Bagian 52

897 42 1
                                    

Beberapa jam sebelumnya,

"Loh Aluna udah berangkat?" tanya Ershand yang baru keluar dari kamar.

"Udah Mas barusan dijemput Indra. Tadi dia juga nitip salam buat kamu kok. Emang kenapa?" jawab Ratih sambil membersihkan meja makan yang baru saja digunakan untuk sarapan.

Ershand terlihat berpikir sebentar. "Oh, yawda kalo gitu. Ga ada apa-apa kok."

Ratih sedikit curiga, pasti ada yang sesuatu yang sedang disembunyikan sama suaminya ini.

€€€

Harusnya hari ini adalah hari yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh Diaz. Karena dia akhirnya akan bisa bertemu lagi dengan orang yang sangat berpengaruh terhadap hidupnya. Tapi itu sebelum kejadian pertemuan tanpa sengaja nya di butik beberapa minggu yang lalu. Entah, bagaimana dia harus menghadapi hari ini. Karena tidak mungkin dia membatalkan acara ini secara tiba-tiba.

Awalnya Diaz sedikit lega karena sejak pertama kali masuk ruangan,  dia belum melihat orang yang dia maksud. Setidaknya dia tidak perlu mengontrol perasaannya yang mudah terpengaruh karena keberadaan orang tersebut. Meskipun saat melihat di buku daftar peserta dia akhirnya menemukan sebuah nama yang sudah dia hafal di luar kepala yang tertulis di baris paling akhir.

Jurusan kuliah yang Diaz ambil di Singapura bisa dibilang sengaja dia ambil karena jurusan itu berhubungan dengan jurusan kuliah yang akan diambil oleh orang yang sudah lama ingin ditemuinya. Dia bahkan sudah merencanakan sejak lama sejak Ayahnya bilang akan membuka cabang perusahaan di Surabaya. Tapi terkadang kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang direncanakan.

Menit demi menit berlalu, kini sampailah pada akhir acara yang diisi dengan sesi pertanyaan. Dan entah kenapa Diaz ingin berjalan mengelilingi seluruh ruangan. Saat sampai di barisan tempat duduk paling belakang, tanpa fikir panjang Diaz akhirnya bertanya kepada seseorang.

"Ada yang mau ditanyakan Aluna Shafira Achmad?"

Diaz bersyukur kalimat yang dia keluarkan terdengar biasa. Padahal saat akhirnya menatap wajah seseorang itu, jantungnya berdegup sangat kencang. Diaz menunggu, tapi seseorang yang ternyata mahasiswi yang masih tetap duduk sambil menatapnya kini tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

Tidak hanya Diaz, Aluna pun sungguh tidak menyangka siapa yang sedang berdiri sebagai pembicara di depannya kini. Mengapa abangnya tidak langsung saja bilang kalau pembicara yang mengisi workshopnya kali ini adalah orang yang dia kenal. Suasana ruangan seakan tiba-tiba menjadi hening untuk beberapa saat. Sampai akhirnya suara dering ponsel membuyarkan keheningan di antara mereka.

"Ma-maaf, saya harus menjawab panggilan ini." pamit Aluna.

Diaz akhirnya bisa menghembuskan nafas yang sedari tadi dia tahan. Aluna pun lega karena akhirnya punya kesempatan untuk menghindari cowok yang sudah menjungkir balikkan dunianya ini.

Di luar ruangan,

"Udah telat abang bilangnya. Tau gitu Aluna ga ikut aja acara ini." Aluna akhirnya tidak bisa membendung air matanya.

"Bang Shandy tau sendiri gimana perasaan Aluna terhadap dia. Aluna kesel sama abang. Abang jahat." akhirnya Aluna mengakhiri panggilannya.

Tanpa Aluna tau ternyata ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi. Dan orang tersebut akhirnya mendekat dan menyodorkan sebuah sapu tangan. Aluna seperti de javu, dia dulu sering mengalami hal ini di bangku SMAnya. Dia tidak tau apa yang akan terjadi pada dirinya kalau sampai orang yang memberikan sapu tangan ini adalah orang yang sama, Raka.

"Pakai aja." Tutur suara cewek.

Akhirnya Aluna bisa bersyukur lega ternyata teman yang duduk di sampingnya tadi yang menawarkan sapu tangannya.

"Terima kasih." Jawab Aluna sambil sedikit tersenyum.

€€€

Hari terakhir workshop dan outbond,

"Baiklah, sekarang tiba di puncak acara outbond. Mari bersama-sama kita saksikan penampilan dari masing-masing kelas." Tutur salah satu panitia untuk melanjutkan acara.

"Lun, lo dah siap kan?" Tanya salah satu teman sekelas Aluna.

"Kenapa harus gue sih. Yang lain aja loh yang mewakili." Jawab Aluna malas.

"Ga bisa gitu Lun. Perjanjian tetap perjanjian, Karena kemarin lo telat masuk ke ruang workshop  jadi lo wajib mewakili sekarang."

Berbeda dengan di SMA dulu, di kampus Aluna lebih banyak teman karena dia benar-benar ingin menjadi pribadi Aluna yang baru, bukan Aluna pendiam dan penakut. Tapi pada acara malam ini jujur dia benar-benar enggan buat tampil. Apalagi di depan pembicara muda yang sudah tidak asing lagi baginya yang kini sedang dikerumuni beberapa mahasiswi dari kelas lain.

"Masak perlu kita hubungin Kak Indra biar bisa bujuk lo." Tambah Teman Aluna yang lain.

"Hmm,,, baiklah gue bakal tampil." Akhirnya Aluna menyerah. Dia ga mau sampai ngerepotin Kak Indra lagi.

"Gitu dong, baru namanya Aluna."

"Baik, kita sambut penampilan yang pertama dari kelas Reguler Aluna Shafira Achmad."

Aluna disambut dengan tepuk tangan riuh. Dengan membawa gitar akustik kesayangannya, Aluna akan memulai  performnya.

Terus melangkah melupakanmu
Lelah hati perhatikan sikapmu
Jalan fikiranmu buat ku ragu
Tak mungkin ini tetap bertahan
...
..
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
...

"Apakah di antara kita memang benar-benar sudah usai Lun?" Batin Diaz Dari jauh.

Diaz tidak begitu terkejut kalau sekarang Aluna pandai bernyanyi. Apalagi membawakan lagu dari group band kesukaannya sejak dulu. Tapi yang membuat Diaz tiba-tiba terkejut, saat matanya mengarah kepada sebuah jaket yang sedang dikenakan Aluna sekarang.

"Jaket itu?"

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang