi fokus utama saat ini."Ayma, tante boleh masuk?"
Ku lirik ringan pemilik suara tersebut. Tante Wanda sudah berdiri di bibir pintu kamar sambil membawa sebuah baki berisi sepiring nasi beserta lauk dan minumannya. Aku tetap memandang keluar balkon dan meninggalkan anggukan kecil untuknya, entah dia melihat atau tidak. Tapi dari suaranya aku bisa mendengar langkah kaki yang mulai memasuki kamar.
"Tante bawain makanan buat kamu, tante taruh meja ya." katanya.
Efek berkunjung ke rumah sakit barusan membuat perasaanku tidak karuan. Perang kembali terjadi di hatiku sendiri.
Sebuah tangan menyentuh pundak, aku tak menoleh sedikit pun. Karena aku tau tangan itu milik Tante Wanda.
"Tante tadi udah minta ijin sama mama kamu buat nganterin makanan ke kamar." katanya lagi.
Ku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya keras keras. "Tante sama Papa ngapain kesini?" Tanyaku.
Terlihat lengkungan di sudut wajahnya. Wanita ini tidak terlihat seperti wanita jahat yang ada di cerita cerita ibu tiri yang biasa aku dengar sewaktu kecil.
"Waktu tante jemput papa kamu di rumah kalian yang dulu, sebenarnya hati tante sakit sekali. Apalagi ngelihat kamu sama mama kamu nangis di depan pintu." katanya.
Detik pertama aku mengira jawaban yang ia keluarkan tidak sesuai dengan pertanyaanku, tapi detik berikutnya aku tau jika dia ingin bercerita tentang masa kelam itu.
Ingatan ku kembali ke masa paling pahit yang pernah aku alami bersama Mama. "Pada saat itu papa kamu jatuh bangkrut dan punya utang yang banyak banget sama ayahnya tante. Mereka dulu relasi. Sampe akhirnya papa kamu diberi tawaran bantuan pelunasan semua hutang perusahaannya." Tante Wanda menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Kondisi pada saat itu tante hamil di luar nikah. Ya, tante dulu pernah senakal itu. Laki-laki itu sama sekali tidak bertanggung jawab, dan sampai sekarang nggak tau kemana. Ayah tante malu sekali saat itu, sampai akhirnya Ayah mempunyai ide untuk memberikan tawaran untuk papa kamu, jika mau menikahi tante maka semua utang akan di bantu oleh ayah tante."
Mimik wajahnya mulai berubah menjadi sendu ketika sedang bercerita. Seperti mengorek luka dalam yang sudah begitu lama di pendam.
"Awalnya papa kamu nggak mau, sampe akhirnya papa kamu merasa butuh sekali bantuan untuk melunasi utang perusahaannya yang semakin hari semakin membengkak. Tapi dibalik itu semua, papa kamu menambahkan satu permintaan pada ayah tante." lanjutnya.
"Apa itu?" Tanyaku spontan.
Senyum tulus tergambar manis di wajahnya. "Dia mau jaminan hidup layak untuk kamu dan Mama kamu setelah semua utang papa kamu terlunasi." jawabnya.
Hatiku sangat tersentuh mendengar apa yang baru saja di katakan oleh Tante Wanda. Aku mengerti sekarang bagaimana bisa Papa mendapatkan nomor ponsel ku dan Mama. Begitu juga alamat kami. Untuk pertama kali.
"Jadi selama ini papa tau semua yang terjadi sama aku dan mama?" Tanyaku.
"Selalu, papa kamu selalu minta untuk Mama kamu dapat pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup kamu." Jawab Tante Wanda.
Tak terasa air mata mengalir begitu saja di pipi ku. Laki-laki yang aku kira begitu kejam, ternyata memiliki hati yang luar biasa. Menjadi pahlawan tak tampak mata. Aku merasa bersalah pernah membentak dan menolak kehadirannya di dekatku.
"Jadi Aysa itu bukan anak Papa?" Tanya ku lagi.
Kini giliran Tante Wanda yang menangis, tubuh mungilnya sedikit terguncang. "Aysa itu adik kamu, Ayma. Dia anak kandung Papa. Anak pertama tante meninggalkan. Saat hamil bulan ke 5, tante sempat mengalami kecelakaan dan menyebabkan tante keguguran."
Tanpa berpikir panjang, ku peluk erat Tante Wanda. Aku tau bagaimana rasanya menceritakan hal menyedihkan yang sebenarnya sudah kita coba tutup serapih mungkin. Aku tau bagaimana rasanya memiliki hal buruk di masa lalu yang jika bisa di ulang dan diperbaiki saat itu juga. Dan juga sangat mengerti bagaimana rasanya sakitnya terus berusaha untuk terlihat baik-baik saja disaat sedang ingin menangis kencang.
"Tante adalah mama yang baik buat Aysa. Adik yang satunya sudah di surga, aku percaya kalian bakal ketemu disana suatu hari nanti." kataku mencoba menenangkan Tante Wanda.
Kini Tante Wanda membalas pelukan ku. Entah sejak detik keberapa aku merasa pelukan Tante Wanda sama seperti pelukan Mama. Begitu hangat dan nyaman. Aku baru sadar jika wanita yang aku kira begitu buruk dan tega merebut kebahagiaan ku dan Mama, ternyata memiliki hati yang baik. Jauh di belakang kami, dia juga memikirkan kehidupan kami dan merawat Papa yang terus saja memikirkan aku dan Mama. Entah jadi apa aku jika berada di posisinya saat itu. Pasti hancur.
Karena meskipun kita tau apa yang akan terjadi, kita tidak akan pernah bisa mempersiapkan bagaimana rasanya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Aku Tau |✔
RomanceSeri 2 'Seharusnya Aku Tau' Disaat aku tak tau harus melangkah maju atau mundur. Disaat semua terus terasa abu-abu, maukah kau ubah abu-abu ku menjadi pelangi kita?