Bagian 48

1.7K 71 8
                                    

"Tapi mungkin ini memang yang terbaik untuk gue dan dia Ndra."

Hanya itu yang bisa dikatakan Diaz ketika dia merasa tidak ada harapan lagi untuk berbicara lagi dengan Aluna.

"Lo jadi pergi?"
Indra sedikit terkejut dengan pernyataan Diaz. Dia akhirnya langsung teringat tentang rencana Diaz untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

"Besok pagi gue berangkat. Gue nitip Aluna, tolong jaga dia baik-baik."
Diaz pasrah sekarang.

"Lo yakin? Lo ga takut dia bakal jatuh hati sama gue?"
Indra refleks menanyakan hal itu. Tidak ada maksud apapun kecuali untuk memancing emosi Diaz.

Diaz tersenyum sejenak.
"Gue rela, kalo lo orangnya."

Indra syok mendengarnya. Benarkah ini Diaz temannya?

Bukan hanya Indra, Diaz sendiri sebenarnya terkejut kalau akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Dia tak pernah membayangkan harus merelakan Aluna ke orang lain, tapi dia juga takut akan menyakiti Aluna lagi kalau Aluna masih bersamanya.

€€€

"Diaz, kamu yakin ga bareng ayah sama bunda aja ke bandaranya?"

"Iya bund, hari ini hari terakhir Diaz di Jogja. Entah kapan Diaz bisa kesini lagi. Diaz ingin menghabiskan waktu sebentar mengelilingi kota ini."

"Ya sudah kalau itu mau kamu. Tapi jangan sampai telat nanti ke bandaranya."

"Siap bund."

Diaz tidak berkeliling kota dengan motornya, tapi dengan bus yang dulu biasa dinaikinya untuk ke sekolah. Rasanya sudah lama sekali Diaz tidak mengendarai bus. Betapa Diaz akan merindukan hal ini nantinya. Bus dan halte yang meninggalkan banyak kenangan akan dirinya dan Aluna.

Di saat mulai menaiki bus, semua hal yang pernah terjadi pada Diaz mulai bermunculan di ingatannya satu per satu. Dari saat dia pertama kali bertemu Aluna, menahan tubuh Aluna yang hampir jatuh, sampai saat pulang bersama dengan menyanyikan lagu dari band kesukaan Aluna yang liriknya kebolak-balik. Mau tidak mau Diaz menyunggingkan senyumnya. Andai dia bisa memutar waktu, dia tidak akan menyakiti hati Aluna. Dan  mungkin sekarang Aluna sedang bersamanya untuk menghabiskan waktu bersama sebelum dia pergi atau malah mencegah dirinya untuk pergi dengan wajah culunnya yang menggemaskan. Ah, Diaz benar-benar merindukan Aluna.

Dengan memilih duduk di dekat jendela, Diaz mulai mengingat kejadian setahun ini. Dari kejadian kepergian Nindy sampai akhirnya dia harus merelakan Aluna jug untuk pergi. Saat itu memang Diaz benar-benar takut. Dalam tahun berurutan dia kehilangan orang-orang yang berharga di hidupnya. Dia takut kalau Aluna masih berada di dekatnya, dia akan kehilangan Aluna juga. Meski dia tidak tau dia mendapatkan kesimpulan itu darimana.

Keberuntungan mungkin sedang tidak berpihak pads Diaz. Saat duduk di kelas XII, dia sama sekali tidak kenal dengan teman sekelasnya. Teman-teman lamanya sudah pada lulus. Carla dan Aluna yang dia kenal malah jauh dari kelasnya. Tapi hal itu tidak lantas membuatnya benar-benar mengabaikan Aluna. Dia tetap memastikan Aluna datang dan pulang dengan selamat, meski dari kejauhan.

Tapi mungkin Tuhan masih sayang sama Diaz,dia masih diberi kesempatan untuk bisa melihat Aluna lebih dekat. Yap, Diaz paling suka ketika upacara berlangsung, dia bisa mengamati wajah culunnya yang sedang kepanasan. Kalau dulu mereka masih bersama pasti seru buat bahan ledekan. Tapi sayangnya, rasa takut untuk mendekati Aluna lagi masih ada di benak Diaz.

Lamunan Diaz tiba-tiba terbuyarkan saat ada seorang anak kecil berjaket baseball biru dengan lengan pelet putih memilih duduk di sampingnya. Sekilas Diaz berfikir anak ini mirip dirinya.

"Mau duduk disini Dek ?" Diaz menawarkan duduk di sebelah jendela.

Tanpa ada sahutan, anak itu cuma menggelang pelan. Menyandarkan kepalanya di kursi bus sambil bersedekap.

Cuek banget sih. Pikir Diaz.

"Diaz, nama kamu?" Diaz mencoba mencairkan suasana.

"Alfa. Tolong jangan banyak tanya ke gue."

Diaz sontak menahan tawanya. Alfa dan cuek. Dia teringat nama yang dibuat Aluna untuk nomornya di ponselnya. Apa dulu Diaz terlihat seperti anak yang sedang duduk di sebelahnya sekarang. Tapi mungkin nama itu sudah tidak ada tersimpan lagi di ponsel Aluna. Karena saat Diaz mulai memberanikan diri untuk menghubunginya, ternyata nomornya sudah tidak aktif lagi. Mungkin itu hukuman yang harus diterima Diaz.

Di sisa perjalanannya Diaz lebih memilih bersandar, dan mendengarkan lagu dengan headset nya. Tapi sebelum dia mengeluarkan hesdsetnya, anak di sebelahnya sudah menawarkan headset sebelahnya.

Keren anak ini. Diaz langsung memasang headset di sebelah telinga kirinya. Dan Diaz terkejut dengan lagu yang sedang di dengarkan anak seusia SD ini.

...
Dan mungkin bila nanti
Kita akan bertemu lagi
Satu pintaku jangan kau coba
Tanyakan kembali
Rasa yang ku tinggal mati
Seperti hari kemarin
Saat semua disini
...

Mungkinkah seperti ini saat dia bertemu Aluna lagi suatu saat nanti?

€€€

"Semua sudah siap? Awas ada barang yang ketinggalan." tutur Ibu Aluna.

"Beres Bu. Ibu bahagia banget sepertinya mau punya menantu." Tanya Aluna.

"Apaan sih kamu Lun." sahut Ershand

"Ya pastilah ibu bahagia. Kalau Adek  juga udah ketemu, cerita ke ibu ya. Jangan disimpan sendiri."

"Haduh, Aluna mikir sekolah dulu bu."

Tiba-tiba ponsel Aluna berbunyi.
"Hallo assalamualaikum."

"Astaga Lun, lo tega nyuekin gue dua hari ini."

"Ya ampun Kak Indra. Kalau salam itu dijawab dulu.

"Waalaikum salam. Hehe "

"Habis Kak Indra tega banget sama Aluna. Memang ada apa Kak?"

"Gue mau minta maaf soal Dipta kemarin. Gue cuma ingin dia ngasih penjelasan ke lo sebelum dia pergi."

Diaz pergi?

"Udah itu aja Kak?"

"Karena gue fikir masalah kalian masih belum kelar. Seharusnya dia pergi dua hari yang lalu, tapi keberangkatannya ditunda sampai hari ini. Tapi gue sempet memasukkan sepucuk surat ke dalam saku tas lo. Terserah lo mau mebacanya atau membuangnya, gue ga maksa lo Lun."

"Udah gitu aja Kak? Aku buru-buru soalnya."

Abaikan... Abaikan... Abaikan...

Tapi nyatanya hati Aluna memilih untuk mencari Surat itu. Ketika sudah ketemu, dia agak ragu apa dia harus membacanya atau tidak. Dan sepuluh kata yang tertulis di dalam surat itu, akhirnya membuat pertahanannya runtuh.

"Bang, bisa kita berangkat ke Bandara sekarang?"

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang