Bagian 38

1.4K 66 2
                                    

Alfa cuek : Siapa sebenarnya Alfa cuek itu?

Aluna bingung, dia harus memberi jawaban apa pada Diaz. Kalau itu dulu, mungkin Aluna akan menahan tawanya saat mendapati Diaz menanyakan tentang dirinya sendiri. Tapi sekarang, akankah hal itu menjadi hal yang bisa membuatnya tertawa?Aluna pun tak tau.

"Dari siapa?"

Pertanyaan Raka sekali lagi membuyarkan lamunan Aluna.

"Eh, dari ibu Kak. Tanya pulang jam berapa?"

"Yawda kalau gitu, ayo buruan cabut. Udah mau isya' juga."

Aluna langsung mengiyakan. Aluna tau tidak seharusnya dia berbohong pada Raka. Tapi mungkin hal ini adalah hal yang tepat untuk keadaannya saat ini.

Di sepanjang perjalanan, tidak seperti biasanya, Aluna lebih banyak diam. Aluna masih kepikiran tentang jawaban apa yang harus dia berikan pada Diaz. Mendapati hal itu, Raka ga langsung memaksa Aluna untuk membagi hal yang sedang memenuhi fikirannya, tapi dia lebih memilih fokus untuk menyetir biar cepet nyampe rumah.

"Lun, udah nyampek."

"Eh, iya kak. Makasih. Kak Raka ga mampir?"

"Lain kali aja ya, barusan adek minta anter buat ke toko buku. Salam buat ibu dan simbah ya."

"Oh, yawda kalau gitu kak. Kak Raka hati-hati di jalan."

Aluna terus berjalan menuju teras. Dia baru sadar kalau ada sebuah motor yang terparkir di halaman rumahnya sekarang.

"Apa ada tamu ya? Kaya pernah kenal sama nih motor. Motor siapa ya?"

"Assalamualaikum. "

"Wa'alaikum salam."

Aluna benar-benar terkejut dengan apa yang dia lihat di ruang tamunya sekarang. Sedang berhalusinasikah dia? Tapi suara yang menjawab salamnya tadi benar-benar nyata. Bukan hanya berasal dari suara lembut simbahnya, tapi juga ada suara berat mengiringinya.

"Eh, cucu simbah sudah pulang. Sini makan gudeg bareng."

Aluna masih tertegun di tempatnya.

"Mending kamu bersih diri dulu Lun. Aku juga bawain nasgor sama es teh kesukaan kamu."

Suara itu... nyata.

"Lun, kalau kamu masih berdiri disini terus. Nanti kamu mandinya kemalemen. Ga baik buat kesehatan kamu Lun."

Aluna merasa ada sepasang tangan kokoh yang memegang pundaknya.

Fix sudah, dia sedang tidak berhalusinasi.

€€€

"Sejak kapan?"

Tanya Aluna yang kini sudah duduk santai di  teras rumahnya bersama cowok yang seharian ini berhasil mengejutkannya.

"Maksudnya?"

"Sejak kapan kamu akrab sama simbah?"

Diaz tersenyum mendengarnya.

"Sejak aku melihat kamu memakai jaket biru kebanggaanku dengan nyaman di rumahmu."

Mendengar hal itu, Aluna berusaha keras untuk tidak tersenyum. Dia tidak menyangka Diaz masih mengingat kejadian itu. Dan tanpa diminta pipinya langsung bersemu merah. Diaz pun tak menyia-nyiakan hal itu. Aluna, dengan tingkah culunnya.

"Kok aku ga tau?"

"Kamu ga pernah tanya." jawab Diaz dengan seringainya.

Diaz memang selalu berhasil membuatnya terkejut hari ini. Ternyata selama ini Aluna salah kalau mengira Diaz tidak bisa akrab dengan keluarganya.

"Jadi untuk apa kamu kesini? Mau minta jawaban atas pesan yang kamu kirimkan tadi?"

Diaz menggeleng pelan,

"Aku udah tau jawabannya kok. Itu aku kan? Pantes aja kamu dulu ketawa cekikikan saat aku tanya bagaimana mencari alfa di soal fisika?"

Meski susah mengakuinya, Aluna benar-benar merasa senang saat ini.

"Ketawa aja kalau mau ketawa, ga usah ditahan Lun."

Akhirnya Aluna tertawa lepas.

"Sumpah lucu banget pas inget muka kamu saat itu. Hahaha..."

Sungguh, Diaz benar-benar merindukan kebersamaan ini. Dia rela menukarkan apapun untuk bisa mendapatkan saat-saat seperti ini lagi.

"Lun, aku minta maaf."

Aluna tiba-tiba menghentikan tawanya. Seketika suasana yang hangat menjadi dingin kembali.

"Aku tau mungkin pernyataanku ini sangat telat, tapi aku belum bisa tenang sebelum bisa mendapatkan maaf dari kamu."

"Tak ada yang perlu dimaafkan Diaz, aku sudah melupakannya."

"Tapi sayangnya aku masih mengingatnya Lun. Mungkin itu hukuman buatku. Aku tau, mungkin pernyataanku setelah ini tidak patut kamu dengar dan juga tidak menarik bagi kamu. Tapi aku mungkin bisa lega setelah mengungkapkan segala hal ini kepadamu."

Ingin rasanya Aluna menghentikan Diaz. Dia takut pernyataan Diaz akan membuatnya semakin terpuruk. Tapi lidahnya terasa keluh.

"Dua bulan yang lalu benar-benar saat yang tak bisa aku lupakan. Setelah sekian lama akhirnya teman-temanku membuatku sadar siapa cewek yang berhasil membuatku takluk."

Cukup Diaz, aku ga mau mendengar cerita tentang kembalinya kamu pada kekasih lamamu.

"Dia cewek yang selalu memberi tatapan sinis saat pertama kali melihatku, membuat sekolah menjadi heboh karena beritanya denganku, memiliki suara yang mengingatkanku pada mendiang adekku, satu-satunya cewek yang berhasil membuatku berinteraksi dengan teman sekelasku, membuat ayahku bangga karena kembalinya prestasiku sehingga aku bisa memakai kembali motorku, cewek yang memaksaku untuk berdamai dengan masa laluku, dan.. "

Aluna benar-benar tidak menyangka dengan penuturan Diaz kali ini. Hatinya sontak berdesir, detak jantungnya semakin kencang tak menentu. Matanya pun mulai berkaca-kaca. Karena dia tau siapa cewek itu.

"dan sekarang cewek itu terlihat culun di depanku."

"Diaz... "

Aluna sudah tidak bisa membendung air matanya lagi.

"Iya Lun, aku sudah jatuh hati padamu. Entah muncul sejak kapan perasaan itu. Tapi yang pasti sampai sekarang perasaan itu masih tetap utuh."

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang