Fathir menghela nafas berat. Berulangkali ia memandang antara tiket di hadapannya dengan sosok Faizal. Berharap si bos iba dan membatalkan perintah yang menyuruhnya untuk pergi ke Jogjakarta.
Sebenarnya kota Jogjakarta terlampau indah untuk dilewatkan, ada banyak hal yang bisa Fathir dapatkan di sana. Pesona Malioboro, bentang laut selatan dengan jejeran pantai-pantainya yang indah, kuliner pinggir jalan yang sayang jika dilewatkan. Tapi keindahan Jogjakarta tak lagi menggairahkan jika mengingat apa yang menjadi tujuan utamanya.
Menemani Luri sesuai permintaan Pak Suwandi.
Iya, dan jika boleh mengucap satu kata dia akan lantang berkata,
Haruskah?
Sebagai lelaki yang cukup sering memarkirkan burung dalam berbagai macam karakter sangkar, Fathir sudah mencium bau tak mengenakkan. Mana mungkin Luri besedia begitu saja ketika sang papa memberi syarat agar Fathir ikut serta ke Jogjakarta saat wanita itu meminta izin papanya untuk liburan?
Mana ada yang percaya jika wanita titisan singa barong itu juga membelikan tiket untuknya, yang kemudian dititipkan langsung oleh Pak Suwandi kepada Faizal saat mereka berdua bertemu kemarin sore untuk membahas izin Fathir.
Bukannya takut, Fathir sang pangeran cinta, pantang takut dengan yang namanya wanita. Seganas apapun wanita, dengan gaya nyentrik ataupun galak setengah bangsat sekalipun, ada masanya mereka takluk pada pria. Diatas ranjang salah satu buktinya, dan seorang Fathir sudah khatam untuk itu. Hanya saja, kalau menyebut Luri, kegilaan seorang Luri sebelas duabelas dengan psikopat. Bahkan perkara ranjang sudah pernah memperangkapnya hingga dia kalang kabut mencari bukti kebenaran.
"Sudah. Bukannya loe sendiri yang bilang kalau kalian pacaran? Nggak ada salahnya juga kan gue ngasih izin waktu Om Suwandi minta untuk ngijinin loe beberapa hari buat nemenin anaknya?" Faizal melepas pandangan dari depan laptop.
"Elah serius. Ini Luri loh, wanita gila mirip psikopat yang harus gue temenin. Nggak inget loe, dua hari di Surabaya aja dia udah buat perkara habis-habisan, apalagi ini seminggu di Jogjakarta. Lah apa iya gue harus minta bantuan Paksikaton Sri Sultan Hamengkubuwono? Loe nggak kasihan ama gue, Bos?"
"Nggak!"
"Ish tega!"
"Loe bahkan lebih tega dari gue. Masih untung yang ada di tangan loe itu bukan surat pemecatan." Faizal kembali berkutat pada laptopnya. Meskipun jauh di dalam hati dia tersenyum untuk itu. Karena perkara Fathir yang menyebabkan dirinya punya hutang dengan Manda hingga punya alasan untuk kembali bertemu.
Terima kasih juga pada Kana yang malam itu menelpon balik setelah sebelumnya Faizal menghubungi Indra namun tidak dijawab.
"Hallo Zal, sorry tadi hp Abang aku taruh di kamar anak-anak, jadi nggak kedengeran. Lagian Abang juga udah tidur. Ada apa?" Suara Kana memecah keheningan antara Faizal dan Manda setelah insiden sabuk pengaman yang membuat Manda malu setengah mati.
"Nggak apa-apa! Tadi ada perlu tapi nggak jadi!"
"Huh, menyebalkan! Tingkah kamu kayak Narisa. Labil!"
"Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, dan anak cewek biasanya nurunin sifat bapaknya."
"Kamu mau bilang Bang Indra labil, gitu?"
"Biasanya sikap suami juga berdampak pada istri!"
"Izal! Mulutnya itu. Aku tuh lagi pusing, kalau saja ada donatur kepala yang bisa aku pecahin. Tadi Narisa, sekarang kamu!"
"Narisa pulang?"
"Iya, dia minta perayaan ultahnya yang ke tujuhbelas dirayaain di hotel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Or Not?
Humor"Ups, maaf! He...he... nggak sengaja! Reflek, saking senangnya!" kata-kata itu keluar dari mulut Manda, saat Faizal menarik tangan yang hendak dicium oleh Manda. "Inget batas suci!" Seloroh Faizal sekenanya. "Idih segitunya. Ketahuan nggak pernah de...