Bagian 29

1.6K 75 0
                                    

"Darimana saja lo?!!!" teriak Diaz.

Aluna dan Raka langsung menghentikan langkahnya. Bahkan saking terkejutnya badan Aluna sampai tersentak ke belakang. Untung Raka bisa menahan tubuhnya. 

"Lo ga papa Lun?" tanya Raka.

Aluna menggeleng pelan. Dia benar-benar tidak mengenali Diaz sekarang, belum pernah dia melihat Diaz berteriak dan marah seperti ini kepadanya.

Bukan hanya Aluna, Diaz sendiri juga terkejut kenapa dia bisa berteriak seperti itu. Ada apa dengannya sekarang? Kenapa dia jadi tidak bisa mengendalikan emosinya seperti ini hanya karena melihat Aluna tersenyum pada cowok lain? Kedua tangannya semakin terkepal erat ketika melihat tangan cowok itu menyentuh pundak Aluna. Ini tidak bisa dibiarkan, dia harus pergi sebelum menyakiti orang lain lagi.

"Di-Diaz.."

Sesaat sebelum Diaz pergi, Aluna sempat melihat sorot mata Diaz yang penuh penyesalan. Dia tahu pasti Diaz tidak sengaja berteriak kepadanya tadi. Dan Aluna tidak akan membiarkan Diaz menyalahkan dirinya sendiri.

"Lo mau kemana Lun? Mau gue temenin?"

"Ga usah kak, aku bisa kesana sendiri."

Aluna bersyukur karena tidak susah menemukan Diaz yang sedang kalut seperti ini. Dia menemukan Diaz sedang duduk sendiri di pojokan kantin rumah sakit.

"Tinggalin gue sendiri Lun, gue ga mau lo tersakiti lagi karena gue." tutur Diaz tanpa menatap Aluna.

Bukannya pergi, Aluna malah mendekat dan memilih duduk tepat berhadapan dengan Diaz. Sambil merendahkan kepalanya, Aluna berusaha mengamati wajah Diaz yang masih tidak mau menatap wajahnya.

"Diaz?"

"..."

"Kamu yakin minta aku pergi? Kamu ga kangen sama aku?" tanya Aluna sambil tersenyum geli.

Diaz tidak menyangka Aluna akan membujuknya seperti ini. Mau tidak mau dia sedikit menyunggingkan senyumnya.

"Senyum aja kalo mau senyum, ga usah ditahan kayak gitu."

Diaz akhirnya tersenyum lepas. "Ga keren ah lo jiplak kata-kata gue."

"Biarin, yang penting kan berhasil."

Diaz kemudian menggenggam tangan Aluna. Tanpa diminta jantung Aluna tiba-tiba berdetak dengan cepat, selalu seperti ini.

"Maafin gue Lun. Gue bener-bener ga maksud untuk berteriak ke lo seperti tadi. Gue cuma khawatir karena lo pergi ga bilang-bilang ke gue. Ponsel lo juga ga bisa gue hubungin."

Aluna mengangguk dan tersenyum.

"Yakin cuma khawatir? Kamu ga lagi cemburu kan?"

CemburuJujur Diaz juga ga tau.

"Ga usah gr lo." Diaz mencubit hidung Aluna.

Aluna juga tidak tahu kenapa dia bisa bertanya seperti itu tadi. Untung Diaz mengelak dari pertanyaannya. Kalau Diaz sampai mengakui kalau dia cemburu, entah apa yang terjadi pada jantung Aluna.

"Aku ngerti kok. Aku jadi seperti melihat bang Shandy di diri kamu, protectif banget sama aku. Aku juga minta maaf karena pergi tanpa pamit tadi, ponselku juga lowbat."

"Lo janji ya Lun, jangan pergi tanpa pamit lagi."

"Beres bos."

Diaz semakin erat menggenggam tangan Aluna.

"Terima kasih Lun, karena lo masih mau berada di sisi gue."

