Bagian 15

2.1K 88 0
                                    

"Lagi nunggu siapa mbak ya?"

Aluna yang akan melampiaskan amarahnya karena keterlambatan Diaz, tiba-tiba mencoba menahannya ketika mengetahui Diaz baru saja datang dengan segala bujuk rayunya.

"Iya nih, lagi nunggu orang yang katanya dateng tepat tiga puluh menit yang lalu." Aluna menekankan setiap kata pada kalimatnya.

Pergelangan tangan Aluna tertahan ketika dia beranjak pergi, hal ini mungkin akan menjadi kebiasaan yang Aluna dapatkan ketika dia sedang merajuk. Dengan wajah pura-pura kesal, Aluna menolehkan wajahnya.

"Tara... "

Dua ice cream cone tepat berada di depan mata Aluna. Mau tidak mau Aluna sedikit menyunggingkan senyumnya karenanya.

"Sogokannya ga keren."

"Tapi mau kan?"

"Untuk kali ini, oke lah."Aluna mulai menikmati ice cream nya.

"Sorry, tadi gue kumpul bentar sama temen-temen."

"Bentar  ya?"

"Iya-iya, agak lama. Udah dong ngambeknya. Yuk naik!" ajak Diaz yang sudah siap untuk membonceng Aluna.

Hari ini Aluna dan Diaz janjian untuk saling menceritakan satu sama lain. Mereka memutuskan untuk berbicara sepulang mereka sekolah. Harusnya tiga puluh menit yang lalu mereka sudah bisa mulai untuk saling cerita. Tapi keterlambatan Diaz membuat mereka menundanya.

Aluna tidak benar-benar marah. Dia bisa mengerti alasan kenapa Diaz terlambat, karena sebelum bertemu dengannya Diaz sudah terbiasa dengan teman-temannya. Aluna hanya ingin tahu bagaimana reaksi Diaz kalau dia merajuk, tetap mengabaikannya atau mencoba membujuknya. Dan Aluna senang dengan reaksi yang tadi Diaz lakukan kepadanya.

"Mampir ke Bang Ucup dulu ya, laper."

"Eh Mas Diaz. Silahkan mas."

"Bang, gudegnya..." Diaz menoleh ke Aluna. "Lo suka gudeg?"

Aluna menggeleng pelan. Dia senang Diaz mencoba bertanya dulu padanya.

"Gudegnya 1 Es teh 2 Bang."

"Baik Mas."

Tidak butuh lama pesanan pun datang. Diaz langsung melahapnya, dan Aluna senang punya kesempatan melihat Diaz yang makan dengan lahapnya seperti ini.

"Sudah lama ya Mas ga kesini. Terakhir Mas Diaz kesini sama mbak Alika."

Aluna menoleh ke arah Diaz dan mengerutkan keningnya seakan bertanya  siapa Alika?

Diaz cuma mengangguk dan memberi isyarat nanti dia akan menceritakan semuanya.

"Iya bang, Diaz kangen banget sama gudeg bang Ucup. Ya sudah bang, ini bayarnya. Kembaliannya buat abang."

"Maksih mas."

Diaz menggandeng tangan Aluna beranjak keluar dari warung. Mereka melanjutkan perjalanan. Tapi bukannya ke arah rumah Diaz, mereka menuju ke sebuah taman.

"Gue biasanya kesini kalau lagi suntuk. Tempatnya nyaman buat menyendiri."

Diaz berhenti berjalan dan memilih mengajak Aluna duduk di atas rerumputan.

Aluna tau kalau Diaz akan menceritakan segalanya, dan dia menunggunya.

"Hmm, gue bingung harus mulai cerita darimana."

Hening beberapa saat,

"Apa lo aja ya yang mulai cerita duluan?"

"Aku? Jujur, aku juga ga tau harus mulai cerita darimana."

Diaz terlihat berfikir,  "Bagiamana  kalau kita main satu pertanyaan satu jawaban. Habis jawab, kita bisa ngasih satu pertanyaan. Begitu seterusnya. Gimana?"

"Bagaimana kita tau kalau jawaban itu jujur apa tidak?"

"Nah itu konsekuensinya. Kalau kita berniat ingin berteman, berarti kita harus bisa saling percaya. Kalau nanti salah satu dari kita terbukti berbohong, terserah pihak satunya masih mau melanjutkan pertemanan atau tidak."

Meski butuh waktu untuk mencerna penjelasan Diaz, Aluna akhirnya mengangguk setuju.

"Gue duluan ya. Emm, nama lo siapa?"

Aluna masih diam, dia berfikir Diaz belum memulai pertanyaannya. "Kamu tanya apa?"

"Nama lo siapa?"

"Serius lo tanya itu?" Aluna tak percaya apa yang Diaz tanyakan. "Udah sebulan lebih ketemu, kamu belum juga tau namaku?"

Diaz cuma mengendikkan bahu. "Bentar, bukannya kita udah sekelas hampir lima bulan ya?"

Aluna benar-benar terkejut. "Cuek kamu sungguh keterlaluan."

"Jadi, jawabannya apa?"

"Aluna."

"Aluna? Alika? mirip." batin Diaz
"Nama lengkap?"

"Ingat, cuma satu pertanyaan. Sekarang giliranku. Siapa sebenarnya nama panggilan kamu?"

"Nama panggilan gue banyak. Kalo kebanyakan sih Dipta, cuma anggota keluarga lebih sering manggil gue Diaz. Tapi kalo lo punya panggilan kesayangan sendiri buat gue, silahkan gue ga masalah. Haha..."

"Jiaahh, kumat PDnya. Berarti cuma dua panggilan ya?"

"Sebenarnya ada satu panggilan lagi. Dan itu masih berpengaruh banget pada gue."

Adipta.

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang