part 7

108 8 0
                                    


Faizal meletakkan gagang telfon setelah selesai berbicara dengan Fathir yang ia suruh untuk mengantarkan mobil milik Pipit ke tokonya. Ia mengabarkan bahwa toko milik Pipit, hari ini tutup. Satpam yang bertugas menyarankan untuk mengantar langsung ke rumahnya.

Seminggu ini, wanita itu tak henti-hentinya bertanya perkembangan mobil yang dipercayakan kepada Faizal melebihi teror. Hingga mau tidak mau ia menggarap mobil itu dengan mengambil waktu milik mobil lain yang sudah lebih dulu masuk.

Wanita macam ini memang merepotkan, banyak maunya. Pikir Faizal. Bagaimana tidak, ia sengaja mengejar-ngejar waktu penyelesaian, giliran sudah selesai doi jalan ditempat. Ya keterangannya, juga biaya oprasionalnya. Kan rese! Dikira kenyang kali ya makan janji!

"Terus Loe mau ngapain, Zal?" Arman bersuara sesaat setelah melihat raut wajah kesal pada diri Faizal.

"Loe ikut Gue lah sekarang!" Faizal bersiap mengambil kunci SUV yang ada di meja.

"Ikut kemana? Gue kesini karena mau tukar tambah mobil yang agak gedean dikit woey, bukan mau ikut Loe jalan-jalan!" Faizal memutar bola matanya mendengar kehebohan Arman. "Kalau mau ngajak jalan, mending besok saja, Zal! Kalau anak Gue sudah lahir!" Lelaki itu tetap melenggang meski Arman terus menggerutu dibelakangnya.

"Ini siang bolong, Arman! Jangan mimpi ketinggian! Gue cuma mau ajak Loe nganterin tuh mobil Pipit, biar urusan Gue sama dia cepet selesai. Lagian gegara bini Loe juga sih dia jadi sering nyamperin Gue lagi!" kata Faizal sambil membuka garasi dimana mobil itu berada.

* * *

"Astaga, Zal! Itu bener Pipit? Ckck, kelakuannya!" Arman geleng kepala sambil ngelus dada, mengingat kelakuan tidak senonoh dua sejoli disebuah ruangan tanpa sengaja.

"Udahlah, biarin! Bukan urusan kita juga!" Faizal menstarter SUV nya kemudian melajukan mobil itu perlahan.

"Tapi itu namanya atas kerudung, bawah empang!" Faizal mengernyit atas apa yang diucapkan Arman.

"Warung, Nyet! Bukan empang!"

"Ya sebut saja itu empang. Orang Pipit itukan mancing. Mancing syahwat tuh laki maksudnya! Mana ada cewek baik-baik duduk di pangkuan laki yang bukan muhrim sambil ciuman, hayo!" Arman menjeda omongannya.

"Mungkin lima menit kemudian udah kepancing dia jadi teman bobok!" sambungnya lagi sambil nyengir.

"Bahasa Loe alay! Bay the way, tadi Loe ngomong gimana sama satpam dirumah Pipit?"

"Gue ngomong Pipit lagi naena, dan karena nggak mau ganggu, Gue titipin kunci mobilnya sama dia!"

"Sinting!"
"Biarin! Biar digrebek sekalian!" Faizal tergelak mendengar penuturan Arman, manusia disampingnya memang kurang kadar kenormalan. Mungkin!
Faizal sendiri tidak akan memikirkan jauh segala kemungkinan itu, setidak normalnya Arman menurut Faizal, lelaki itu tetap lebih unggul pada beberapa poin penting dalam hidupnya.

Jadi seorang ayah, contohnya.

Faizal sendiri tak memungkiri, kadang ia juga ingin merasakan bagaimana bahagianya jika dipanggil ayah oleh darah dagingnya sendiri. Tapi, bagaimana dengan makhluk Tuhan paling ribet yang justru hanya merekalah yang mempunyai peran terbesar untuk mewujudkannya.

Well.. mungkin adopsi anak tidak terlalu buruk!

* * *

Manda mengerucutkan bibir melihat pergerakan Marion yang sedang memasukkan peralatan ke dalam mobil.
"Sudah, itu bibir nggak capek apa cemberut mulu!" Ion melirik kearah Manda.

"Kamu yang bikin aku capek, Ion! Kalau nggak bisa nepatin itu jangan pernah berjanji! Dosa tahu!"

"Iya Kak Mandaku yang cantik, yang manis, yang manja juga! Aku minta maaf!"

"Wee.. we.. cantiknya bener, manisnya juga bener, tapi manjanya, itu kagak bener! Aku manja cuma sama kamu dan Papa doang!"

"Lah itu yang bikin aku tambah cinta!" Ion merangkul pundak wanita mungil disampingnya.

"Ion apaan sih ah! Cinta-cinta melulu ih ujungnya. Kamu disekolah nggak laku apa gimana sih?"

