Part 20

94 7 2
                                    


Fathir duduk pada kursi tunggu di kamar Naya. Penat, lelah melebur menjadi satu. Tampang cool dan jahil tidak tampak lagi di sana. Setelah mengirim kabar pada Faizal, ia juga harus secepatnya datang menemui Luri.
.
Sejujurnya dia ragu akan kejadian malam itu, tapi kenyataan mereka berada pada satu ranjang adalah bukti yang tidak terelakkan. Kedua tangan Fathir menyangga kepala, mengacak rambut dengan asal dan siku bertumpu pada lutut. Ia mencoba mengingat malam di mana dia datang ke rumah sakit.
.
"Apa Anda keluarga dari pasien bernama Naya?" seorang suster berperawakan tinggi bertanya, tangan kanannya membawa setumpukan map berwarna kuning. Mungkin catatan riwayat kesehatan pasien.

Fathir mengangguk, suster itu memberi keterangan tentang keadaan Naya. Adiknya memang sempat mengalami pendarahan, dan harus menjalani oprasi pemasangan platina karena patah tulang. Fathir sendiri diminta suster untuk menemui dokter yang menangani Naya.
.
Mata Fathir melebar, tatkala melihat wanita keluar dari ruangan dokter yang di isyaratkan oleh suster. Ia mempercepat langkahnya,

"Dokter! Dokter Ana!" Luri berhenti dan memalingkan dirinya seratus delapanpuluh derajat. "Saya ingin berkonsultasi mengenai Naya, adik saya!" Mata keduanya lantas beradu sesaat, Fathir hampir saja melonjak melihat siapa yang ada di hadapannya.

"Luri! Kamu Lu_"

"Ehm, Saya buru-buru! Jika ingin konsultasi, Anda bisa menghubungi Dokter Hilman. Beliau juga patner saya dalam menangani pasien bernama Naya! Permisi." Fathir mematung di tempat, ia bahkan tak sadar Luri sudah berlalu dari hadapaannya.

'Jantung gue masih ada kan?' pikirnya, Fathir menyentuh pelan dadanya, kemudian berlari ke arah mana Luri menghilang.
* * *

Jika cermin selebar dinding bisa menjadi bagian dari sistem keamanan untuk sebuah supermarket, maka itu menjadi kesialan untuk seorang Fathir. Mata Luri tak sengaja menangkapnya lewat kaca, saat dia mengikuti wanita itu masuk ke dalam sebuah supermarket.
.
Luri memainkan ekor matanya, tetap melangkah anggun menyusuri los-los penyedia makanan dan minuman instan dengan mendorong trolley kecil yang disediakan supermarket. Sesekali ia melirik cermin, memperhatikan gelagat lelaki berjaket coklat sport bukanlah perkara sulit.

"Mau nge teh bersama? Cuaca cukup dingin!" Luri berdiri tepat di belakang Fathir yang sedang celingukan. Lelaki itu tersenyum kaku melihat siapa yang menangkap basah aksinya.

'Sial!' suara batin menghina, ia menggaruk pelipis yang sama sekali tidak gatal. Hanya anggukan yang dia tunjukan untuk menyetujui ajakan Luri, Fathir bahkan mengekor seperti anak kucing yang mengikuti langkah majikannya.
.
Kawasan apartemen yang dipijak Fathir saat ini temasuk kawasan elit yang terkenal di Surabaya, pantas saja Faizal kehilangan jejak wanita ini. Ia bahkan dengar dengan jelas satpam yang berjaga di depan memanggilnya dengan Dokter Ana Suwandi.

'Bos Izal oon! Coba hafal teks ijab qabul, loe pasti gampang nemuin ni cewek tikus! Claudia Luriana Binti Suwandi, kayaknya bentar lagi gue bakal lihat loe sujud, sambil nyiumin punggung tangan gue dan ngucapin makasih sebanyak garam yang bisa dihasilkan laut Indonesia!' senyum mengembang dari bibir Fathir, matanya bergerak mencari nama dan nomor apartemen yang bisa dia informasikan kepada Faizal.

"Ini, teh hijau hangat yang cukup menenangkan jika di konsumsi!" Luri tersenyum sambil menyodorkan secangkir teh, ia selalu terlihat tenang, bahkan saat menghadapi lelaki macam Faizal. Fathir menarik nafas dalam saat menerima cangkir putih tulang itu, ia juga harus mengumpulkan ketenangan melebihi wanita di hadapannya.
.
"Kak! Ngelamun mulu, ngelamun jorok ya! Kak Fathir!" Naya mengeraskan suaranya pada seruan akhir, membuat Fathir terlonjak kaget. " Kenapa sih, datang-datang malah ngelamun? Udah muka kucel gitu kayak empek-empek kering!" mulut gadis itu mengerucut, jemarinya memainkan kotak berisi susunan lego yang menyerupai bentuk cincin.

Marry Or Not? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang