Manda diam. Ia merasa tidak enak terlibat dalam masalah keluarga orang lain. Faizal masih saja cuek setelah Narisa berlalu pergi, seolah tidak memiliki rasa bersalah dia malah pamit untuk menelpon seseorang.
Kana diam menyaksikan keduanya seolah-olah kejadian itu adalah drama yang biasa terjadi. Padahal penolakan Narisa cukup membuat kaget, apalagi kata pedas yang terucap dari mulut gadis manis itu. Tidak mencerminkan jika dia baru akan menggelar ulangtahun ke 17 nya beberapa hari lagi.
Apa iya trah keluarga Faizal itu memang pedas semua jika berbicara?
Suara gelas lemontea yang diletakkan pelayan menyadarkan Manda. Ia melihat Kana mengucapkan terimakasih dan tersenyum ramah.
Kakak Faizal itu menggapai salah satu gelas dan mengangsur pelan kepada Manda. Memberi isyarat seolah menyuruhnya untuk minum.
"Jangan kaget dengan kejadian tadi. Keluarga kami memang demikian, begitu juga dengan Narisa jika bertemu dengan Izal. Besok juga kamu akan terbiasa!"
"Maksudnya?" cicit Manda dengan tampang polosnya.
Kana tertawa. Alih-alih menjawab ia justru meneruskan perkataannya.
"Izal itu memang terlampau songong untuk ukuran pria. Tapi bukan berarti dia tidak memiliki rasa peduli. Dia menelpon Marwan, adik kami. Karena jika Narisa sudah ngambeg tingkat akut seperti itu, hanya Marwan yang bisa menanganinya. Marwan itu lembut, entah apa yang dulu diidamkan ibu saat hamil, hingga memiliki dua anak lelaki yang bertolak belakang." Kana mengukir senyum, kemudian melanjutkan ceritanya lagi.
"Aku sendiri senang merantau. Lulus SMA pernah ke Pekan Baru, terus dapat beasiswa kuliah di Jepang dan bersahabat dengan mamanya Narisa. Saat itu hanya Marwan yang tinggal bersama orangtua kami di Solo. Sedangkan Faizal lebih memilih tinggal bersama kakek di Bogor." Kana menjeda omongannya dengan menyeruput lagi lemonteanya.
"Kamu tau, Faizal itu cucu paling spesial. Saat dia tinggal bersama kakek, disitulah dia merasakan kasih sayang tiga orang nenek sekaligus."
Kana tertawa melihat Manda menukikkan alis."Maksudnya?"
"Kakek kami hebat. Beliau memiliki tiga orang istri sekaligus."
"Wah ... Perkasa!" Manda cepat-cepat menutup mulutnya setelah sadar dengan apa yang dia ucapkan.
"Maaf ...!"
Kana tertawa melihat tingkah Manda. Sekarang dia tahu, apa yang membuat Faizal bisa tertarik pada wanita di hadapannya itu.
"Tidak apa-apa. Beliau memang perkasa. Kalau tidak mana mungkin bisa bergilir pada tiga orang istri sekaligus. Dari ketiga istrinya, kakek hanya memperoleh satu anak. Bapak kami. Itu dari istri pertama. Istri pertama kakek meninggal yang pertama kali. Di susul istri kedua setelah dua tahun. Istri ketiganya cukup sayang, cuma saat kakek sakit parah dan akhirnya meninggal, istri ketiganya ini justru pergi, dan Izal yang merawat sampai tiada." Kana menghela nafas. Memperhatikan Manda yang masih diam menyimak seperti murid yang mendengarkan guru bercerita.
"Waktu itu, Izal masih SMA. Dia sampai jualan mie goreng di sekolah untuk menambah uang saku. Karena hasil toko elektronik kakek juga digunakan untuk biaya berobat yang tidak sedikit. Jadi jangan heran kalau Izal cuek dengan seorang wanita. Karena memang dia menyaksikan sendiri ketidakpedulian seorang wanita ketika lelakinya butuh."
Manda hanya mengangguk-angguk tanpa berniat memgeluarkan suara. Ia masih belum bisa mencerna kenapa wanita anggun di hadapannya ini menceritakan hal itu kepadanya.
Namun jauh di sisi hati, dia senang. Ya, senang karena apa yang diceritakan Kana tentang keluarganya, membuat dia lebih tahu tentang Faizal. Lelaki itu peduli dengan caranya sendiri. Meskipun butuh waktu untuk menyadari hal itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Or Not?
Humor"Ups, maaf! He...he... nggak sengaja! Reflek, saking senangnya!" kata-kata itu keluar dari mulut Manda, saat Faizal menarik tangan yang hendak dicium oleh Manda. "Inget batas suci!" Seloroh Faizal sekenanya. "Idih segitunya. Ketahuan nggak pernah de...