Bagian 10

2.4K 102 0
                                    

"Diaz, kok ga dimakan sarapannya?" tanya Bunda Diaz yang sedari tadi melihat putranya terdiam cuma memegang sendok di tangan kanannya.

"Eh, iya Bund." jawab Diaz yang baru tersadar dari lamunannya dan mulai menyuapkan makanannya.

Kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini masih memenuhi fikirannya.  Dan mimpi semalam melengkapi kelelahan berfikirnya.

"Bund,"

"Iya.."

"Diaz mau minta maaf."

"Buat?"

"Emm,, sebenarnya bekal dari Bunda ga pernah Diaz makan."

"..."

"Bukannya Diaz ga suka Bund, tapi teman-teman Diaz selalu ngajak jajan makanan lain di kantin."

"Terus bekalnya dimakan sama siapa?"

"Diaz kasihkan ke Pak Bon di sekolah. Diaz bener-bener minta maaf Bund."

"Ya sudah, ini dibawa aja buat Pak Bon. Kalo suatu hari Diaz pengen bawa bekal, nanti Bunda buatin dobel."

"Jadi Bunda ga marah sama Diaz?"

Bundanya menggeleng, "Bunda hargai kejujuran kamu."

"Makasih banyak Bund."

Diaz langsung memeluk Bundanya dan berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Setidaknya hal ini bisa sedikit meringankan beban fikirannya. Dan dia berharap ada hal baik lagi yang dia dapatkan hari ini. Tapi sepertinya hal baik tidak berlangsung lama berada di pihaknya. Ketika dia berjalan menuju halte bus, tiba-tiba dari belakang ada sepeda yang melaju kencang tanpa memperdulikan sekitarnya. Akibatnya cipratan lumpur langsung mendarat di jake biru kesayangannya.

"Duh, sial." gerutu Diaz sambil mecoba membuka jaketnya.

Ketika sepeda itu sudah mulai menjauh tiba-tiba Diaz teringat sesuatu. "Bukannya itu tadi teman sebangkunya Restu? Aah,, cewek itu."

Sementara itu di tempat lain, Aluna juga merasa kesal. Setelah begadang telefonan bersama teman-teman lamanya, membuatnya bangun kesiangan. Akibatnya dia harus buru-buru berangkat menuju halte, dan dia terpaksa berdiri berdesak-desakan karena mendapati jumlah penumpang bus yang lebih banyak dari biasanya.

"Duh, sial. Sampai kapan aku akan berdiri seperti ini?"

Tiba-tiba di tengah perjalanan bus direm mendadak.

"Aahhh..." teriak para penumpang.

Tapi teriakan Aluna mendadak berhenti ketika ada sepasang tangan yang menahan pundaknya dari belakang. Seperti dejavu, tapi bukan sepasang lengan berjaket biru yang menahannya. Tapi..

"Bentar, lengan ini memang tidak berjaket. Tapai jam tangan itu, jam tangan yang sama."

Sebagian hati Aluna memang berharap bahwa dia ditolong dengan orang yang sama, tapi sebagian hatinya juga berharap itu orang lain kalau ternyata yang menolongnya adalah orang yang sama yang kini satu kelas dengannya. Perlahan Aluna menolehkan kepalanya ke belakang.

"Lo?!"

Dugaan Aluna benar. Dan sekarang dia harus segera  pergi jauh dari cowok ini. Saat akan menjauh, tiba-tiba tubuhnya tertarik ke belakang lagi. Bahkan lebih kuat sampai punggungnya menempel di dada cowok yang sangat dibencinya kini.

Aluna tidak tau kenapa jantungnya sekarang berdetak lebih cepat. Hal itu menakutinya, dia takut kalau sampai orang yang di belakangnya juga bisa merasakannya. Tapi, kenapa dia juga merasakan detak jantung yang sama dari punggungnya?

Setelah kecepatan bus sudah stabil, perlahan pundak Aluna sudah terlepas. Alih-alih berterima kasih, Aluna langsung mencari tempat duduk yang kosong dan menghindari tatapan tajam cowok itu yang mengarah padanya.

"Jangan harap aku mau berterima kasih karena hal ini." batin Aluna.

"Dasar cewek aneh, berasal dari planet apa sih sebenernya." batin Diaz sambil memperhatikan Aluna yang berusaha menghindari tatapannya.

Sesampai di sekolah, Aluna berlari duluan biar dia tidak terlihat berangkat bersama dengan Diaz. Dia ingin segera bertemu dengan Restu dan menanyakan keadaannya. Sama seperti Aluna, Diaz pun ingin segera menemui Restu. Tapi selain dia ingin menanyakan tentang siapa pemilik suara yang dia cari akhir-akhir ini, sepertinya sekarang dia juga akan menanyakan tentang teman sebangkunya yang membuatnya kesal hari ini.

"Restu." panggil Diaz ketika sudah sampai di dekat bangku Restu.

Sontak penghuni kelas mengarah pada Diaz, membuat Aluna memutar bola matanya bosan, dan Diaz memperhatikannya.

"Ada sesuatu pada cewek ini." batin Diaz.

"K-kak Dipta?"

Sebelum Diaz menjawab, Aluna sudah beranjak mengajak Restu pergi. Dia tidak mau melihat Restu terkena dampaknya lagi. Tapi Diaz tak membiarkan hal itu terjadi. Dia menahan pergelangan tangan kiri Aluna.

"Gue ga bakal ngelepasin tangan lo, sebelum gue selesai bicara sama Restu."

Sambil menahan perih di pergelangan tangannya, Aluna mencoba melihat Restu dan penghuni kelas yang kini sudah lekat menatapnya. Dia harus melakukan sesuatu biar hal ini segera berakhir.

"Baiklah, sekarang cepat kamu bicara." akhirnya Aluna berani membalasnya.

Suara itu...

"Ayo cepat!"

Akhirnya...

Akhirnya Diaz menemukannya.

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang