Manda terdiam, melihat Ion kali ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan keadaannya. Dia tahu itu! Tatapannya tajam, rahangnya mengeras dengan gigi gemerutuk, beberapa kali tangannya juga mencengkeram kuat kemudi mobil.
Lelaki itu melihat semua, dan marah. Bahkan tidak bereaksi apapun saat Manda memeluknya seperti biasa. Ia langsung melesat ke kantor Faizal dan pulang dengan sudut bibir membiru.
"Sudah kubilang berulangkali, aku cinta sama Kak Manda! Apa Kak Manda buta, nggak bisa melihat?" Marion setengah berteriak, saat Manda bertanya apa yang baru saja ia lakukan di kantor Faizal.
Lelehan air mata tercetak jelas pada pipi wanita itu, ia terlalu sakit mendengar ucapan Marion.
"Hanya wanita murahan, nggak punya harga diri, yang mau saja dicium orang tanpa memiliki ikatan apapun!" rongga dada Manda menyempit seketika.Benarkah?
"Dia itu siapa? Aku tanya, dia siapa, Kak!" Marion mencengkram kedua lengan Manda. "Dia hanya laki-laki tanpa perasaan, yang menjadikanmu mainan! Bahkan dia sudah punya tunangan, dan Kak Manda tahu itu kan?" Manda hanya tersedu di tengah lelehan air mata. Apa selain murahan, nggak punya harga diri, dia juga bodoh?
Semua terlalu cepat. Bahkan wanita itu tidak tahu harus berbuat apa. Benar, Faizal memang tidak seharusnya berbuat demikian, tapi kenapa ia juga tidak bisa mengelak?
Apa itu salah? Atau dirinya yang terlalu bodoh sehingga tertarik pesona Faizal?
Kadang kenyataan memang harus pahit, apalagi jika seperti ini, saat di mana kita menyukai hal yang pernah dibenci.
Astaga!
Ayam juga akan tertawa, kalau dia bisa!"Ada apa ini? Manda! Ion, apa yang kalian lakukan?" tangan Marion terlepas dari lengan Manda. Kemarahan membuatnya lupa jika dia tengah berdebat di ruang tamu, dan bukan tak mungkin jika mami mendengar semuanya.
Keduanya diam, sedangkan mami memicingkan mata mengamati wajah Manda dan Marion bergantian.
"Mami rasa ada hal yang perlu kalian jelaskan di sini!" kalimat itu bagai perintah. Mengelakpun bukan solusi yang baik.
Sepertinya harus ada pawang yang membuat angin kutub utara bertiup ke rumah Manda barang sebentar, sekedar mendinginkan api kemarahan di sana, mungkin!
* * *
Faizal merasa prihatin dengan keadaan mukanya, ia menggerakkan lidah pada rongga-rongga mulut, mencoba melatih kepekaan terhadap rasa nyeri yang berpusat pada pipi. Sama-sama, dua pukulan dan dua luka lebam.
Konyol!
Penyumbang pukulan yang cukup bagus! Apa mungkin pengaruh semangat remaja SMA?
Marion, dia datang dan langsung menghadiahi bogeman mentah pada pipi Faizal. Mungkin akan jadi area tanding jika saja Arman dan Fathir tidak menengahi keduanya. Faizal pernah menjuarai pertandingan karate dulu, sedangkan Marion, ia tergabung dalam extra bela diri taekwondo di sekolahnya.
"Apa loe berdua wajib tahu?" pertanyaan Faizal ini membuat dua orang di hadapannya mendengus sebal. Begitu sulit mendapatkan jawaban dari seorang Faizal tanpa kata-kata pedas.
"Kagak wajib sih, anggap aja sunnah! Ngerjain hal sunnah kan juga dapat pahala." Arman menyeletuk, dalam hati ingin sekali dia menambahkan satu memar lagi pada wajah Faizal. Kapan lagi tuh wajah songong bisa babak belur gitu!
"Kata-kata loe, bikin gue pengen ikutan nonjok, Bos! Sayang masih jadi atasan!" Fathir menyambung sama kesalnya. Ternyata dua orang itu berpikiran sama.
"Gue nyium Manda, dan lelaki bernama Marion itu melihatnya!" Faizal berkata datar, sedikit membayangkan kegilaan yang baru saja ia lakukan. "Kagak ada siaran ulang!" sambungnya cepat, seolah dia bisa membaca dari jidat kedua sahabatnya, 'Akan terjadi kehebohan, sebentar lagi!'
"Loe nggak sedang depresi kan, Zal?" Arman beranjak dari kursi dan secepat kilat menempelkan punggung tangannya pada jidat Faizal.
Yang menjadi target hanya berdecak, ia kemudian melayangkan kepalan tangan tepat di muka Arman, membuat lelaki itu mundur sambil menahan tawa."Bagaimana mungkin loe bisa berhasrat nyium Manda, sedangkan lihat cewek aja kayak lihat kuman?" Itu suara Fathir, dengan nada di dera keheranan yang sulit.
Ada yang salah di sini!
"Mulut kalian memang minta di remover!" sahut Faizal, tangannya meraih es batu dan menempelkannya pada sudut bibir. Ia meringis kecil sambil berdecak, mengibaskan tangan yang basah karena lelehan es.
"Kalian pacaran?" Fathir kembali bersuara. Faizal menggeleng pelan. Terlalu sulit menerjemahkan apa yang dia mau. Jika dipikir dengan nalar, mencium Manda bukanlah tindakan yang benar, apalagi dengan alasan ice cream mocca biadab di sudut bibirnya.
Tapi bagaimana jika hal itu justru bisa menjadi peralihan terbaik dari masalah pertunangan dan wanita gila bernama Luri?
Tunggu dulu, peralihan? Bagaimana jika separuh hati yang tidak sadar menganggap itu bukan sebagai peralihan, melainkan...
Pelarian?Mungkin lelaki itu akan merasakan efek nyeri merambat ke otak, dan sekarang Faizal harus mengakui kalau dirinya bisa juga menjadi bodoh. Oh bukan, pernah bodoh, lebih tepatnya.
* * *
Mami merapikan tumpukan berkas di meja kerjanya. Ia memandang Manda tengah melamun sambil mengaduk latte yang kepulan asapnya nyaris tak terlihat.
Wanita paruh baya itu melangkah, ia cukup mengerti apa yang tengah dirasakan Manda saat ini. Ia mengelus lembut rambut putrinya, sama persis seperti beberapa tahun yang lalu, ketika ia menangis saat kehilangan mamanya juga Marlon.
Manda, gadis yang patut di sandingkan dengan kata bertahan dalam hidupnya. Tak heran jika Marion mencintai kakak perempuannya ini.
Tapi apakah itu mungkin? Walaupun bukan satu kandungan, mereka sudah terlebih dulu terikat sebagai saudara.Ini pilihan yang sulit, walau Ion adalah putra kandungnya, tapi Manda juga anak perempuannya.
Istilah anak tidak hanya berpatok pada seseorang yang lahir dari rahim saja, bukan?"Sudah jangan melamun gitu ah, biarkan Marion pergi! Sekolah di luar negeri bisa mengajarkan dia untuk memanfaatkan otaknya di banding otot!" Manda menegadah, dia bukan wanita dengan tingkah konyol, bar-bar dan slengean hari ini. Air matanya mengalir deras, persis seperti semalam saat Papa Fandi memutuskan untuk mengirim Marion ke Berlin.
"Maafkan Manda, Mi!" hanya kalimat itu yang terucap, wanita bertubuh mungil itu menyeruakkan wajahnya pada perut seseorang yang ia panggil mami.
Andai bisa mencurahkan semua, ada banyak kata yang ingin ia pertegas selain maaf.
Kenapa Marion harus jatuh cinta padanya, sedangkan ia tidak memiliki rasa yang sama?"Kamu nggak salah, Kak! Nggak perlu minta maaf!" Mami menangkup wajah putih Manda. "Mungkin jalannya harus begini dulu untuk membuat Marion sadar! Sekarang waktunya bangkit dan bekerja. Itu, berkas-berkas sudah menumpuk!" Mami mengarahkan dagu pada tumpukan kertas di meja. Manda tersenyum sekaligus menyeka air matanya.
"Ada dua pesta pernikahan dan satu pertunangan yang harus kamu urus di bulan ini! Kamu siap?""Aye-aye captain!" Manda memberi hormat pada maminya. Raut wajah wanita itu kembali ceria.
Ya secepat inilah Manda berubah, kisah hati tidak harus ia perlihatkan, bukan?Cukup si biru ini yang menanyakan 'Apa yang anda pikirkan?' setiap hari.
"Sekarang kita temui klien pertama. Dia sudah membuat janji untuk bertemu hari ini!" Mami mengambil berkas, tentang cathering, gedung dan fotografer yang akan mereka bahas.
Manda mengangguk, ia mengambil contoh undangan yang akan ditujukan pada klien pertama bulan ini. Wanita itu cekatan menulis bahan materinya. Sebuah pesta mengusung garden party dengan nuansa putih dan hijau.
Waw, sepertinya menarik, bahkan Manda si WO juga mengakui selera mempelai wanita. Ini akan menjadi jalan bagi Manda untuk cepat melunasi seperempat sisa hutangnya pada Faizal.
Oke, semoga acara ini lancar dan sukses. Dan setelahnya dia hanya perlu mengucapkan terima kasih dan selamat pada pasangan ini.
Dwian Faizal herdiansyah dan Claudia Luriana
Kedua nama itu lebih berat dari tumpukan besi jika menghimpitnya. Bahkan membacanya membuat Manda tiba-tiba sesak. Entahlah, ini bukan penyakit asma, ini seperti kabar tiba-tiba yang membuat dirinya menjadi, kalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Or Not?
Humor"Ups, maaf! He...he... nggak sengaja! Reflek, saking senangnya!" kata-kata itu keluar dari mulut Manda, saat Faizal menarik tangan yang hendak dicium oleh Manda. "Inget batas suci!" Seloroh Faizal sekenanya. "Idih segitunya. Ketahuan nggak pernah de...