Kamis tepat bulan Juli, seakan menjadi hari di mana rasa kagum Manda terhadap teknologi pesawat mulai sirna. Juga tentang Berlin, di mana kota itu pernah menjadi mimpi untuk ia kunjungi suatu saat nanti. Tapi entahlah, untuk sekarang menghilangkan kota itu dari peta negara Jerman adalah keinginan yang paling utama, andai dia bisa, tentunya!
Satu jam yang lalu, Marion bertolak ke sana. Meninggalkan rasa canggung meski lelaki itu telah bilang bahwa Manda tidak perlu khawatir, dia akan kembali, iya, dia kembali. Tapi entah kapan tepatnya.
"Aku pasti akan pulang dan menjadi Ion yang lebih baik!" kata itulah yang membekas di hatinya. "Maaf!" cicit Manda pelan, Ion tak menggubris. Hanya pelukan singkat dan senyum kecil yang ia berikan sebelum berlalu.
Ini sakit. Jelas! Apa Ion merasakannya? Mungkin, tapi perkara yang berbeda. Manda pasti lebih paham, bagaimana rasanya mencintai orang yang hanya bertepuk sebelah tangan. Jika Marion karena dirinya, tentu nama Faizal_lah yang menjadi sebab utama buat Manda.
Apa ini sejenis lingkaran pembalasan yang dibungkus dengan suatu hal bernama 'karma'?
"Ayo pulang!" Fandi menenggerkan kacamata dari atas kepala kembali ke hidungnya. Tangan kekar itu merangkul Manda yang sedari tadi berdiri memperhatikan aktifitas beberapa pesawat dari balik kaca besar di bandara.
Ia tahu apa yang didera kedua adik kakak itu, dan memisahkannya adalah solusi terbaik.Ion terlalu muda untuk mengartikan sebuah perasaan. Semangatnya masih menggebu, hingga apa-apa hanya mengandalkan otot tanpa berpikir matang. Sedangkan Manda, terlalu lemah untuk berdiri sendiri saat ada Marion di sekitarnya. Mungkin karena efek trauma juga. Ia bergantung terlalu jauh hingga keduanya memaknai perasaan saling membutuhkan itu sebagai artian yang berbeda.
"Ayo Kak, kita pulang! Supir udah nungguin tuh!" Mami melihat ke arah Manda. Ia berdiri di samping Fandi seraya menggenggam jemari suaminya itu.
Manda mengangguk mantap, meski mata sembabnya tidak bisa berbohong kalau ia menyimpan ketidakrelaan untuk dua hal berbeda.
Kepergian Marion dan,
pertunangan Faizal.Mengingat hal itu membuat perutnya mendadak kosong. Tidak ada sistem pencernaan di sana, apalagi untuk mencerna suatu kenyataan, bahwa dia yang akan merancang baju pertunangan mereka.
Wow... kalian bisa lihat malaikat bertanduk ada dalam diri Manda saat ini.
Apa ia harus menggelar konferensi pers? Siapa tahu ada keajaiban terjadi. Bukannya itu bisa jadi langkah baik dari sekedar menulis kegalauan atau baper kuadrat di dinding si biru itu?
Konyol!
* * *
Kana memperhatikan Faizal yang tengah duduk menyesap secangkir kopi di teras. Bibirnya tersenyum, baru kali ini seumur hidupnya, ia melihat sang adik kalang kabut. Bahkan lebih memilih menginap dan tidur berdesakan dengan dua keponakannya.
Ajaib! Faizal adalah tipikal orang yang wilayah tidurnya tidak dapat diganggu gugat. Kamarnya harus rapi dan tenang.
Lalu bisa dibayangkan jika ia sampai tidur dengan dua pangeran pengacau milik Kana.Senyumnya lebih mengembang lagi kala Kana menyaksikan lebam di pipi Faizal saat lelaki itu menengok. Mungkin pilihan tidak pulang ke rumah adalah hal terbaik. Mereka sudah hafal tabiat Bu Mala dengan ocehannya.
"Jadi, siapa dia?" Faizal memicing. Pertanyaan kakaknya seperti kekurangan unsur obyek dan keterangan. Bukannya langsung menjawab, lelaki itu justru menyesap lagi kopinya seakan berkata, 'nggak penting!'
"Tidak ada bantuan jika tidak mau cerita!" Kana berucap lagi. Mengatasi Faizal berbeda dengan Marwan. Jika Marwan di ibaratkan lelaki berhati lembut. Kalian bisa mengibaratkan Faizal sebagai lelaki tak punya hati.