Tanpa Diaz dan Aluna sadari, ada dua pasang mata yang mengawasi mereka tanpa senang hati.

Tiga jam kemudian,

Kecelakaan yang menimpa Nindy membuat kakinya yang sebelah kanan terluka parah. Jalan terakhir yang harus segera dilakukan adalah operasi. Kini semua sedang menunggu operasi Nindy. Sebagian ada yang menunggu di depan ruang operasi, sebagian lagi ada yang menunggu di kantin sekalian mengisi perut karena sudah malam.

"Jay, gimana operasinya? Udah selesai?" tanya Indra yang melihat Jaya baru masuk ke kantin.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar." jawab Jaya.

"Alhamdulillah." tutur yang lain.

"Oh ya Jay, lo hutang cerita sama kita." lanjut Diaz.

Jaya menghela nafas pelan dan tersenyum.

"Ya seperti yang kalian lihat tadi, gue dan Carla memang menjalin hubungan."

"Sejak kapan?" tanya Diaz dan Indra.

"Bulan depan udah dapet satu tahun."

"What..?!  Gila lo Jay. Udah mau setahun lo ga pernah cerita ke kita."

"Yaa,,, waktu itu kan lo lagi ada masalah sama Nindy Dip. Jadi gue ga enak aja."

Suasana jadi sedikit canggung setelah membahas tentang kejadian tahun lalu.

"Ehm, tapi menurut gue lo masih layak mendapatkan cewek yang lebih baik lagi." tutur Rinda yang juga ikut nimbrung di kantin.

Kalau sebelumnya mungkin Aluna tidak berfikir apa-apa. Tapi setelah sifat asli Rinda, Aluna tau kenapa dia berpendapat seperti itu. Karena dia tidak suka sama Carla.

"Mungkin masih banyak cewek lain yang lebih baik, lebih cantik, lebih pinter disana. Tapi kalau cuma Carla yang bisa membuat hati gue berdesir setiap detiknya, bagi gue mereka sudah tidak lagi ada gunanya."

"Ciee... gue baru tau ternyata lo punya sisi lain yang romantis Jay." Goda Indra sambil menengahi ketegangan antara teman-temannya.

Diaz tiba-tiba menggenggam erat tangan Aluna. Dan Aluna tau, sekarang Rinda tidak lagi menanggapi komentar teman-temannya tapi fokus menatap tangannya.

"Aku mau ke toilet bentar ya." tutur Aluna pelan tapi masih bisa terdengar oleh yang lain.

Tapi tiba-tiba Diaz menahan tangannya saat Aluna sudah siap berdiri untuk beranjak dari kantin.

"Hati-hati." tutur Diaz.

"Jiaaah,, gue kira lo mau ngomong apaan Dip. Ah, temen-temen gue kok pada jadi raja gombal gini sih." komentar Indra sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Sebelum akhirnya Aluna benarkah beranjak pergi, tiba-tiba ada dua orang yang menuju kantin.

"Eh la sini. Gue pesenin makanan bentar ya." tutur Jaya.

Carla menuju tempat di sebelah Jaya tapi sebelumnya sempat menatap sinis ke arah Rinda.

"Aluna, jadi pulang bareng?" tanya Raka yang baru masuk dengan Carla.

"Enggak! dia pulang sama gue." Diaz langsung berdiri dan menggenggam tangan Aluna lagi.

"Oh, okey. Gue cabut dulu."

"Maaf kak, terima kasih sudah diajak bareng tadi kesini." tutur Aluna yang dijawab anggukan oleh Raka.

"Lo kayak anak kecil sekali sih Dip, sama Alika saja dulu lo ga kayak gini." sahut Rinda.

Diaz sempat terkejut dengan komentar Rinda.

"Alika dan Aluna memang sama-sama cewek yang gue sayang. Tapi posisi mereka di hati gue itu berbeda."

Bersambung...

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang