Acara makan siang berlalu dengan khidmat. Faizal turun setelah beberapa saat, dia hanya sendiri, tanpa Narisa.
Semua orang diam, menikmati makanan tanpa berupaya menanyakan tentang hasil dan proses membujuk Narisa ala Faizal.
"Kak, uang yang aku transfer gunain aja buat hal yang berguna! Narisa nggak mau, biarkan dia pulang ke Jepang jika memang itu keinginannya!"
Faizal berbicara sambil menatap semua orang yang duduk di meja makan dan berakhir pada Kana.
"Tapi, Zal! Bagaimana dengan Bang Indra! Dia yang kangen sama Narisa!"
"Kalau Narisa juga kangen bapaknya, dia nggak bakalan nglunjak! Dia itu sama kayak Riani!"
"Ada yang panggil-panggil namaku sepertinya!"
Kalimat itu membuat semua orang yang ada di ruang makan menoleh. Riani tersenyum, wanita berambut pirang sebahu itu tengah berdiri anggun sambil menenteng tas kulit ternama.
"Mami!"
"Hallo Narisa Sayang! Mami sudah datang ini, ayo pulang, katanya mau dijemput!"
"Mbak Riani, tapi Mas Indra lagi di luar kota! Ini juga kan Narisa mau ngrayain ulang tahun di sini. Maunya di hotel kan? Ini sampai minta tolong sama Manda yang seorang WO loh!" Kana bangkit dari duduknya kemudian berdiri di depan Riani dan Narisa.
"Loh Narisa sendiri kok yang minta katanya dia berubah pikiran. Nggak mau ngrayain ulang tahunnya di sini!"
"Naris, tapikan kamu sudah janji sama Papa Indra!"
"Maaf Ma, Naris nggak mau kalau ada campur tangan Om Izal. Lagian tadi minta maaf sama Naris nggak tulus!"
Faizal tetap acuh, dia masih saja menyendokkan telur puyuh ke mulutnya. Hingga ia merasakan tendangan pada kakinya.
Manda menyipitkan mata seperti mengintimidasi, namun itu tak berarti apa-apa buat Faizal yang kali ini malah menggapai gelas berisi air putih dan meneguknya.
"Lalu Riris mintanya bagaimana? Riris kan sudah dewasa toh! Kasihan juga Papa Indra!" Marwan sudah berdiri di samping Kana untuk membujuk Narisa.
Sedangkan Manda yang merasa terjepit diantara konflik keluarga Abdullah hanya semakin garing saja.
Ia melihat Pak Abdullah sama tenangnya dengan Faizal. Sedangkan Dahlia ikut berdiri di samping suaminya meskipun tak ikut bicara. Bu Mala berdiri di sebelah Kana, mencoba untuk menenangkan anak pertamanya itu.
Sekali lagi Manda mencoba peruntungan. Ingin sekali dia menjitak kepala Faizal hingga otaknya bekerja dengan baik. Ditendangnya kaki Faizal sekali lagi dari kolong meja makan.
"Mana ada maaf memaafkan pakai syarat. Narisa itu minta mobil tadi sama aku, setelah ngomong sama emaknya lewat telpon."
Semua orang beralih tatap pada Narisa yang kini tertunduk. Begitu juga Pak Abdullah, meski tak berbicara apa-apa.
"Naris pulang kalau memang mau pulang. Om Izal tidak memaksa. Nanti Om juga yang akan nyampein sama Papa. Kamu sudah besar buat ngerti mana yang baik dan buruk. Perkara Om yang mungkin pernah salah sama Naris, Om minta maaf. Seperti yang Om katakan tadi di kamar. Om ada salah paham sama Mamimu. Dan dia yang meminta supaya Om tidak memanjakan kamu. Silahkan Naris kalau mau pulang, biar diantar sama Om Marwan ke bandara!"
Narisa mengangkat kepalanya secara perlahan. Sebenarnya dalam hati dia sudah memaafkan Faizal setelah masuk ke kamarnya dan menjelaskan duduk perkara.
Dulu, hangatnya seorang Faizal mampu membuat Narisa menjadi lengket dengannya. Faizal kerap menjemput Narisa di rumah orangtua Riani untuk sekedar mengajak jalan-jalan ponakan barunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Or Not?
Humor"Ups, maaf! He...he... nggak sengaja! Reflek, saking senangnya!" kata-kata itu keluar dari mulut Manda, saat Faizal menarik tangan yang hendak dicium oleh Manda. "Inget batas suci!" Seloroh Faizal sekenanya. "Idih segitunya. Ketahuan nggak pernah de...