"Tidak usah menawarkan bantuan jika tidak ikhlas!" kalimat itu membuat Kana mendengus. Ia bersumpah akan mengganti otak Faizal dengan ikan gurami. Setidaknya harganya lebih berkelas!
"Terserah, penyesalan selalu datang terakhir." Kana merasakan pergelangan tangannya dipegang seseorang saat hendak pergi. Ia berhenti, senyum kemenangan terbit begitu saja.
Faizal jengah dengan senyum itu. Kenapa melihatnya seperti suatu ejekan? Sejujurnya dia benci dengan hal ini. 'Menuruti wanita yang diciptakan dengan rasa ingin tahu berlebih,
Mungkin semua wanita demikian!'
pikir Faizal lempeng, mengabaikan pembaca wanita yang sudah keluar tanduk."Jadi, sebenarnya Kak Kana ini ada di pihak siapa?" Lelaki itu memicingkan matanya.
"Tidak memihak siapapun, awalnya! Tapi rasa tidak sregku pada Luri mungkin bisa membuatmu sedikit senang!" Kalimat itu cukup untuk membuat Faizal tersenyum hari ini.
Ia mulai bercerita, tidak banyak dan seantusias yang kalian pikir. Sedikit tentang Manda dan Marion, tentu tanpa ice cream biadab itu. Juga tindakan semena-mena Luri dengan cerita karangan dan pertunangan sialannya.
"Ikuti kemauan Luri!" Kalimat itu cukup membuat Faizal mengeluarkan aura permusuhan, namun hanya sebentar. Ia mulai paham setelah melihat tawa perempuan nyentrik itu. Tawa yang ia yakini ada rencana di baliknya.
Kadang hanya kepasrahan yang sanggup mengeluarkan musuh dari persembunyian.
* * *
Manda berharap ada seseorang yang memberikannya semangat atau kue khusus orang patah hati, mungkin!
Ada yang bisa membuatnya?Hatinya terkikis. Bisa jadi, ia melihat Faizal begitu semangat melakukan sesi pengukuran baju yang akan dikenakan untuk pertunangan dan acara pernikahannya. Bahkan lelaki itu juga menenteng kertas berisi ukuran baju serta sketsa gaun yang di ingikan Luri.
Ah... lelaki impian milik orang!
Eh..Manda geleng kepala, ia merasa sistem otaknya tidak sehat hari ini. Lalu bagaimana keadaan hatinya untuk sebulan kedepan?
Dalam hal ini ia lebih memilih menggadaikan keprofesionalan bekerja, jika bisa!
"Apa sudah cukup?" Manda mendongak saat suara maskulin itu menginterupsi pemikirannya. Ia masih cengo dengan tangan memegang pita ukur.
"Harus sampai kapan aku mengangkat tangan seperti ini?" Faizal berdecak, sedangkan Manda menepuk jidatnya sambil nyengir.
Bibir Faizal hanya tertarik membentuk garis lurus, namun bisa dilihat luka lebam itu mengikuti gerak pipinya.
Rasa tak tenang melingkupi hati Manda. Andai dia bisa mengendalikan perasaan itu, atau memindahkannya pada orang yang memiliki perasaan sama. Mungkin melihat lebam itu bukan gangguan berarti.
"Apa?" Faizal mengerutkan kening melihat Manda menatapnya.
"Apa masih sakit?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Manda tanpa memperdulikan pertanyaan faizal sebelumnya.
Lelaki itu menggeleng. "Ada yang ingin aku bicarakan tentang ini!" sambungnya kemudian.
Manda menghangat, angin surga seperti berhembus kencang.
Bolehkah dia berharap?"Aku minta maaf untuk kejadian kemarin. Bukan maksudku untuk merendahkan atau apapun itu!" Faizal menjeda sejenak.
"Tidak apa-apa! kita sudah dewasa, dan aku mengerti!" Manda berujar bijak, yang penting Faizal sudah meminta maaf.
"Jadi kamu tidak keberatan, jika aku meminta untuk melupakannya saja?"
Manda seperti runtuh dengan harapannya. Apa sekarang dia juga harus berpura-pura bijak?
Manda ingin menangis sekarang.
Angin surga nyatanya hanya mampir sebentar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Or Not?
Humor"Ups, maaf! He...he... nggak sengaja! Reflek, saking senangnya!" kata-kata itu keluar dari mulut Manda, saat Faizal menarik tangan yang hendak dicium oleh Manda. "Inget batas suci!" Seloroh Faizal sekenanya. "Idih segitunya. Ketahuan nggak pernah de...