"Enak aja, banyak kali yang ngantri. Cuma aku nggak sreg aja sama mereka. Aku demen sama yang lebih tua, kan lebih dewasa!" Manda hanya bereaksi pura-pura muntah mendengar celotehan Ion.

"Udah ah bercanda mulu! Cepet berangkat, ntar telat lagi sampai Bogornya, nggak lunas-lunas deh hutang aku!"

"Kak Manda yakin mau turun tangan sendiri? Ini proyek nggak besar-besar amat loh, bukan anak pejabat juga yang nikah, cuma si dekil Virda yang ketiban pulung diperistri sama pengusaha tekstil!"

"Hush Ion, kerja nggak boleh pilih-pilih. Lagi Mami janji, kalau aku turun tangan sendiri, Mami bakal kasih komisi gedhe!" ucap Manda. "Lagian aku harus secepatnya ganti rugi tuh mobil Faizal. Ini termasuk hutang, Ion! Hutang harus secepatnya dilunasi kalau ingin hidup kita tenang!" Ion mengulum senyum mendengar ucapan panjang Manda.

Lelaki itu tak pernah salah, Ion tak pernah salah menempatkan Manda di hatinya. Segala tingkah menjadikan dia istimewa. Ia hanya mampu menunggu waktu agar Manda membenarkan perasaan yang ia ungkap sedari dulu.

* * *

Faizal duduk diruang tamu keluarga Abdullah, matanya sibuk membaca serentetan huruf yang berjejer di cover majalah otomotif edisi pagi ini. Lelaki itu berharap nama bengkel auto fashionnya  nangkring di jajaran sepuluh besar kontes mobil yang diselenggarakan beberapa hari lalu.

"Masuk nggak, Bang? N-N-Y Auto Fashion!" Marwan nimbrung dengan jari telunjuk meneliti serangkaian huruf di majalah tersebut.

"Untuk tahun ini nggak masuk. Mobilnya pakai mobil lain, bukan yang memang disiapkan untuk kontes!"

"Kok bisa? Eh, Bang! Kayaknya ibuk manggil Abang tuh!" Marwan menyipitkan matanya untuk mempertajam pendengaran.

"Kapan-kapan ceritanya, aku ke ibu dulu!" Faizal bangkit dari duduknya.

Lelaki itu menangkap sosok yang ia cari tengah duduk di ruang keluarga bersama Haji Abdullah.

"Kenapa, Bu? Tadi manggil Izal kan?" Faizal duduk di hadapan kedua orang tuanya.

"Ini Bapakmu mau bicara!" Bu Mala melirik suaminya yang kala itu masih menikmati kopi panas.

Merasa diperhatikan oleh istrinya, Pak Abdullah meletakkan cangkir berisi kopi itu, kemudian berdehem.

"Ehm.. Zal, Bapak dan Ibu mau umroh bulan depan!" Faizal mengangguk mendengar penuturan ayahnya.

"Ya sudah, lalu apa masalahnya? Izal kan rencananya tahun depan!"

"Lah itu masalahnya, Bapak ingin kamu ikut, berdoa disana untuk memantapkan hati!"

"Maksudnya?" Faizal sedikit curiga akan raut wajah kedua orang tuanya.

"Bapak sama ibu sepakat untuk menjodohkan kamu lagi. Rencananya sama Luri anaknya Tante Yul, teman Ibu saat SMA dulu. Dia sekarang lagi kuliah kedokteran di Singapura, mau ya Zal?" kali ini Bu Mala mencoba membujuk.

"Masya Allah! Pak, Bu! Kenapa harus lagi! Izal bukannya tidak mampu cari istri, tapi memang belum siap punya istri!"

"Mau sampai kapan kamu mengecewakan ibu bapakmu, Zal?" suara Pak Abdullah kini terdengar.

"Maaf, Pak, Bu! Mau sampai kapan kalian memaksa Izal? Percaya saja, kalau sudah Allah menakdirkan jodoh Izal,  tidak perlu dicari nanti bakal datang sendiri!" suara hembusan nafas Faizal mengakhiri opininya.

"Tapi ya harus usaha, Zal! Kami hanya ingin kebahagiaanmu. Apa tidak kepingin lihat teman-teman kamu yang sudah punya anak lucu-lucu, ibu juga pengen punya cucu dari kamu, Zal!"

"Siapa yang nggak mau punya anak lucu, Bu! Izal juga mau, tapi bukan nikah dalam waktu dekat ini. Izal sudah berencana mau ngangkat anak!"

Bu Mala mengelus dada, "Tidak bisa, Zal!" Itu suara Pak Abdullah. "Kamu tidak bisa begitu saja mengangkat anak! Bapak tidak mengizinkan, kecuali setelah kamu menikah!" tutup Pak Abdullah dengan raut muka menahan amarah.

'Ya Allah, apalagi ini! Suruh nikah kok rasanya kayak disuruh nelen bom!' Izal  hanya terdiam, lelaki itu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi jika dia menerima ataupun menolak.

Bersambung...

Inaka Arum

Marry Or Not? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang