Part 2

178 6 0
                                    


Jika saja ada sesuatu hal yang nyata untuk menggambarkan kemarahan Faizal saat ini, lelaki itu akan meledakkan otaknya melampaui kecepatan NOS pada sebuah mesin. Yakin? Hmm mungkin.
.
Mata Faizal kembali memperhatikan wanita mungil berambut coklat yang kini terbaring di brankar sebuah klinik. Manda.
.
Bukan karena Faizal mendadak jadi sosok perhatian, jika itu yang kalian pikirkan, siap-siap untuk remidi otak! Ya karena yang kalian pikirkan itu salah besar.
.
Tatapan itu mengintimidasi lebih tepatnya, seolah menegaskan kalau Manda akan mendapatkan masalah besar setelah ini.
.
Bagaimana tidak, bemper mobil Honda Jazz koleksi bengkelnya kini sudah penyok parah akibat menabrak pembatas jalan. Tak hanya itu, spion kiri mobil tersebut juga patah dan pecah, terlebih lagi, Manda sang pelaku hanya nyengir kuda melihat ekspresi kemarahan Faizal.
.
Entah setan apa yang membuat lelaki itu merelakan salah satu mobil koleksinya dibawa Manda untuk bertemu klien selama mobil Manda diperbaiki. Yang jelas itu lebih baik daripada dia sendiri  yang harus turun tangan untuk mengantar makhluk Tuhan paling ribet itu. Pikirnya! Namun semua pemikiran itu tak berbentuk lagi ketika polisi menelfon beberapa jam kemudian dan mengabarkan mobil atas namanya mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak pembatas jalan.

"Ck.. ulah kamu itu, membuat kepalaku mau pecah! Itu mobil besok bakal ikut kontes, sekarang gagal gara-gara bentuk bampernya jadi nggak karuan!"

"He..he... Maaf... aku nggak sengaja, tahu! Tadi ada kucing tiba-tiba lewat, kan mau nggak mau aku jadi banting stir, daripada kucing itu mati, kan kasihan!" jelas Manda sedikit memerah di wajahnya karena terus mendapat pandangan tak bersahabat dari Faizal.

"Dasar kamunya saja yang memang nggak bisa nyetir mobil!" dengus Faizal mendengar penjelasan Manda.

"Eh... enak aja kalau ngomong! Walau Papa itu seorang polisi, Aku bikin SIM-nya pake test juga ya! Jangan salah!"

"Nggak nanya kamu anak siapa, yang jelas kamu itu makhluk paling nyusahin!" Manda mendelik dengan apa yang dilontarkan Faizal seraya melangkah pergi.

"Aku nggak nyusahin, aku itu mandiri!" Manda sedikit mengerucutkan bibirnya. "Kamu itu yang anak siapa, ganteng-ganteng kok nyolot!" dumelnya lagi, lalu... binggo....!
Manda mendelik dan menutup mulutnya secepat mungkin menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

Faizal sendiri hanya memutar bola matanya mendengar umpatan itu. Hingga ia melihat seseorang masih mengenakan pakaian seragam SMA, berlari kecil memasuki ruang rawat Manda.

"Kak Manda...! Apa yang terjadi? Kak manda nggak apa-apa kan?" Faizal menghentikan langkahnya mendengar kehebohan seorang lelaki itu. Iapun sejenak memperhatikan lewat jendela.

"Aku nggak kenapa-kenapa, Ion! Cuma luka kecil ini, soalnya tadi kebentur!" Manda menunjukkan dimana plester kecil itu menempel.

"Yakin nggak kenapa-kenapa? Apa perlu kita kerumah sakit sekarang?"

"Ion, jangan lebay deh!" Manda memukul lengan Marion hingga lelaki itu meringis.

"Ya udah, Ayo kita pulang!" Marion balik badan dan siap membuka pintu ruangan, hingga ia meringis dan reflek menoleh karena kepalanya terasa sakit.
.
Ion mendelik melihat sebuah apel tergeletak di lantai, sedangkan Manda cengengesan dengan semua itu.

Yap... Manda baru saja melempar Ion dengan buah apel itu saudara-saudara...!

"Kenapa aku ditimpuk pake ginian?"

"Hehe... Maaf!"

"Sakit tahu..! Udah ayo pulang!" Rion menarik tangan Manda, tapi Manda menahannya. Marion menoleh seolah bertanya 'Apalagi?'

"Gendong!" Marion tersenyum, ia kemudian jongkok bersiap untuk menggendong Manda.

Faizal yang dari tadi menyaksikan adegan itu hanya bergidik.
'Ribet, lebay!' Selorohnya dalam hati sambil berlalu pergi.

* * *
Ketukan pintu membuat lelaki yang kini sedang menikmati buaian mimpi sedikit terganggu. Ia mengambil guling yang sedari tadi didekapnya untuk menutup telinga, berharap suara nyaring itu tak lagi terdengar.
.
Faizal terpaksa membuka mata tatkala Bu Mala- ibunya, menyibak tirai yang membuat cahaya mentari menyeruak masuk melalui kaca.

"Haduh Zal..! Ini sudah siang, kamu nggak ke bengkel?" Izal masih mengerjap-ngerjap mendengar suara ibunya.

"Nantilah, Bu! Ada Fathir juga yang pegang kunci! Izal agak siangan, harus ke kantor polisi dulu, ngurus mobil yang kemarin nabrak pembatas jalan!"

"Oh, ya sudah..! Oh ya, mau ibu bawain sarapan sekalian?"

Faizal mengangguk, "Sekalian bungkusin buat makan siang juga boleh!" sambungnya sambil menggapai handuk di balik pintu.

"Hemh... makanya Zal, cepet punya istri to, biar hal beginian itu kamu ada yang urus!"

"Jadi Ibu udah capek nih ngurusin Izal?" tanya Izal diiringi kekehan.

"Bukan begitu, manusia diciptakan berpasangan. Menikah itu ibadah, Zal! Kamu butuh wanita untuk menyempurnakan ibadahmu." jelas ibu Faizal sambil memunguti pakaian kotor yang ada di keranjang.

"Mungkin pasangan Faizal masih on the way, Bu!" seloroh Faizal dari balik pintu kamar mandi.

Kalau Nyonya Mala sudah berbicara, Faizal lebih menanggapinya dengan candaan. Kalau nggak, lelaki itu akan emosi seperti menghadapi Manda.

What...? Manda! Faizal memukul kepalanya sendiri menyadari apa yang baru saja terlintas di otaknya. Lelaki itu berkali-kali menggelengkan kepalanya.

"Kamu kenapa, Zal? Kok geleng-geleng gitu?" Bu Mala menatapnya heran.

"Ah nggak apa-apa, cuma sedikit pusing!" Jawab Faizal singkat. Fix... Faizal butuh dokter, atau sekedar ahli konsultasi untuk memeriksa kesehatan otaknya.

Bersambung...

Marry Or Not? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang