part 8

95 7 0
                                    


Mata merah dan wajah yang sedikit pucat. Itulah yang terlihat pada diri Faizal di pagi ini. Lelaki itu kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur karena pening yang ia rasakan.
.
Faizal memang orang sedikit cuek, bahkan terlampau tak peduli dengan hal menye-menye yang sering ia saksikan. Namun justru hal menye-menye itulah yang mengganggu tidurnya semalam.
.
Tanpa sengaja Faizal melihat Bu Mala tengah menangis bersandar bahu suaminya, mereka berandai jika suatu saat kematian menjemput dan belum melihat Faizal menikah.
.
Sedikit kalimat yang berefek panjang untuk Faizal, bahkan semalam suntuk ia tidak tidur. Lumrah sih jika ia menonton lakon wayang, lah ini tangis menye-menye ibunya yang terlampau sering ia lihat tapi mampu membuat dia merasa bersalah.

Bukan Faizal banget...!

Keadaan tak lebih baik ketika lelaki itu berada di depan komputer ruang kerjanya. Proyek untuk grafis sebuah mobil Avanza dengan memberikan sentuhan emas pada warna dasar hitam tak kunjung selesai. Beberapa kali ia menguap dalam lima menit.
.
Pandangannya teralih pada sofa hitam di samping meja kerjanya. Kakinya beranjak untuk merebahkan tubuh barang sebentar di sofa itu.

'Ting!'

Suara notifikasi dari ponsel apel tidak utuh itu membuat Faizal urung untuk memejamkan matanya.

"Zal, ibu dapat kabar, kalau Luri akan cuti dan pulang lusa. Kamu ikut ibu jemput dia di bandara ya!"

Pesan itu membuat Faizal membuang pandangan sejenak, ditekannya tombol kembali kemudian dia meletakkan benda pipih itu di meja tanpa membalasnya.

Andai permintaan ibunya bukan perkara menikah, ia tak akan berpikir lama untuk mengabulkannya. Pernikahan bukanlah sebuah permainan, jalinan erat antara dua keluarga besar tidak menjadi jaminan rumah tangga itu akan langgeng. Apalagi Faizal sendiri belum punya gambaran bagaimana nanti ia menjalaninya.

Bukankah perkara apapun itu, harus ada kesungguhan sebagai dasarnya? Dan ini, bahkan dihati Faizal masih dipenuhi dengan keraguan. Lebih dari ragu antara balikan atau udahan sama mantan. Kayak yang lagi baca..!!
.
Lebih kurang sepuluh menit Faizal terlelap, ia dikagetkan dengan suara getar ponsel yang berada di atas meja.

Rupanya ibu masih belum nyerah, pikir Faizal.

Secepat kilat lelaki itu mengambil dan menempelkan ketelinga.

"Assalamualaikum, ibu! Nanti Izal pikirkan lagi! Izal lagi sibuk, ini!"

"Waalaikumsalam, Kunyuk! Ini Gue, bukan ibu! Loe cepet kesini, bantuin Gue, bawa mobil, Mia mau lahirin!" suara seorang yang sedang ribut terdengar jelas diseberang.

"Loe siapa sih?" Faizal masih mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Ini Gue, Arman! Cepet kesini, Mia mau lahiran!" ulang Arman dengan nada kesal.

"Oh iya, sorry! Ntar Gue kesana! Habis bengkel tutup ya, ini ngantuk banget Gue!" Rupanya Faizal belum sadar dengan apa yang dia ucapkan.

"Astagfirullah, Ya Allah Ya Robb! Sabarkanlah hamba! Punya sahabat satu otaknya ngadat. Woy Izal, Loe mau anak Gue mbrojol di teras rumah. Ini Mia mau lahiran, sumpah!"

"Oh, maaf. Mia mau lahiran! Lah terus?"

"Dasar sompret, kan mobil Gue masih di bengkel Loe, baru saja kemarin ditukar tambah sama yang lebih gedhe. Gimana sih!"

"Astaga! Gue lupa!" Faizal beranjak dari posisi berbaringnya. Lelaki itu sedikit sempoyongan mencari letak kunci mobil milik Arman. "Ini Mia bener mau lahiran?" Tanyanya sambil mengambil jaket dengan posisi ponsel masih menempel di telinga.

"Iya Kunyuk! Astaga, cepetan!"
"Iya, ini on the way Gue!"
.
Faizal berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga menuju garasi. Tepat di sebelah bengkel auto fashionnya, lelaki itu juga membangun shorum mobil bekas yang baru ia geluti tapi sudah berkembang cukup baik.
.
Baru saja ia hendak membuka pintu, matanya melihat Fathir dan enam karyawan yang lain sedang duduk di bangku dekat dapur. Masing-masing dari mereka memegang nasi bungkus di tangannya.

"Mau keluar, Bos?" tanya Fathir sambil memperhatikan penampilan Faizal.
"Iy_"
"_Alhamdulillah, kenyang. Enak banget empalnya!" suara seseorang dari balik pintu toilet. Suara yang sangat Faizal kenal menginterupsi jawaban atas pertanyaan Fathir. Sedangkan pemilik suara hanya nyengir melihat Faizal dengan posisinya.

Manda. Ya pemilik suara itu, Manda.
Kebetulan perempuan itu datang saat jam makan siang hampir tiba. Fathir yang sejak pertemuan pertama kali mereka langsung akrab, tanpa ragu-ragu mengajak Manda untuk makan bersama.

"Bos, makan siang dulu!" Fathir tersenyum sambil menaikkan sedikit piring berisi nasi bungkus itu.

"Makasih, Gue puasa!" jawab Faizal sekenanya, masih dengan nenatap Manda dengan pandangan yang... Entahlah...

"Puasa? Inikan hari jum'at. Puasa apaan coba?" Alan, salah satu karyawan Faizal menyaut.

Shit, double shit..!

Faizal memilih diam. Ia bahkan tidak ingat jika seperempat jam lagi harus sholat jum'at. Ini gara-gara semalam. Juga gara-gara telfon dari Arman yang mengganggu tidur siangnya.
Tunggu dulu, Arman?
Iya Arman!

"Astaga, Arman, Gue sampai lupa!" tanpa mengindahkan ucapan Alan. Faizal menggerutu setelah tersadar dari pemikirannya. Setengah berlari ia masuk ke garasi untuk mengeluarkan mobil milik Arman.

Semua yang ada di ruang makan hanya cengo, menatap tingkah Faizal yang hari ini kelewat aneh.

"Apa dia mabuk? Kenapa kelakuannya jadi kayak gitu? Matanya merah juga!" Manda bertanya sekaligus menyuarakan apa yang dia pikirkan.

"Hush... nggak! Si bos bukan orang yang suka minum minuman keras, walau teman sekumpulannya banyak yang hobi." Fathir menjelaskan sekaligus menyingkirkan pikiran negatif yang ada di otak Manda.

"Termasuk kamu ya?" Pertanyaan Manda sukses membuat Fathir tergelak.
"Aku juga nggak suka ya Manda!"
"Nggak apa-apa sih, tetep ganteng juga. Tapi kalau kamu nggak suka minuman gituan, jadi makin ganteng. Sumpah!"

"Wah jadi pacar idaman dong!" sahut Alan berniat menggoda Manda.

"Emh, suami idaman dong! Bukan pacar lagi!" timpal Manda sambil melirik Fathir. "KUA yuk!" sambungnya diikuti gelak tawa semua yang ada di ruangan itu.

* * *
Arman duduk dengan keringat yang membasahi dahi. Bajunya sudah kusut, dengan ujung yang tak lagi masuk celana. Dan jika ditelisik dengan cermat, lengannya memerah, persis seperti bekas cakaran.
.
Yup..
Beberapa menit yang lalu, anak keduanya lahir, dan cakaran itu adalah wujud kesetiaannya sebagai seorang suami. Berlebihan? Tidak juga. Malah ada seorang istri yang sampai menjambak-jambak rambut suami saat proses melahirkan.

"Huft... hampir saja Gue telat sholat jum'at!" Faizal mendaratkan bokongnya untuk duduk di sebelah Arman.
"Hampir juga anak Gue mbrojol di teras depan rumah!" sindir Arman membuat Faizal kicep.

Asem...!

"Itu sakit ya?" Faizal menatap luka cakaran di tangan Arman, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kagak, adem ini! Bikin ngantuk juga!" Lagi-lagi Arman berhasil menyindir Faizal.

"Yailah ,Nyet! Loe ngambeg kayak perawan aja!"

"Bodo. Eit, ngomong-ngomong tentang perawan, katanya Loe mau dijodohin lagi ya?" Faizal menghela nafas sambil mengangguk.

"Terus gimana? Loe terima?" tanya Arman antusias, melupakan kekesalannya pada Faizal.

Faizal menelan ludah mendengar pertanyaan itu. "Ehm... gimana ya! Tapi kayaknya sih!" lelaki itu menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Sedangkan Arman sudah melongo seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan Faizal.

Bersambung...

Inaka arum

Marry Or Not? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang