Bagian 50

969 44 1
                                    

Setahun yang lalu,

Aluna masih menggenggam kertas dari Diaz yang bertuliskan sepuluh kata itu sambil menangis melihat pesawat yang sudah lepas landas membawa Diaz pergi.

"Aluna terlambat bang, Aluna sudah terlambat."

"Ssst,, kamu tenang. Kalau kalian emang ditakdirkan berjodoh sejauh manapun dia pergi, dia akan tetap kembali padamu."

€€€

Sudah terhitung lima kali Bu Miranti refleks memegang dadanya saat mobil yang dia tumpangi hampir saja menabrak kendaraan di sekitar jalan yang dilaluinya. Dia mungkin akan mengomel kepada satu-satunya orang yang sekarang berada di dalam mobil bersamanya yang tidak lain adalah Diaz yang sedari tadi tidak fokus dalam mengendalikan kendaraannya. Tapi Bu Miranti tidak melakukannya, dia memilih diam. Karena dia tau putra kesayangannya sekarang sedang berada dalam mood buruknya.

Sesampai di rumah sapaan ayahnya tidak ditanggapi sama Diaz, dia lebih memilih langsung menuju tangga yang mengarah ke kemarnya.

"Diaz kenapa Bund?"

Bu Miranti hanya menghela nafas besar, mengisyaratkan untuk duduk di ruang tamu sebentar agar leluasa menjelaskan semua duduk permasalahannya.

Beberapa saat kemudian,

Tok.. Tok..

"Masuk. " jawab Diaz tanpa melihat siapa ke arah pintu.

"Jadi cuman segini doang nyali putra kebanggaan ayah." tutur Ayah Diaz yang perlahan melangkah masuk.

"Ayah ngomong apa sih, Diaz lagi males tebak-tebakan." tanggap Diaz malas.

"Diaz, kamu mungkin tidak tahu betapa bangganya ayah ketika kamu berhasil menyelesaikan study kamu bahkan lebih cepat. Ayah ga nyangka gadis itu memberi pengaruh yang sangat besar terhadap kamu."

Bukannya menanggapi, Diaz malah menutupi kepalanya dengan bantal.

"Kamu masih ingat apa yang pernah kamu bilang ke ayah dulu. Bahwa kamu sangat menyesal atas kesalahan yang sudah kamu perbuat terhadap Aluna. Kamu akan menerima segala apapun resikonya termasuk akan ditinggalkan olehnya asalkan kamu dapat maaf darinya."

Diaz akhirnya duduk tegak di tempat tidurnya, dia masih ingat kata-kata yang dia ceritakan pada ayahnya itu.

"Nah, sekarang waktunya kamu membuktikan hal itu. Kalau dia masih sendiri, berarti kamu masih diberi kesempatan untuk memperjuangkannya lagi. Tapi kalau dia sudah bersama orang lain, kamu harus ikhlas merelakannya."

Diaz termenung mencoba mencermati perkataan ayahnya.

"Ayah cuma ingin bilang itu. Sekarang terserah kamu, lebih memilih mengurung diri di kamar kayak anak cewek yang lagi ditinggal saat sayang-sayangnya, atau kamu lanjutkan rencana kamu untuk memperjuangkan keinginan kamu."

Ayah Diaz perlahan berjalan keluar.

"Ayah,,," panggil Diaz.

Ayahnya tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Terima kasih."

Tanpa menoleh ayahnya hanya megacungkan jempol tangan kanannya sambil berlalu meninggalkan kamarnya.

€€€

"Haduh,,, ga lihat apa disini masih ada anak yang belum cukup umur." rengek Aluna dengan berpura-pura menutup kedua matanya dengan jari-jarinya saat baru masuk di ruang makan kediaman abangnya.

"Salah sendiri ganggu orang yang lagi senang-senangnya berbulan madu." balas Ershand yang masih memeluk pinggang Ratih yang beberapa minggu ini sudah resmi menjadi istrinya.

"Hueek,,," Aluna tambah risih mendengar penjelasan abangnya.

"Auh,,," jerit Ershand tiba-tiba.

Ratih langsung mencubit lengan Ershand untuk melepaskan pinggangnya, dan segera menuju meja makan untuk mempersiapkan sarapan keluarga kecilnya.

"Rasain kamu bang. Kurang keras tadi nyubitnya mbak." Aluna senang merasa ada yang membela dirinya.

"Lun, asal kamu tau ya. Cubitan istri ke suaminya itu ga ada sakit-sakitnya." balas Ershand.

"Stop-stop!, jangan merusak selera makan Aluna bang."

"Makanya ndang nyusul." akhirnya Ratih mengeluarkan suara.

"Nyusul apaan mbak?"

"Ya nyusul nikah. Kan udah ketemu orangnya." lanjut Ratih yang tambah menggoda Aluna.

"Emang siapa mbak orangnya?" sejenak Aluna berfikir Kakak iparnya ini tahu kalau dia akhirnya bertemu dengan orang yang selama ini ditunggunya. Tapi sepertinya dugaannya salah.

"Tuh orangnya, udah nunggu di depan." jawab Ratih sambil melihat ke arah jendela teras.

Aluna refleks berdiri.

"Bercanda... Haha."

"Ah, mbak Ratih ga asyik ah." Aluna akhirnya lebih memilih melanjutkan sarapannya.

"Lun, abang punya dua kabar buat kamu. Kamu ingin dengar yang baik atau yang buruk dulu?"

"Dua kabar?" Aluna mengerutkan dahinya sejenak berfikir.  "Yang baik dulu aja bang."

"Pada acara workshop dan outbond kamu nanti bakal ada pembicara muda yang akan mengisi. Dan orang itu baru beberapa hari yang lalu menjalin kerjasama di perusahaan abang."

"Wah, keren itu. Jadi semangat kalau diisi yang muda-muda. Terus kabar buruknya?"

Tin,, tin,, tin...

"Aduh, Kak Indra udah dateng. Lain kali aja ya bang,  Aluna buru-buru." Aluna langsung bergegas. "Makasih banyak ya mbk, sarapannya enak. Aluna berangkat dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikum salam. Hati-hati Lun."

€€€

Setelah mendengar penjelasan ayahnya kemarin, Diaz sudah mengambil keputusan. Dia akan tetap pada rencana awalnya. Diaz memantapkan hatinya bahwa dia harus bisa bersikap dewasa dengan berusaha menerima segala konsekuensinya.

Tapi tekadnya tiba-tiba menciut kembali saat pandangannya mengarah ke jendela mobil sebelah kanannya. Terlihat jelas dua orang yang pernah sangat dekat dan disayanginya sedang berboncengan sekarang. Diaz mulai berfikir mungkin dugaannya kemarin memang benar kalau Aluna dan Indra memang sudah menikah.

Di sepanjang perjalanan, Diaz tidak henti-hentinya memikirkan pandangannya tadi. Sampai dia tidak memperhatikan kondisi jalan di sekitarnya.

Ciiit.... Braak...

"Dipta?"

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang