Bagian 14

2.3K 91 0
                                    

"Cowok ini benar, dia harus segera pulang. Karena perasaannya sedang tidak karuan saat ini."

"Okey..." Jawab Aluna akhirnya.

"Jadi gue dah dimaafin nih?"

Aluna hanya menganggukkan kepalanya pelan dan membalas senyum Diaz.

"Bentar-bentar, coba lo ulangi lagi." pinta Diaz.

"Ulangi apaan?" Aluna tak mengerti.

Diaz tiba-tiba mendekat dan menarik kedua pipi Aluna membentuk sebuah senyuman.

"Jangan jutek mulu, ntar cantiknya ilang."

Bukan senyuman yang Diaz dapatkan, tapi malah Aluna tertawa dengan keras. Dan Diaz tak akan mu melewatkan momen berharga ini.

"Gombalan kamu payah tau nggak."

"Ingetin gue buat sering-sering gombalin lo ya, kalo efeknya nya lo bisa tertawa kenceng kayak gini."

Kalau sekali lagi Diaz mengeluarkan kata-kata manis, entah Aluna sanggup menerimanya atau tidak. Karena jantungnya sudah mulai bedetak dengan kencang.

"Ya sudah aku mau pulang dulu." pamit Aluna.

"Bentar, ponsel lo mana?"

"Buat apa?"

"Cepat, mana ponsel lo."

Aluna akhirnya mengeluarkan ponselnya dari saku seragam sekolahnya. Diaz tidak bisa menahan tawa ketika ponsel yang di keluarkan adalah ponsel model lama yang sudah jarang dipakai orang sekarang.

"Udah tahun 2010 juga, masih setia banget sama ponsel kayak gini?"

"Kalau lo pinjem cuma buat menghina, ga jadi tak pinjemin deh."

"Okey-okey, gitu aja udah marah lagi."

Setelah mendapatkan ponsel Aluna, Diaz segera memasukkan nomor miliknya.

"Dipta ganteng? PD banget kamu." Aluna terkejut ketika Diaz menyimpan nomernya dengan nama seperti itu di ponsel miliknya.

"Tapi itu memang kenyataan kan? Hahaha. Yuk pulang."

Diaz mengambil tempat di bagian depan sepeda Aluna, untuk beranjak menaikinya.

"Eh kamu mau bawa sepedaku kemana?"

"Gue mau nebeng. Lo ga kasihan liat gue jalan sendirian."

"Emang lo bisa naik sepeda?"

"Jangan menghina ya. Gini-gini gue pernah jadi juara. Yuk, abang sudah siap."

Mau tidak mau Aluna tertawa lagi.

"Tunggu bentar," Aluna mengeluarkan jaket merah marun dari tasnya. "Kamu mungkin membutuhkan ini. Ini ukurannya besar kok, jadi cukup buat kamu."

Diaz begitu terkejut, dia akhirnya mengerti alasan apa sebenarnya yang bikin cewek ini ke rumahnya tadi pagi. Cewek ini mengkhawatirkannya.

"Eit, udah ditawarin ga boleh ditarik lagi. Lagian cuaca juga lagi kurang bersahabat."

Diaz langsung mengenakan jaket dari Aluna yang ternyata memang pas di tubuhnya. Hari ini mereka sudah berbagi jaket dan sepeda. Entah hal apalagi yang akan mereka bagi selanjutnya.

"Alika, abang bahagia banget hari ini."

Keesokan harinya,

"Loh, Bang Shandy? Tumben pagi banget udah nyampek sini?"

"Abang udah nyampek dari semalem kali Lun. Kamunya aja yang udah ngorok." Jawab Ershand sambil kebiasaannya mencubit hidung adeknya.

"Iih,, Aluna ga ngorok bang." Aluna menyentuh hidungnya yang memerah. "Owh, abang yang semalem sesenggukan di pangkuan ibu ya?"

"Sesenggukan apa? Salah denger kamu." Ershand mulai salah tingkah.

"Halah, jujur aja kali bang. Makanya, dulu jangan sok-sokan ngerelain mbak Tanti buat bang Aga deh. Nyesek sendiri kan sekarang."

"Culun? Kamu?" Ershand tidak menyangkan dengan penuturan adeknya.

"Aluna bener kan? Dan Aluna ingetin, jangan panggil Aluna culun lagi."

Aluna beranjak pergi sebelum menyadari sesuatu.

"Jaket kamu baru Bang? Kok Aluna belum pernah liat ya?"

"Oh, bukannya ini punya kamu? Tadi abang ambil di gantungan almari kamu. Abang pengen jogging, tapi ga bawa jaket kesini."

"Yaaa abang, itu jaket punya temen Aluna bang. Padahal habis ini mau Aluna balikin." Aluna terlihat panik.

Aluna mengendus mendekati Ershand. "Bau banget keringatnya lagi. Pokoknya abang harus cuci jaket ini sampe bersih dan wangi!"

Aluna langsung masukdan membanting pintu kamarnya.

"Emang jaket ini milik siapa sih bu? Kok Aluna marah banget." tanya Ershand ke ibunya yang sedang memasak di dapur.

"Ibu juga ga tau. Lusa kemarin jaket itu kotor banget, terus Aluna nyucinya lama sekali. Mungkin dia ingin  memastikan agar jaket itu benar-benar bersih."

Ershand mengerutkan keningnya, dia belum menemukan alasan yang tepat untuk kemarahan adeknya.

"Terus sepertinya adek kamu lagi kasmaran bang. Dari semalem dia senyum-senyum sendiri sambil mantengin ponselnya."

Ershand tersenyum.  Akhirnya dia menemukan alasan yang tepat. Dia langsung bergegas menuju kamar Aluna. Pintu kamar yang tidak terkunci mempermudah dia untuk memata-matai apa yang sedang Aluna kerjakan.

"Oh, jadi namanya Dipta ganteng?"

"Bang Cendol......!!!"

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang