part 31

98 10 0
                                    

Faizal tengah memperhatikan Alan yang sedang mencampur cat ketika pintu kaca depan terbuka, menampakkan seorang Manda dengan handphone di telinganya.

Wanita itu masih nyentrik seperti biasa. Span pas selutut, berpadu dengan kaos yang sedikit kedodoran. Rambut merahnya berkumpul jadi satu menyerupai buntut kuda.

"Zal! Aku nggak bisa lama-lama! Jadi kita minta Kak Kana buat kasih tahu saja apa yang Narisa mau, ntar biar asisten aku yang kesana."

"Nggak masalah, aku juga udah transfer semua biaya yang diperlukan. Atas nama Kak Kana, jadi Narisa nggak akan tahu. Kamu ada kerjaan? Aku mau jemput ibu di tempat Kak Kana."

"Nggak, cuma mau ke bandara aja, nganter Mami!"

"Ngapain ke bandara?"

"Nganter Mami!"

"Iya Mami mau pergi?"

"Nggak, njemput Marion!"

"What the fuck! Kan ada supir!" Suara Faizal sedikit keras hingga membuat Alan dan beberapa pegawainya memperhatikan dengan seksama.

"Lah aku sama mami juga sama supir perginya! Emang kenapa?"

Kenapa? Ya gue kagak ridholah, dia adik yang cinta sama kakak tirinya!

"Nggak apa-apa!"

"Ya sudah, aku pergi dulu!"

"Aku anter aja. Bentar ambil jaket dulu di atas!" Faizal berlalu tanpa mengindahkan Manda yang berteriak bahwa taksi masih menunggu.

* * *

"Aku kan sudah bilang nggak mau kalau ada sangkut paut sama Om Izal! Lagian kenapa juga Om Marwan jadi nggak asik gini?" Narisa berdiri berkacak pinggang. Ia mendengar omongan Kana pada Marwan jika Faizal sudah mentransfer uang untuk acara ulang tahunnya.

"Bukan nggak asik, Riris! Dikasih orang kan ya alhamdulillah, berarti masih ada yang peduli. Ini rezeki. Tuhan itu maha penyayang, jadi Tuhan menghadirkan orang-orang baik untuk Riris yang disayang sama Tuhan!"

Marwan menjelaskan sambil mengelus rambut Narisa tepat saat Izal dan Manda sampai di ruang tengah.

Faizal dengan sikap cueknya berhasil membawa Manda untuk turut serta dan membatalkan janji dengan maminya untuk menjemput Marion.

"Zal lihat Narisa kayak gitu, ini pasti lama! Lagian jalan ke bandara juga nggak searah!" Manda berbisik setelah Narisa menyadari kehadirannya.

"Nggak bakal telat juga. Tadi di telpon mami kamu bilang katanya pesawat Marion delay kan? Jadi nggak telat, ntar aku anter ke bandara!"

"Ini kenapa sih, perhatian banget! Jadi terharu! Coba ada Fathir, aku bisa minta anter dia aja. Oh iya, Fathir kemana sih kok beberapa hari ini aku nggak lihat?"

"Ke neraka!" ujar Faizal terus berjalan tanpa mengindahkan keberadaan Narisa. Begitu pula Manda yang tersenyum kaku di belakang Faizal, sesekali menggerutu karena kewalahan mengimbangi langkah lelaki itu.

Mata Narisa membola, ia mencebikan bibir sebagai sambutan untuk kadatangan Manda dan Izal. Ia juga sempat geleng kepala melihat tingkah Manda.

Marwan tersenyum melihat tampang Faizal. Namun raut wajahnya berubah seketika ketika Narisa menyadarinya.

"Om Marwan sudahkan ngomongnya ama aku? Aku nggak mau nerima apapun dari orang songong macam dia. Lebih baik balik aja ke Jepang!"

"Yang kamu katain itu kakak Om loh, Ris! Yang berarti Om kamu juga. Om Izal itu cuma mau bantu, Riris itu kan sudah besar, harus legowo dong, maafin kalau Om Izal punya salah!"

Seolah-olah menyerah dengan kekeraskepalaan seorang Narisa.

"Lagian siapa yang dapat percaya Om Izal ini mau bantu? Dia kan nggak punya hati. Kalau Om Marwan minta Riris buat legowo, harusnya Om Izal juga punya legowo lebih dulu. Kenapa dia nggak minta maaf sama Riris? Dia kan yang salah! Apa coba hak Om Izal ngatain Riris cengeng, ngetawain seolah Riris cewek murahan hanya karena nangis di depan cowok. Mungsuhin Riris seolah-olah Riris itu virus? Padahal Riris nggak tahu apa salah Riris!"

Pikiran Narisa berkelana pada kejadian Faizal yang tertawa saat Narisa diputus sepihak oleh pacarnya beberapa tahun lalu. Bahkan Faizal yang biasanya hangat kepadanya, hanya memilih pergi tanpa mengindahkan tangisnya.

"Lagian kenapa juga Om Izal tetiba mau bantu? Papa sama Mama kan juga masih punya duit kalau cuma untuk rayain ulang tahun aku?"

Kana berdiri ditengah-tengah tangga dan diam. Tangannya mencengkram handphone yang baru saja dia gunakan untuk bicara dengan Indra-suaminya yang sedang keluar kota.

Narisa gadis yang masih labil, tapi juga detail untuk menyimpan sebuah kebencian tetap pada kubangannya. Faizal, siapa yang tak mengenal sosok cuek dalam keluarganya itu. Ini tak mudah, penawaran apapun juga tidak bisa membelokkan kesalahpahaman.

Jika diibaratkan sebuah istilah pada hukum, Faizal diam saja saat dijadikan tersangka dan tetap tenang saja meskipun hakim menaikan statusnya sebagai terdakwa.

"Narisa mau ke kamar, Ma!"

Kana mengangguk, dia memiringkan tubuh untuk akses Narisa ke atas. Sorot matanya membingkai wajah Faizal.

"Zal, untuk kesekian kalinya aku mohon, bicara sesuatu. Jangan buat Narisa jadi anak yang tidak punya sopan santun. Aku memang bukan ibu kandungnya, tapi aku merasa jadi ibu yang gagal jika Narisa terus-terusan bersikap seperti itu pada kamu! Lagian kalian itu kenapa?"

Faizal tak menyahut, dia menjauh begitu saja tanpa melihat Kana dan Marwan yang dibingkai kesedihan.

Manda memperhatikan. Ia melihat semua, langkahnya tergerak untuk mendekat pada Kana dan memberi pelukan sekedar melepas pedih.

***

Faizal

"Zal!"

"Hmm!"

Manda mendekat pada Faizal yang berdiri di sisi pintu belakang pasca Narisa berlalu ke kamar.

"Apa nggak ada yang bisa diomongin gitu? Tuduhan Narisa butuh disangkal deh kalau bisa!"

Manda bicara dengan nada berbisik, membuat Faizal melirik dengan geli.

"Aku nggak tahu sih masalah kalian apa, cuma kalau dibiarin terus akan jadi panjang. Narisa memang masih remaja. Tapi dia juga punya perasaan, buktinya aku yang nggak tau apa-apa juga ikut dibenci!"

"Biasanya kamu juga biasa aja orang nggak suka sama kamu! Terserah merekalah mau nilai gimana! Bukannya menjadi diri sendiri jauh lebih baik!"

"Menjadi diri sendiri? Yang gimana? Tanpa keluarga? Kalau aku jadi Kak Kana sedih juga. Nggak bisa nglakuin apa-apa untuk anaknya, adiknya juga cuek! Keknya Marion dulu nggak pernah cuek deh sama aku!"

"Stop bicarain dia, aku bukan Marion!"

"Tapikan kamu laki, lelaki dimanapun nglindungin wanita, mau jadi ayah, suami, kakak, adik harus melindungi_astagfirullah kenapa malah nendang kaki meja segala. Dasar penghancur! Eh Ibu!"

Manda menggaruk tengkuk melihat Bu Mala berada tak jauh darinya. Wanita paruh baya itu masih diam, membuat Manda mati kutu untuk sekedar bergerak.

"Ayo, sudah waktunya makan siang! Semua sudah menunggu di ruang tengah. Biar Narisa, Izal yang manggil!" Bu Mala berlalu, membuat Manda tercenung sambil melihat arah dimana Faizal melangkah.

Apalagi ini, acc aja belum, udah ketahuan aja ngerutuin anaknya!

* * *

To be continue ...

Marry Or Not? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang