Bagian 30

1.7K 75 0
                                    

"Sejak kapan lo kenal sama cowok berkacamata itu?" tanya Diaz setelah mendapatkan tempat duduk di samping Aluna dalam perjalanan bus malam mereka.

Aluna yang masih memikirkan kalimat terakhir yang diucapkan Diaz pada Rinda tiba-tiba tersentak dari lamunannya.

"Apa? Maksud kamu Kak Raka?"

Diaz mengangguk malas.

"Emm,, belum lama kok. Kamu masih inget pas aku nangis setelah kamu belain Carla waktu itu?"

"Gue ga maksud belain dia.".

"Iya, pokoknya pas waktu itu aku lari sejauh-jauhnya dari kelas dan tanpa sadar berhenti di serambi musholla."

"Terus?"

"Dan saat aku belum bisa berhenti nangis, tiba-tiba dia nyodorin sapu tangan di depanku. So sweet kan kayak di film-film?"

"Enggak, biasa aja." jawab Diaz ketus.

"Dan kebetulan itu udah terjadi lima kali."

"Apa?! Lima kali?"

"Heem. Di musholla, uks, cafe, taman, dan terakhir kemarin saat aku mau nyebrang jalan." jawab Aluna dengan semangat.

"Sampek sebegitunya ya lo inget semua tempatnya. Berarti lo udah sering ketemu dia?"

"Yupz, tapi itu cuma kebetulan. Itu semua tanpa disengaja."

"Kalo sengaja juga ga papa." jawab Diaz terlihat terpaksa.

"Itu juga udah aku rencanain sih."

"Apa?! Kalo lo berencana mau ketemu dia lagi, gue harus ikut."

"Kenapa? Ga rela ya lihat gue sama Kak Raka?"

"Iya, gue ga rela."

"Jujur amat bang."

"Pokoknya kalo lo nangis lagi... Bentar, kalo lo udah lima kali kebetulan disodorin sapu tangan sama dia, berarti lo udah nangis sesering itu? Dan gue ga tau?"

Aluna cuma mengendikkan bahunya.

"Lun, gue pernah bilang ke lo. Gue akan selalu ada di sisi lo di saat sedih dan senangnya lo. Jadi gue harap, lo juga mau berbagi ke gue tentang kesedihan lo."

"Tapi bagaimana kalau semua kesedihan itu disebabkan oleh kamu, Diaz? Aku ga mungkin bisa bercerita ke kamu."

Hampir saja Aluna meneteskan air matanya, tapi akhirnya dia berhasil menguasai dirinya kembali. Dia tersenyum dan mengangguk.

"Kalau disodorin sapu tangan lagi jangan mau ya?"

Mau tidak mau Aluna tersenyum geli.

"Emang kenapa? Kamu mau nawarin sapu tangan lain?"

"Gue ga butuh sapu tangan buat bisa nenangin lo. Gue udah punya dada yang lapang buat bisa jadi sandaran lo. Dan gue bisa mendekap lo buat bisa nenangin dan ngasih kekuatan buat lo."

Kalimat Diaz sungguh manis. Ingin rasanya Aluna segera bersandar di dada Diaz dan menangis dengan puas. Tapi itu tidak dilakukannya, dia lebih memilih mengalihkan pandangannya ke arah jendela bus di sampingnya.

"Bener kata Kak Indra. Sekarang kamu jadi suka nggombal."

"Biarin, suka-suka gue. Toh itu juga cuma buat lo."

"Cukup Diaz, jangan buat gue melambung tinggi lagi."

"Emm,, lo sebelumnya udah pernah dianter sama Raka?"

Ini kesempatan Aluna untuk mengalihkan gombalan Diaz.

"Pernah. Emm, berapa kali ya?"

Aluna berpura-pura menghitung dengan jarinya. Dan Aluna tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat wajah Diaz merengut tak suka.

"Pernah sekali, itu pun cuma sampai halte."

"Dan kalo lo tadi bareng dia, pasti dianterin sampe rumah."

"Benarkah? Ya,, kenapa tadi ga bareng sama Kak Raka aja ya. Udah mobilnya ber ac, bisa tiduran, bisa ndengerin musik, dianter sampek rumah pula."

"Lo nyesel naik bus sama gue?"

"Aku ga bilang gitu."

"Tapi kalimat lo menunjukkan hal itu. Kalo lo kepanasan gue bisa kipasin lo, kalo lo ngantuk pundak gue bisa biat tidur lo, dan kalo lo mau ndengerin musik gue bisa nyanyiin buat lo."

Diaz sedikit menyesal dengan kalimat terakhirnya, karena dia sama sekali ga bisa nyanyi. Harusnya dia tadi bilang bisa minjemin headsetnya buat bisa ndengerin musik.

"Serius?!"

Aluna benar-benar terkejut dengan kalimat yang diutarakan Diaz. Dia perlahan mendekati Diaz dan perlahan menaruh kepalanya ke pundak Diaz. Diaz sedikit menegang.

"Aku sekarang ngantuk. Kamu ga perlu ngipasin aku, karena aku ga lagi kepanasan. Tapi aku biasanya ndengerin musik buat pengantarku tidur."

"Emm,, lo bisa pake headset gue. Disini ada beberapa lagunya Peterpan."

Aluna menggeleng pelan. "Aku pengen denger suara kamu."

Diaz benar-benar bingung sekarang. Dia ga tau harus nyanyi lagu apa.

"Lihat ke langit luas
Dan semua musim terus berganti
Tetap bermain awan
Merangkai mimpi dengan hariku
Selalu bermimpi dengan khayalku"

"Kebalik, khayalku dulu baru hariku. Suaranya dikerasin dikit lagi dong."

Aluna terkikik sambil memejamkan matanya. Diaz menghela nafas dan memutar bola matanya.

"Pernah kau lihat bintang
Bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka
Coba temani, dekati aku
Selalu terangi gelap malamku

Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua, hanya kita dan bintang... "

"Diaz..."

"Hmm..?"

"Makasih."

Diaz mengangguk pelan.

"Diaz..."

"Iya, apa lagi? Ayo tidur, lagunya dah habis."

"Tidak penting kita berkendara naik apa, yang penting kita berkendara bersama siapa. Naik kendaraan butut pun asal kita bersama orang yang bisa memastikan kita akan baik-baik saja itu lebih baik, daripada naik kendaraan bagus bersama orang tak kenal dan tak peduli sama kita. Dan aku bersyukur bisa berkendara bersama kamu malam ini."

Hati Diaz meleleh, gombalannya pada Aluna tidak ada apa-apanya daripada kata-kata yang Aluna ucapkan barusan.

"Makasih Lun."

"Maaf kalo gue udah sering buat lo nangis."

Tiba-tiba Diaz memberanikan diri mengecup puncak kepala Aluna. Aluna yang belum terlelap mencoba mengatur detak jantungnya tiba-tiba melaju dengan cepat.

"Ya Allah, andai waktu bisa berhenti sejenak untuk saat ini."

€€€

"Lun, gue boleh minta tolong?"

"Ada apa La?"

"Kak Nindy masih butuh waktu untuk memulihkan kakinya. Kata dokter, dia akan pulih lebih cepat bila didukung oleh orang-orang yang disayanginya. Bisakah lo minta Kak Dipta untuk memberi dukungan padanya, setidaknya bisa menemani Kak Nindy saat terapinya."

"I-iya La. Aku usahain."

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang