Bagian 3

3.5K 141 0
                                    

"Tangan itu..."

"Jaket itu... "

"Jam tangan itu..."

"Culun...?"

Belum sadar dari keterkejutannya setelah apa yang dilihatnya, Aluna dikejutkan lagi dengan panggilan itu. Panggilan yang sudah tidak asing lagi di telinganya, panggilan yang dulu sering didengarnya, tapi panggilan itu yang kini sangat dibencinya bahkan dia berharap tak pernah lagi mendengarnya.

"Cobaan apalagi ini ya Allah..."

Berbicara soal panggilan, sebenarnya Aluna belum tau pasti siapa yang menyuarakan panggilan itu, dan untuk siapa panggilan itu ditujukan. Karena saat mendengar panggilan itu, Aluna refleks memejamkan mata dan menundukkan kepalanya. Dia berharap, panggilan itu bukan ditujukan padanya. Dan jika memang benar panggilan itu ditujukan padanya, dia berharap panggilan itu berasal dari salah satu temannya yang sudah lama mengenalnya. Sehingga dia tak akan merasa kesepian, meski itu sangat kecil kemungkinannya.

Perlahan Aluna membuka mata dan mengangkat kepalanya. Ternyata dugaannya benar, karena mata sebagian penghuni kelas telah tertuju kepadanya. Dan sebagian lagi menuju ke arah siswa yang duduk di bangku tengah paling belakang, yang tidak lain siswa yang telah memanggilnya.

Kini tinggal satu harapannya, semoga siswa yang memanggilnya memang teman lamanya seperti apa yang sudah diduganya. Tapi setelah mata Aluna melihat wajah itu, harapan tinggal harapan. Siswa itu bukan teman lamanya. Dan yang lebih mengejutkannya, ternyata siswa itu memakai jaket dan jam tangan yang sama seperti milik seseorang yang tadi sudah menolongnya. Dan Aluna merasa bersyukur karena tadi tidak sempat mengucapkan terima kasihnya.

Setelah mengamati wajah siswa itu lebih cermat, Aluna seperti tidak asing dengan wajahnya. Aluna mencoba mengingat. Dan setelah sadar dengan ingatanya, dada Aluna mendadak merasa sesak. Siswa itu adalah cowok yang sama dengan cowok yang berada di halte bus. Cowok yang tadi memenuhi fikirannya, cowok yang sudah membantu perubahan moodnya, dan cowok yang sempat dikaguminya karena kebaikan perangainya.

Masih terekam jelas di ingatannya tentang kejadian di dalam bus tadi pagi. Cowok itu yang ternyata telah menolongnya, lebih memilih berdiri dan mempersilahkan anak kecil dan ibu-ibu yang lebih tua untuk duduk. Aluna tau kalau cowok itu berasal dari keluarga yang berada terlihat dari segala hal yang dikenakannya. Tapi cowok itu lebih memilih naik bus untuk pergi ke sekolah daripada naik kendaraan pribadi seperti biasanya orang-orang berada yang pernah dijumpainya. Dan hal itu yang manambah rasa kagum Aluna padanya.

Tapi rasa kagum yang bertumpuk-tumpuk itu sekarang telah runtuh hanya karena panggilan dari siswa itu yang ditujukan padanya.

"Ya Allah, mengapa diantara penumpang bus harus cowok itu yang berada satu kelas dengannya? dan mengapa diantara seluruh penghuni kelasnya cowok itu yang telah memanggilnya dengan panggilan yang kini dibencinya?"

Entah apa yang direncanakan oleh Allah pada Aluna, kenapa banyak hal bertubi-tubi mengejutkannya. Tapi dia berharap dia masih bisa melaluinya.

"So-sorry." lanjut siswa itu memecah keheningan kelas.

Memang setelah terdengarnya panggilan itu, suasana kelas menjadi sunyi. Siswa yang tadi masih bercanda gurau tiba-tiba terdiam mengamati. Entah karena Aluna menjadi objek siswa baru, atau siswa yang memanggilnya itu yang mempunyai pengaruh besar di dalam kelasnya. Tapi yang pasti, Aluna tak akan memaafkan siswa itu semudah dia membuka telapak tangannya.

"Ayo lanjutkan perkenalan kamu."

Suara Bu Rahayu menyentakkan lamunan Aluna.

"Ba-baik Bu."

Aluna menarik nafas, dan menghembuskannya pelan.

"Perkenalkan, namaku Aluna Shafira Achmad. Kalian bisa memanggilku Aluna. Aku pindahan dari Surabaya."

"Nah, sekarang kalian punya teman baru. Kalian harus bisa membuat Aluna nyaman bersama kalian dalam setiap mengikuti kegiatan pembelajaran. Karena dia adalah anggota keluarga baru kita di kelas X-5. Aluna, sekarang kamu bisa duduk di samping Restu."

Aluna mengangguk dan menuju bangku yang ditunjuk Bu Rahayu. Tapi sebelum dia duduk, dia sekali lagi melihat siswa yang duduk di bangku tengah paling belakang itu. Dengan tatapan tajamnya, dia mengisyaratkan bahwa urusan dengannya tak semudah itu berlalu.

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang